III. OK, You are Her's

53 5 2
                                    

Hemm Senin pagi, dan hari pertama ujian semester ganjil.

Seperti biasa aku pergi kesekolah sekitar jam 06.30 pagi dan sampai di sekolah 15 menit kemudian. Dikelas, baru ada 2 orang siswi yang datang. Aku mengganti sepatu dengan sendal jepit kesayanganku lalu berjalan menuju kantin sambil membawa buku pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran yang akan diujikan pagi ini.

3 langkah berjalan keluar kelas, terdengar suara langkah kaki beraturan menuruni satu persatu anak tangga. Jelas itu suara sepatu pantopel, dan aku yakin orang yang menuruni tangga itu adalah anak laki-laki. Sekali lagi, aku tidak perduli dan melanjutkan berjalan menuju tujuanku.

Kali ini, aku tidak memesan susu hangat seperti biasanya. Aku duduk di tempat ibu kantin biasa duduk ketika kantin sepi.

"Alya, tidak minum?" tanya ibu kantin sambil meletakkan wadah roti ke salah satu meja kantin yang berada tidak jauh dari posisiku duduk.
"Tidak, bu. Takutnya apel pagi nanti malah mau buang air kecil".
"Buang air kecil saja dilapangan, toh tidak ada larangan kan?" sambung ibu kantin lagi sambil tertawa lepas.
"Ide bagus, bu" sahutku dengan raut wajah datar.

Beberapa saat setelah aku duduk di kantin, Iyan datang. Dia teman sekelas Nazar, aku tahu dia dari Winda. Winda memang tahu segalanya. Aku melirik ke bawah, jelas itu suara sepatu yang kudengar tadi.

"Es jeruk, bu. Tapi hangat ya" ujar Iyan setengah berteriak.
"Yang benar dong Yan, es atau hangat?" sahut ibu kantin.
"Haha, bercanda saja bu. Begitu saja marah, nanti manisnya hilang. Jeruk hangat bu, kan pagi ini dingin" sahut Iyan lagi.

"Hei, Alya kan?" Iyan menyapaku.
"Hmm" sahutku.
"Kamu tahu....."

kkkrrriiiiiiinnnnggggggg.....

Pukul 07.30 tepat lonceng sekolah berdenting dengan suara kencang, dan lagi aku bergumam "berisik sekali".
Aku berdiri lalu berjalan menuju kelas untuk memakai sepatu lagi. Iyan tidak melanjutkan bicaranya dan hanya berteriak
"Bu, es jeruk hangatnya tidak jadi" lalu ikut beranjak dan berlari menuju halaman sekolah.

Aku juga langsung ke halaman sekolah setelah memakai sepatu untuk melaksanakan rutinitas membosankan setiap pagi Senin. Mendengarkan amanat yang diulang-ulang tiap minggu, menyaksikan murid-murid yang dibariskan di paling depan karena terlambat, dan membandingkan warna seragam antara siswa yang satu dengan yang lainnya.

Hanya satu hal yang menarik dari keseluruhan rangkaian membosankan ini, yaitu pengibaran bendera yang setiap minggunya selalu ada hal baru.

Barisan siswi di kelasku tepat menghadap dengan barisan siswa. Ya, aku berhadapan langsung dengan Nazar, hanya terpisah jarak beberapa meter. Matanya tajam menatap ke arahku (menurutku). Aku mencoba bersikap biasa walaupun setiap ada kesempatan aku mencuri pandang ke arahnya. Batinku, dia benar-benar tipeku.

Di kelas, saat selesai mengerjakan ujian Bahasa Indonesia yang tidak terlalu rumit.

"Al, kamu bikin apa?" sapa Winda yang membuat aku terkejut setengah mati.
Aku segera menutup buku gambarku dan menatap lekat kearah Winda.
"Apa sih, mengganggu saja" jawabku.
"Dasar pelit!" sahut winda yang ku hadiahi tiupan keras ke arah wajahnya dan membuat matanya otomatis memejam. Aku tertawa geli melihat ekspresi Winda.

"Aku punya cerita, kamu pasti ingin mendengarnya" sambungnya setelah rasa kesalnya terhadapku meredam.
"Apa?"
"Nazar, dia sudah punya pacar. Pacarnya itu anak SMK di kota, namanya Ira. Kata Lisa, mereka sudah pacaran sejak SMP. Kamu jangan sakit hati ya, Al."
"Oh, gitu. Makasih infonya"

"Kamu tidak sedih? Bukannya kamuu..."
"Apa? Bukannya apa?"
"Kamu suka kan sama Nazar?"
"Iya, karena dia mirip pemain bola favoritku. Itu saja".
"Berarti info ini tidak penting ya, Al?". Winda terlihat mulai gusar. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum lalu mencubit hidung sahabatku itu dengan gemas.

Batinku, itu saja? Kamu yakin Alya?

Otakku, dasar bodoh. Kau menyukainya.

Hatiku, heii kau cemburu. Bagaimana? Sakit bukan?

Gerutuku, "Sudahlah, dia milik orang lain. Apa ini, aku menggambar wajahnya? Oh, tidak."

author;
hellooww, welcome to chapter 3. Maaf yaa chapter ini agak membosankan. Tunggu lanjutannya yaa, jangan lupa klik tanda bintang di bawah dan kasih komentar yaa supaya nantinya bisa lebih baik.
See u readers, saranghae..♡

TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang