Liburan Telah Usai

112 4 0
                                    

(Juli, 2018)

Matahari pagi telah menyingsing dan kembali dari kelananya pada saat bulan menggantikan tugasnya. Berlari-lari kecil untuk menuju ufuk timur. Biasnya yang kebiruan mulai bependar di setiap sela kolong langit. Saatnya juga Abel untuk kembali pada rutinitasnya sebagai seorang pelajar. Sebab masa liburnya telah berakhir.

"Liburan yang tak berkesan!" gumamnya mengutuk waktu.

Sekolah baru, teman baru dan suasana baru sedang menunggu Abel untuk siap-siap pergi ke sekolah barunya. Sang ibu dengan ocehan pagi, tak lepas dari telinganya yang enggan beranjak dari tempat tidurnya. Seakan kasur tak ingin melepasnya untuk pergi mandi. Namun telinganya yang memaksa untuk segera mengindahkan, sebab tak tahan dengan ocehan pagi sang ibu. Mulai meregangkan badannya dan mulai bergegas mandi.

Jam dinding berwarna kecoklatan yang terpampang di kamarnya mulai menunjukkan pukul 06.45. Namun Abel masih saja betah berdiri di depan cermin. Seraya memperdalam dialog yang akan ia sampaikan pada saat perkenalan diri di depan kelas nantinya.

"Perkenalkan, nama saya Mehetable Jefferson Parera. Lebih sering disapa Abel. Saya pindahan dari Palu. Terima kasih."

Ia terus saja mengulangi dialog tersebut, terkadang mengubah cara pembawaanya.

Ocehan pagi ibu pun terdengar dari balik kamar, yang memaksa agar Abel untuk segera bergegas ke sekolah. Sebab jam 07.00 di hari senin tak bisa menunggunya. Ia mulai berangkat dengan diantar bapaknya, untuk berjaga-jaga agar ia tidak tersesat dihari pertama sekolahnya.

***

Kelas XI IPA C menjadi kelas untuk Abel mencari teman-teman pertama di Poso, ia pun mulai memperkenalkan diri dengan dialog yang sedari tadi terus diperdalamnya.

"Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, nama saya Mehetable Jefferson Parera. Lebih sering disapa Abel. Saya pindahan dari Palu. Terima kasih." Sapa Abel dengan akrab.

"Hallo Abel." Jawab mereka bersorak.

"Silahkan kamu duduk samping Rani." Kata ibu guru.

Abel pun mulai berjalan menuju tempat duduk yang diperintahkan oleh gurunya. Mulai duduk dan berkenalan dengan Rani yang menjadi teman pertamanya di Poso. Seraya saling melemparkan senyum ramah.

"Maharani Pujiastuti." Kata Rani setelah tangannya menggapai tangan Abel.
"Tapi panggil saja Rani." Tambahnya

"Mehetable Jefferson Parera." Balas Abel.

"Iya tahu, biasa di panggil Abelkan? Hehe, kan sudah tadi." Kata Rani bercanda dengan sigap memotong.

Abel hanya bisa tersipu malu.

Tempat duduk mereka berada di belakang meja ke tiga dari depan, pada baris kedua dari sudut kanan kelas yang terdiri dari empat baris. Ia pun duduk manis dan sesekali menengok ke kiri dan kanan; muka dan belakang. Guna menghafal setiap wajah teman barunya. Tanpa sengaja saat ia menengok ke belakang, tepat matanya mengarah pada seorang lelaki yang di lihatnya saat ia pergi ke Lapangan Sintuwu Maroso. Laki-laki itu duduk pada meja ke empat samping baris meja Abel dan Rani. Laki-laki itu lah yang membuat Abel menjadi penasaran akan seorang Chairil Anwar. Abel pun secepatnya mengalihkan pandangannya yang sempat berpapasan 3 detik dengan mata laki-laki tersebut. Hingga membuatnya sedikit malu.

"Wah, ternyata dia masih anak sekolahan." gumam Abel.

Rani yang melihat Abel, menjadi sedikit binggung.

"Kamu kenapa Abel?" Tanya Rani bingung.

"Hehe, tidak Rani. Santai aja."

Abel berusaha menyembunyikan apa yang dilihat dan dirasakannya. Apakah Abel jatuh cinta? Tentu saja tidak, ia hanya kaget saja. Ternyata laki-laki yang dilihatnya saat di Lapangan Sintuwu Maroso bisa sekelas dengan dia.

***

Waktu berjalan begitu cepat, hingga waktu istirahat telah selesai. Abel pun hanya menghabiskan waktunya di kelas dengan membaca novel yang baru saja dibelinya. Selepas istirahat, masuklah pelajaran PPKn. Semua murid pun masuk ke dalam kelas, mulai duduk manis menunggu guru untuk masuk. Namun tidak untuk lelaki yang membuat Abel penasaran dan juga teman sebangkunya, mereka belum saja terlihat untuk duduk memanasi tempat duduknya. Semua murid pun sudah menganggap itu adalah hal yang biasa, tak terkecuali untuk Abel. Namun Abel tak terlalu menghiraukannya.

"Siapa sih nama laki-laki yang duduk di tempat itu ran?" Tanya Abel dengan matanya yang mengarah ke tempat duduk tersebut.

"Oh, dia? Namanya Fariz. Kenapa kamu tanya dia? Jangan-jangan?" tanya Rani menggoda.

"Haha, beh. Tidak Ran, hanya ingin tau aja."

"Ohehe, okelah." Jawab Rani menyudahi.

Seorang bapak bertubuh agak besar, kira-kira tingginya 170 cm dengan gayanya yang koleris. Masuk ke dalam kelas, dengan rambut klimis di sisir ke arah kanan dan kacamata ganggang tebal; lensanya pun tebal. Belum lagi kumis tebalnya yang menukik pada sisi kiri dan kanan-nya. Bapak itu berumur sekitar 60-an. Jimmy Renold namanya, ia di juluki dengan cap guru killer oleh setiap kelas yang pernah ia masuki. Sebab senyumannya terlalu mahal untuk ia lontarkan di setiap kelas yang ia masuki. Ia tak segan-segan menghukum para murid yang kelewatan batas baginya. Entah sudah berapa banyak murid yang pernah menjadi tempat mendarat tangannya yang seperti tangan para pegulat. Salah satunya Fariz. Yang pasrah pipinya menjadi tempat pendaratan empuk telapak tangan dan punggung tangan guru itu. Kejadiannya pun masalah hal sepeleh. Saat mereka berdebat hebat tentang kedudukan antara guru dan murid. Fariz berusaha mempertahankan haknya sebagai murid yang tak terima nilainya rendah hanya karena lambat masuk kelas saat perutnya ingin melepaskan segala bentuk masalah yang mengganggu pencernaannya, hingga membuatnya rela berlama-lama dalam kamar mandi. Sebab baginya, tak ada pengaruhnya sebuah nilai pelajaran dengan lambat masuk kelas. Dengan mengutip kata-kata Soe Hok Gie, "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau." Ia mengatakannya di depan kelas. Hingga membuat jiwa seorang Jimmy merasa tersinggung dan tak segan-segan menamparnya bolak-balik. PLAKK!!

"Selamat siang." Kata Jimmy menyapa dari balik meja guru.
"Selamat siang pak." Balas mereka sekelas.

Tok-tok-tok

Bunyi dari pintu masuk. Semua mata tertuju pada dua orang murid lelaki yang berdiri di depan pintu.

"Maaf saya terlambat." kata lelaki itu.
"Boleh saya masuk?" Tambahnya dengan senyum menggoda.

"Kamu lagi, kamu lagi Fariz." Guru Jimmy Mengerutu.
"Habis dari mana kamu? Kamar mandi lagi?"

Para murid pun hanya tersenyum menahan tawa.

Sementara dua lelaki itu hanya garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum.

"Silahkan masuk." Kata guru Jimmy dengan suara khasnya yang berat.

"Makasih pak."

Kisah Cinta Dua Tuhan [ Wattys2019 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang