episode 9

26 0 0
                                    

Aku masih di Lampung sekitar satu bulan lagi. Selain aku ingin mencoba melakukan sesuatu, aku juga ingin membantu Ari dan Faisal menyelesaikan tugas akhir mereka, skripsi. Setidaknya aku mempunyai tugas sebelum aku kembali ke Cilegon. Dalam sebulan ini aku menjadi seorang penjaga toko sementara, setidaknya aku bisa mencari uang jajanku sendiri. Aku juga sambil menulis di berbagai kolom koran, lumayan kalau tulisanku diterbitkan. Dalam satu bulan aku mencoba menjadi produktif dibanding ketika aku menjadi mahasiswa. Kuliah, organisasi, pulang, kuliah, organisasi, dan terus begitu. Itu pun kalau sedang sibuk. Perjalan harianku tidak ada cerita yang menarik. Hanya berjalan layaknya hari biasa, namun tidak bertemu di lorong gedung fakultas komunikasi itu. Walaupun sedikit rindu dengan ruang itu. Mungkin saat itu aku baru tahu, ternyata rindu itu tidak hanya kepada sebuah objek dinamis seperti manusia dan hewan peliharaan, tetapi juga benda mati yang bernilai statis. Entah ada rasa yang memanggil atau semacamnya, terkadang perasaan itu kembali terlempar ketika waktu kosong tak terisi. Tidur diatas kasurku dengan sprei merah yang terakhir kali aku bereskan sebelum aku kelulusan atau wisuda. Yah ada kejadian yang tidak bisa kita lupa. Bahkan sulit aku lupakan. Ras, sahabatku. Bagaimana ia bisa berpikir seperti itu. Di depan ribuan wisudawan dan wisudawati di Gedung Serba Guna, tepat beberapa mahasiswa fakultas komunikasi, semuanya ia ceritakan, keluh kesah. Ribuan pasang mata melihat, kamera pun tak luput memotret kejadian yang disaksikan bisu oleh langit cerah. Beberapa vlogger, -karena pada tahun itu banyak sekali musim musim vlog, dan banyak yang ingin menjadi YouTuber. Sebuah pekerjaan baru yang merupakan produk dari Timeline dan teknologi. Beberapa merekam. Dan Ras hari itu berhasil tiga orang vlogger. Aku membuka smartphoneku, melihat ulang bagaimana kejadian itu, walaupun sepotong sepotong, setidaknya bisa memanggil semua memoriku kala itu, yang terus berputar dan selalu memanggil. Ya tepat dimenit akhir walaupun aku bukan objek video itu, ada yang membuat raut mukaku berubah. Aku menarik nafas panjang. Seandainya aku seberani Ras. Aku mengutuki diriku karena ada yang tak terucap di hari itu. Bahkan sampai saat ini. Sudah dua ratus lima puluh tiga ribu viewers. Padahal baru sekitar tiga Minggu diupload. Aku tersenyum. Aku yang sedang menjaga toko distro kala itu tiba tiba tersentak dengan kehadiran sesosok pelanggan. Panjang umur.
" Wei lam" Ras menyapaku dengan senyum semringah. Beberapa detik setelah aku menonton channel YouTube yang merekam dirinya kala itu.
" Weh Ras" aku terperanjat lalu memeluk salah satu sahabatku ini.
" Gimana kabarnya Lo Ras?"
" Alhamdulillah Baek, sekarang Lo jaga toko baju yang mahal ini Tah" ia sambil memegang salah satu kaus yang harganya dua ratus lima puluh ribu. Ya bagiku dan Ras ketika itu adalah barang yang mahal. Aku hanya tertawa mendengarnya.
" Enggak kok, cuma sebentar aja, ini juga gue sambil nulis kolom pembaca gitu Ras di koran, sekali kali juga gue kirim puisi atau enggak cerpen, Lo gimana tuh? Tiba tiba udah terkenal pas wisuda" ia hanya tertawa aku mengambil tempat duduk, seirama dengan aku berbicara padanya. Aku memberi isyarat untuk duduk. Ah obrolan santai.
" Ohh gitu, kirain Lo balik lam ke Cilegon"
" Iya, tapi nanti, sebulan lagi gue disini, Lo mau beli baju yang mahal ini Tah Ras?" Aku hanya tertawa, ia hanya tersenyum melihat barang ini. Padahal hanya kaus, namun ya entah kenapa harganya selangit. Ketika itu menjadi candaan kami berdua. Dia menggeleng sambil tersenyum. Sudah cukup lama aku tidak mengobrol dengannya semenjak kelulusan.
" Lo kerja apa Ras?" Ia sekali lagi hanya tertawa
" Gue nanya serius Ras"
" Gue belom dapat kerja lam" aku tersenyum meledeknya, sebenarnya aku tidak percaya.
" Enggak yakin sih gue"kataku
" Serius gue lam, bingung mau kerja apa" aku hanya merunduk. Aku kira banyak teman teman lain yang bernasib bagus. Ternyata semuanya kesulitan. Monopoli dan kapitalis, tahun itu terasa semakin mencakar. Terlalu egois manusia, tidak bisa melihat adanya ruang untuk kerja. Semuanya ia telan, agar semua sari pati rupiah bisa membuatnya lebih segar. Sampai ia lupa dengan yang lain. Manusia.
" Mungkin Lo bisa nih ambil kerja gue, ntar kan gue minggu depan udah mau balik ke Cilegon" kataku, sedikit menghibur. Ia hanya terdiam.
" Kenapa Ras? Lo masih mikirin janji itu?" Kataku mencoba memecah kebisuan Ras yang jarang sekali timbul ketika aku dan dia bercakap.
" Iya lam, jujur sih gue pusing buat mikirin janji gue ke Nara" aku berdehem, merubah posisi kursi menghadapnya lurus.
" Ras, sukses itu apa?" Tanyaku.
" Hmmm, kalau definisi gue lam, kesuksesan itu kalau kita bisa membuat semua yang kita inginkan itu bisa jadi nyata" aku mengangguk berkali kali. Mencoba memahami bagaimana Ras berfikir.
" Kalau menurut gue sih ya Ras, sukses itu kalau Lo bisa buat orang sekeliling Lo itu tersenyum, temen Lo, keluarga Lo, ibu Lo, bapak Lo, adik Lo" aku mencoba menjelaskan. Obrolan ini terasa lebih serius. Ruangan toko ini terasa lengang, bisu, hanya suara AC di dinding yang bersuara. Aku dan Ras masih terdiam.
" Sebenarnya sih gue kesini mau ngajakin Lo berbisnis lam" tiba tiba Ras berbicara setelah interval waktu yang cukup lama. Aku terdiam.

Hari Ini Adalah Esok Hari Kemarin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang