8.0

1.5K 181 22
                                    

Gudang belakang kampus adalah tempat yang jarang dikunjungi orang. Setidaknya kemungkinan besar aku tidak akan ketahuan dan mengundang perhatian orang jika bersuara keras di tempat ini. Aku menarik Ino dan menyudutkannya di salah satu tembok ruangan.

Ino menatapku dengan tatapan beraninya, sama sekali tidak gentar dengan tatapan intimidasi yang aku berikan. Jujur saja, aku sangat tidak menyukai tindakannya pada Hinata tadi. Sangat menganggu dan menyebalkan.

"Kenapa kau datang ke sana? Aku sudah peringatkan padamu sebelumnya, bukan? Jangan temui aku hari ini!"

Dengan perasaan kesal yang sudah mencapai batas, tanpa sadar aku meninggikan intonasi suaraku. Kulihat dia sedikit terkejut lalu menutupi kegugupan dengan gigitan pada bibir bawahnya. Cukup lama, hingga akhirnya dia mendengus sambil memalingkan wajahnya dariku.

"Seharusnya kau bersyukur aku datang."

Aku masih mempertahankan ekspresi kesal dan marah, kepalan tanganku juga masih pada posisinya. Ino berujar tanpa menatapku sebelumnya. Namun, setelah dia selesai dengan kalimat pertamanya, matanya bertemu dengan obsidian milikku. Berkaca-kaca menahan airmata yang bersiap akan jatuh dengan satu kedipan.

"Aku melihat Uzumaki Naruto menuju ke arah kantin, tadi. Jadi, aku mengikutinya, karena kupikir kau akan berakhir dengan menyedihkan lagi... "

"..."

"...dan ternyata.. Dugaanku tidak sepenuhnya salah."

Gadis ini, kenapa dia— dia bahkan tahu jika si Uzumaki itu datang, maka aku akan berakhir menyedihkan. Sejak kapan— Tch! Sial! Apa dengan begini aku jadi terlihat sangat lemah?

Semua rasa kesal pada Ino tadi, sekarang berubah menjadi rasa menyesal dan marah pada diriku sendiri. Sejak kapan aku berubah jadi sebodoh ini? Gadis di depanku ini memang benar, seharusnya aku menyerah dan mencoba untuk membuka hatiku untuk yang lain. Setidaknya, duniaku tidak terus berputar pada kehidupan Hinata terus menerus.

Perlahan kepalan tanganku terurai. Tatapan mata Ino masih tajam dan menantang. Seharusnya aku memarahi gadis ini tadi, tapi kupikir bukan salahnya melakukan semua itu.

“Aku akan mencoba. Melupakan Hinata.”

Kerutan pada dahi Ino dari tatapan tajamnya perlahan menghilang, berganti dengan pupilnya yang melebar tanda bahwa ia terkejut. Namun, selanjutnya ada kilauan binar di sana.

“Bantu aku.”

***

Tengah hari yang terik di tambah suasana jalanan kota Konoha yang padat dan penuh polusi. Siapapun tidak mau berdiri di pinggir trotoar jalanan padat itu, kecuali kau memang sudah kehilangan akal.

Tapi, sepertinya gadis satu ini memang sudah di bawah kendali sesuatu. Dia berdiri di bawah panas matahari musim panas yang menyengat di salah satu pinggir trotoar jalan. Peluh sudah membanjiri pelipisnya dan poni rata yang menutupi dahinya sudah lepek terkena keringat.

Hinata melirik arloji yang melingkar di salah satu pergelangan tangannya sekali lagi. Sudah hampir dua jam dan Naruto masih belum datang untuk menjemputnya di tempatnya sekarang berdiri, padahal dia sendiri yang meminta Hinata agar menunggu.

Gadis itu merogoh saku celana jeans nya tergesa saat merasakan ponselnya bergetar. Dia menempelkan benda itu ke telinga setelah menggeser panel hijau.

“Moshi-moshi.”

“Hinata-chan? Gomenne~ aku ada urusan mendadak jadi tidak bisa menjemputmu.”

“A-apa? B-benarkah? T-tapi aku—”

“Kau bisa pesan taksi atau naik bus sendiri 'kan? Atau kau telpon saja Sasuke, ya?”

“Kau b-benar-benar tidak bisa, ya?”

“Ini sangat mendadak, Hinata. Aku benar-benar tidak bisa. Gomenne~ aku akan menggantinya lain kali, ne?”

“Souka. Ne, Daijoubu.”

“Baiklah, sampai nanti.”

——TUT——

Hinata menghela nafas panjang, sedikit—sangat kecewa karena Naruto lagi-lagi seperti ini. Perasaannya jadi mengatakan bahwa semua ini bukanlah hal yang wajar. Pikiran negatif itu terus berputar ria di kepala Hinata membuatnya semakin gelisah.

Kakinya melangkah berbalik arah, memasuki salah satu mini market untuk membeli air minum. Mendadak dia jadi malas sekali untuk pulang dan malah memilih duduk di salah satu kursi di sana.

Manik mutiaranya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di balik jendela kaca mini market itu. Pikirannya kembali melayang pada keadaan hubungannya dengan Naruto. Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja Hinata merasa sedikit aneh dengan sikap Naruto. Mereka tidak pernah pergi berkencan setelah memutuskan untuk balikan, padahal sudah cukup lama dari kejadian itu.

Hinata menegak air dari botol yang dibelinya perlahan hingga habis. Setelah itu dia berjalan keluar dari mini market, kali ini dia berniat akan naik taksi saja. Dia belum berani menghubungi lagi Sasuke setelah kejadian kemarin. Sangat memalukan dan dia juga merasa sangat menyesal karena tidak tahu menahu apapun soal Sasuke. Mengingatnya membuat senyuman kecut terukir di sana. Dia harus meminta ma'af—pikirnya.

Hinata mengecek arloji di tangannya—lagi. Masih belum terlalu sore, mungkin dia akan mengunjungi Sasuke sekarang. Bersamaan dengan pikiran itu, sebuah taksi datang membuat senyumannya mengembang.

Setelah masuk dan mengatakan tujuanya, taksi itu melaju menyusuri jalanan. Hinata memperhatikan jalan melalui kaca jendela mobil. Dia tidak memberi tahu Sasuke tentang kunjungannya kali ini, tidak apa-apa toh memang mereka sudah sangat dekat satu sama lain 'kan?

Saat taksi berhenti untuk kedua kalinya karena lampu merah, mata Hinata menatap sesuatu yang tidak asing di sebelah kanannya. Hinata sangat hapal dengan motor besar hitam itu dan tentu saja dengan si pengendara juga. Postur tubuhnya, helm yang orang itu gunakan juga Hinata sangat hapal.

“N-naruto-kun?” gumamnya sambil terus memperhatikan si pengendara.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan Naruto yang ada di jalan, mengingat dia memiliki urusan dan ini adalah jalanan umum. Namun, yang menjadi perhatiannya kali ini adalah seorang gadis yang berada di kursi belakang motornya. Hinata bisa melihat dengan sangat jelas siapa gadis itu. Surai merah muda dengan manik emarald—Haruno Sakura. Lampu lalu lintas berganti menjadi warna hijau dan sosok itu menjauh dari penglihatannya. Meski begitu dia tidak ingin menyerah, Hinata dengan cepat memberi tahu sopir untuk mengikuti mereka.

Sepanjang jalan Hinata terus saja merapal doa, semoga saja apa yang dia lihat tidak seperti apa yang dia pikirkan. Namun, semua itu hancur saat Hinata melihat mereka berdua masuk ke salah satu cafe. Mereka berdua berbincang, sesekali tertawa dan puncaknya adalah saat Naruto mencium punggung tangan Sakura dan membuat gadis itu tersipu. Entah apa yang dikatakan Naruto padanya, namun mereka berakhir dengan berpelukan satu sama lain.

Merasa tidak sanggup lagi dengan apa yang dilihatnya. Hinata meminta agar supir taksi itu memutar balik dan membawanya ke mana saja asalkan menjauh dari tempat terkutuk itu. Dadanya sudah sesak, airmatanya sudah menganak sungai di kedua pipinya.

Hinata merogoh saku celananya cepat, tangannya yang sudah tremor dengan tergesa mencari nomor seseorang di sana.

“S-sasuke-kun..” dia bergumam dengan lirih dibarengi isakan tangis. Suara isakan itu semakin kentara saat  orang yang dia hubungi tidak kunjung juga menjawab panggilannya.

“K-kumohon angkat..” semakin cemas dan gelisah, gadis itu mulai menggigiti kukunya. Tangisnya tidak bisa reda saat lagi-lagi hanya ada suara operator di ujung sana.

Ke mana kiranya Sasuke? Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sasuke tidak menjawab telepon darinya. Apa mungkin Sasuke juga akan pergi meninggalkannya? Hinata dengan segala pikiran negatifnya tanpa menyadari bahwa semuanya adalah salahnya sendiri.

Semuanya tanpa kecuali.[]

A/n:

(╥_╥)

Badbye✔ [SasuHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang