episode 8

5 0 0
                                    

Sudah lama Ras tidak menyapa Nara. Mungkin terakhir kali ia menyapa, dua bulan yang lalu. Kuliah hanya menjadi bagian sepi di kehidupan lainnya. Tidak jauh seperti rumahnya. Beberapa hari setelah kejadian mata kuliah retorika, mungkin membuat Nara sedikit memiliki ruang kebebasan. Bahkan ia bersyukur tidak ada orang aneh seperti Ras yang mengganggunya lagi, apalagi kalau sudah melibatkan perasaan. Ia menebak pasti akan rumit. Bahkan terlalu rumit. Waktu itu ketika ia berfikir, ia merasa kejadian ketika SMP, mungkin bisa saja itu bakal terulang lagi, besar kemungkinan bahkan. Cara pandang Nara membuat ruang gerak Ras membuktikannya terasa lebih sempit. Serba salah, canda gurau membuat apa yang dilakukannya sebenarnya hanya salah satu kemunikan dari candanya. Yah, entah siapa yang tahu isi manusia. Baginya masa lalunya, terutama ketika SMP, memberinya pelajaran. Semacam laki laki yang bertipe seperti itu, akan melakukan hal yang sama pula. Pola pikir ini berjalan berdampingan dengan sebuah teori psikologi behaviorisme. Sebuah teori yang menitik beratkan manusia adalah produk dari lingkungan. Yah, lingkunganlah yang membuat alasan mengapa ia bertindak dan mengapa ia terdiam. Mungkin itu benar, karena teori pasti sudah terbukti. Sebenarnya ada pengalaman lagi yang lebih menggelikan, dan membuatnya lebih kesal dengan lelaki. Namun dibalik semua itu, intinya untuk sementara waktu ia tidak mampu memberi alasan yang tepat, mengapa ia harus dengan lelaki. Kurang lebih seperti itu.
Kuliah yang semakin membosankan, dosen dengan berbagi tugas yang cukup memberikan paceklik mahasiswa fakultas komunikasi untuk berkarya atau semacamnya, membuatnya mulai menyentuh titik jenuh. Masalahnya? Ras, sudah tak ada lagi? Itu sebuah luang yang sangat bebas. Namun dibalik itu ada hal yang tersembunyi. Jauh di lubuk hatinya yang tak mampu disentuh apapun, lingkungan dan ego. Ia merasa rindu dengan hal aneh yang dilakukan Ras. Sudah lama sekali semenjak hal itu terjadi dan membuat dirinya muak. Sebenarnya ia sedikit mengesalkan perilaku Ras, seandainya ia tidak berlebihan ketika mata kuliah retorika, mungkin Nara masih bisa menanggapi, namun ia pun mengaku salah. Ada hal yang ia bela, namun ada hal yang ia sembunyikan. Hanya menjadi barang persembunyian. Vai pun tidak tahu menahu. Tapi begitulah perasaannya. Nara ingin sekali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun waktu itu, masih sekitar satu bulan setelah ia memutuskan untuk bercerita. Nara pun tahu, sebenarnya Ras tidak main main, namun ada setitik nila yang membuatnya menutup, dan percaya hal yang sama pasti akan terjadi. Begitulah.
Di lain pihak, aku banyak diceritakan bagaimana perasaan Ras, termasuk dengan wanita itu. Sebuah pelarian bagiku, hanya untuk sementara waktu. Dan untungnya wanita itu sudah memiliki pendamping. Bisa saja ia akan terluka kalau ia suatu saat sadar, kalau wanita itu hanya sebagai pelarian. Ia pun mulai bosan dengan kuliah, kuliah pagi, pulang sore, belajar bertemu dengan orang yang sama, terasa setiap hari adalah de Javu dari hari kemarinnya. Ditambah waktu itu fakultas komunikasi melarang mahasiswa baru untuk bergabung dengan kegiatan mahasiswa. Bagiku itu merupakan intervensi. Lupakan mahasiswa, ketika itu aku merasa menjadi siswa lainnya, dengan senior sebagai puncaknya. Dosen? Dekan? Mana peduli.
Kegiatan kosong membuat beberapa orang mulai jenuh. Ras yang mulai bosan, hatinya tidak terpenuhi, lalu waktunya pun tidak terpenuhi. Beberapa kali ia sempat mengobrol, berbicara padaku, untuk mencoba melakukan hal lain. Semacam bekerja part time, atau berjualan. Aku bahkan bercerita ingin sekali memiliki kedai kopi sendiri dengan aku peramunya. Walaupun aku tidak belajar secara langsung, namun aku mencoba membuat kopi dan hasilnya lumayan. Pahitnya, aromanya, - bukan kopi sachet, dan bahkan aku mencoba menggabungkannya dengan beberapa bahan. Itu mungkin salah satu mimpiku, saat menjadi mahasiswa.
" Kalau gue lam, gue pengen ngelanjutin bisinis ayah gue lam, kalau bisa, jadi yang terenak di Lampung, terus buka cabang dimana mana, tapi ayah gue suruh gue kuliah dulu, nanti aja. Yaaa… intinya gitu sih lam, dan gue pun sadar gue enggak punya modal"
" Terus juga gue pengen gitu buktiin ke Nara kalau gue itu beneran cinta sama dia. Gue enggak tahu ada kisah sebelumnya bagaimana, atau pengalaman dia, atau mungkin kesalahan gue juga sih, tapi gue yakin dia ada perasaan sama gue lam" aku berdehem, ia sudah mulai mundur ke beberapa waktu sebelumnya. Aku berdehem, menyadarkan apa yang realitanya terjadi.
" Udah Ras, lupain aja, gue yakin kok banyak cewek yang lain, enggak cuma dia doang Ras, percaya dah banyak juga yang suka sama Lo Ras" Ras mengangguk memahami. Beberapa detik kemudian ia menatapku. Mencoba mengatakan sesuatu. Ia tertawa sedikit sebelumnya.
" Lam, kalau cinta itu bisa diatur lam, gue juga enggak pengen jatuh cinta dengan orang yang udah nolak gue" aku menunduk, membetulkan perkataan Ras.  Tidak salah juga.
" Tapi enggak mungkin kan kalau Lo ngejar dia lagi?" Ia terdiam, suasana kantin yang ramai sedikit membuat obrolan kita terganggu, apalagi setelah beberapa orang masuk ke dalam kantin dengan ricuh. Membuat udara disini makin panas. Ras masih terdiam. Ia menjawab, namun jawabannya tertutup oleh suara tertawa yang menjengkelkan itu. Aku tidak mendengar apa jawaban darinya. Sial.

Hari Ini Adalah Esok Hari Kemarin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang