VII. More Close

21 4 2
                                    

.
.
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
.
.

Adzan subuh menggema, membangunkan para insan yang sedang sibuk dengan mimpinya agar segera menggubris panggilan-Nya. Walaupun tidak semua bersegera membuka mata, dan masih kalah melawan rasa kantuknya.

"Alya, bangun nak. Ayoo banguun sudah subuh" seru Ibuku sambil mengetuk pintu kamar yang sebenarnya tidak dikunci. Aku tidak pernah mengunci pintu. Memang sengaja, supaya Ibu tidak perlu repot-repot mengetuk pintu dan berteriak minta dibukakan pintu kamar.

Biasanya, sebelum Ibu tidur dia selalu memeriksa kamarku untuk memastikan apakah aku sudah tidur atau belum. Aku sering sekali tertidur di lantai dengan tangan masih memegang pensil, lalu Ibu masuk ke kamar dan merapihkan tempat tidurku. Setelah rapi, baru Ibu menepuk pantatku dan menyuruhku pindah ke tempat tidur.

Kembali ke cerita
.
.
Setelah mendengar suara Ibu dari luar, aku akhirnya membuka mataku.
"Sudah bangun, Bu" sahutku sambil meregangkan tubuhku diatas kasur. Entah kenapa mataku berat lagi. Tiba-tiba dunia berubah menjadi gelap, dan apa yang terjadi? Apa hayooo?
(heleh bacot lu, Thor)

Ibu membuka kamarku, matanya melotot karena ternyata aku tertidur lagi dengan posisi tengkurap. Dia mendekat perlahan dan mengambil ancang-ancang. Kira-kira apa yang terjadii?

Dia menepuk pantatku dengan cukup keras, lalu berteriak ditelingaku
"Alyaa banguuun, mandii"
Sambil terus menepuk pantatku. Yaa terpaksa aku bangun dengan malas.

"Apa sih Bu, aku kan bukan anak kecil lagi" gumamku.
"Kalau bukan anak kecil, masa tiap subuh tidak bisa bangun sendiri? harus dibangunin Ibu?"
"Yaudah aku mau mandi" ujarku sambil berdiri, mengambil handuk, lalu berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Ibuku hanya tertawa kecil sambil melihatku berjalan keluar kamar.

Aku memang anak yang dingin, teman-temanku juga menganggap begitu. Tetapi ketika dirumah, Ibuku selalu memperlakukanku seolah-olah aku masih anak SD. Memalukan memang.

Pukul 06.30,
.
.
Aku sudah memakai seragam sekolah, lengkap dengan tas ransel di bahu kiriku. Setelah berpamitan, aku langsung berangkat ke sekolah dengan kecepatan kaki seribu. (becanda)

Sampai dikelas, seperti biasa aku melepas sepatu dan memasang sendal. Berjalan ke kantin dengan tenang, karena aku yakin belum ada siswa yang datang selain aku.

Ohh tidak, aku terkejut !
"Selamat pagi" seseorang menyapaku sambil memegang cangkir berisi susu hangat, lalu menyeruputnya lagi setelah tersenyum kecil. Dia duduk di tempat aku biasa duduk, kursi ibu kantin. Ah, menyebalkan.
Sudah tau siapa?
Benar, si Nazar!

"Ya!" sahutku sambil berlalu seolah tidak perduli. Sengaja memasang wajah sinis, padahal jantungku seperti sedang berdisco.

dag.. dig... duggg..
Seperti itu, berulang-ulang.

Aku berjalan menuju rak gelas, mengambil satu gelas ukuran sedang, satu buah sendok teh, dan satu sachet susu bubuk cokelat.
(pasti sudah tau apa lanjutannya)

Selesai membuat minumanku sendiri, aku duduk di kursi kantin dekat rak gelas tadi, dekat juga dengan dapur. Jarak antara aku dan Nazar cukup jauh, tetapi aku masih bisa melihat ekspresinya dengan jelas dari tempat dudukku.

Deg..
Lagi-lagi aku tidak berhasil mengontrol jantungku karena tiba-tiba Nazar menatap lekat kearahku, lalu mengedipkan sebelah matanya. Tersenyum sekilas, lalu kembali menyeruput minumannya dengan ekspresi seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Sial, kenapa aku tidak bisa mengendalikan ekspresiku. Aku melongo akibat perilaku tiba-tiba dari makhluk aneh ini. Beruntungnya, ekspresi itu hanya bertahan 3 detik dan kembali ke wajah dinginku biasanya. Akkhh aku benar-benar malu, dan berusaha keras menyembunyikan senyum.

Secara mengejutkan, Nazar berdiri lalu berjalan kearahku. Aku tidak mau menatapnya, dan fokus ke minumanku. Oh tidak, dia duduk disampingku. Huhhhh.. seluruh tubuhku terasa menghangat.

"Tidak sarapan dirumah, huh?"
sapanya.
Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Entah kenapa aku menjadi salah tingkah.

"Kamu manis kalau senyum. Kapan-kapan senyum dong kalau ketemu aku" ucapnya lagi dengan wajah yang dimanis-maniskan, dan dekat sekali dengan telingaku. Aku tidak berani melirik kearahnya.

"Malas" sahutku.
Nazar berangkat dari duduknya menuju dapur.
"Bu, minuman saya di gabung sama minuman dia ya. Ini uangnya pas" ujar Nazar.

Batinku, "Apa? dia membayarkan minumanku?"

"Tumben kalian akur, baru pacaran ya?" goda ibu kantin.
"Iya" sahut Nazar.
"Hah? Yang benar Alya?" tanya bu kantin tak percaya.
"Iya" sahutku.

"Kok bisa? Kapan kalian jadian? Kok ibu tidak tahu? Waaahhh" pertanyaan bertubi-tubi datang dari ibu kantin.

"Kepo. Ayo Alya, kita ke kelas" ajak Nazar. Aku mengikut saja. Kami berjalan meninggalkan ibu kantin dengan segala kebingungannya sambil tertawa-tawa kecil.

"Seru juga, ngerjain ibu kantin" ujar Nazar ketika kami berjalan beriringan di lorong sekolah menuju kelas masing-masing.
"Iya, benar" sahutku sambil tersenyum dengan mata memandang lurus kedepan.

"Tuh kan manis" ujarnya lagi.

Ohhhh jantungkuuu....
Siapa saja, tolong!


author;
annyeong reader.
gimana kabarnya? best dong yaa. finally I am back setelah sekian lama.
makasih yaa atas kesabaran dan kesetiaan kalian semua menanti chapter ini, aku jadi terharu T_T
semoga terhibuur♡

TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang