Bogor, 11 Februari 2019
Hari libur tiba. Saat yang paling aku tunggu, karena aku tidak lagi harus menunduk malu ketika melewati banyak orang. Aku keluar dari kamar mandi dengan hawa segar sehabis mandi. Selesai memakai baju, aku melihat pantulan diriku di cermin. Jika di lihat-lihat, aku ini perempuan yang cantik ya?
Aku menguncir rambut sepinggangku yang menggelombang kemudian duduk di pinggir kasur, mengambil beberapa antibiotik dan vitamin di atas nakas lalu meminumnya. Rasanya aku ingin muntah ketika lidahku merasakan antibiotik yang sangat pahit. Tapi pahitnya akan kalah dengan pahitnya hidupku.
Tok.. tok.. tok..
“Permisi.”
Suara ketukan pintu yang diikuti dengan sahutan dari luar rumah membuatku bergegas keluar kamar dan hendak membuka pintu rumah untuk melihat tamu yang datang. Namun, niatku justru ditolak oleh mamahku yang habis berlari dari dapur menuju ruang tengah.
“Tidak usah. Biar bunda saja yang buka. Kamu cepat masuk ke dalam kamar. Jangan sampai ke luar kamar. Bau!”
“A— oke.”
Seperti robot yang dikendalikan oleh remotnya, aku masuk ke dalam kamar sesuai perintah bunda. Tidak, aku hanya tidak ingin merepotkan bunda atau membuat tamunya bunda tidak nyaman. Berdiam diri di kamar, sesuai perintah bunda. Tidak keluar kamar, sesuai perintah bunda. Akan ku lakukan semuanya untuk bunda.
“Hahahaha.” Kudengar tawa samar dari ruang tengah. Ah itu pasti suara tamu bunda. Tapi tunggu. Suaranya terdengar aneh, semakin lama seakin aneh.
Aku mendekatkan kupingku pada pintu kamar. Ingin mendengar apa yang sedang ibu bicarakan bersama tamunya itu. Walaupun samar, tapi aku masih dapat mendengarnya. Pembicaraan yang serius walau terkadang diselingi oleh tawa. Ini ... benar-benar aneh.
Aku membulatkan mataku ketika mendengar pembicaraan mereka, seketika mataku meneteskan cairan bening, mulutku terbuka karena syok. Semakin lama, pembicaraan ini semakin serius. Semakin lama, tangisanku semakin deras. Tangan kananku, ku pakai untuk menutup mulutku agar suara tangisannya tidak terdengar. Sedangkan tangan kiriku, ku pakai untuk menopang badanku yang kian melemas.
“Benarkah?” itu pembicaraan mereka. Itu suara bunda. Sekali lagi, walaupun samar aku masih dapat mendengarnya.
“Benar. Ia menangis meraung bak macan. Ia tidak mau kutinggalkan. Ia juga tidak mau meninggalkan Reinna. Tapi apa yang akan ia perbuat? Aku sudah memberinya talak 3.”
“Bukankah misimu berhasi?”
“Ya. Aku sangat senang.”
“Aku juga senang mendengarnya.”
“Bagaimana denganmu? Kapan kamu akan meninggalkan suamimu yang super sibuk, sayang?”
“Kamu hanya perlu menunggu hingga waktu yang tepat.” Ucap bunda.
“Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku hanya perlu mencari masalah lalu menceraikannya dan menikah denganmu.” Lanjut bunda.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
“Meninggalkannya, menunggu kamu cerai, menikahimu lalu kita akan hidup seperti apa yang kita inginkan dulu.”
Inikah yang bunda inginkan? Bersikap seolah mencintai ayah, mengambil semua yang ayah miliki. Ketika sudah mendapatkan yang ia mau, ia akan membuat masalah lalu menceraikan ayah dan menikah dengan pria tua itu? Apa bunda sejahat itu?
Aku melemah, tangan yang kupakai untuk menopang tubuhku melemas. Aku terduduk di balik pintu. Aku menggeserkan badanku hingga dapat melihat bunda yang sedang bersama pria lain melalui celah pintu. Aku mengintipnya, biarlah aku dianggap tidak sopan.
Disana, di sofa ruang tengah. Ruang keluargaku. Aku melihat bunda sedang mencium pipi pria tua itu. Tak lama, bunda memeluknya mesra. Tamu itu, ternyata selingkuhan bunda. Ayah, kenapa kau pergi ke luar kota sangat lama? Kau seharusnya ada disini!
Aku bangkit, perlahan aku membuka pintu kamarku yang langsung terhubung ke ruang tengah. Bunda masih tidak sadar akan pergerakanku. Pria tua itu juga. Mereka sedang asik bermesraan, berselingkuh hingga tidak menyadari sekelilingnya.
“Bun-Bunda ... ap-apa yang se-sedang kau la-kukan?” tanyaku terbata.
Air mata senantiasa mengalir di pipiku. Mereka menghentikan kegiatannya. Bunda menatapku marah, pria itu menatapku kaget sambil menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan yang besar. Sedangkan aku, aku menatap mereka dengan tatapan tidak percaya.
“Bukankah aku sudah bilang untuk tidak keluar kamar? Kenapa kau keluar kamar? Bodoh! Kembali ke dalam kamar!”
“Tapi ... Bunda apa yang baru saja kau katakan? A-apa itu benar?” tanyaku tanpa memperdulikan ucapan yang menyuruhku kembali ke kamar.
Bunda melempar gelas yang ada di atas meja, aku dengan cepat menghindar. “Kembali ke dalam kamar! Ku bilang kembali ke dalam kamar!”
Aku mematung, menatap bunda dengan mata yang berkaca-kaca. Bunda, nafasnya memburu menahan amarah. Mata coklatnya menatapku penuh amarah. Tangan lentiknya mengepal. Ayah ... segeralah pulang.
“Bau ikan busuk!” ucap pria itu.
Lagi. Lagi. Dan lagi. Kenapa kata-kata itu selalu saja keluar dan terdengar olehku?Pria itu mendekat ke arahku. Aku diam. Ia semakin dengan hingga kini jaraknya dengan ku hanya terpaut beberapa sentimeter saja. Ia mengenduskan hidungnya ke badanku. Aku masih diam. Aku ingin tahu reaksinya. Benar saja, ia segera menjauh dariku.
“Dia anakmu?” tanya pria itu pada bunda. Bunda menunduk lalu menganggu.
“Bau! Apa kau tidak mengurusnya?”
“Aku mengurusnya! Tapi dia tidak mengurus badannya sendiri!”
Aku? Tidak mengurus badanku? Bunda ... aku sangat tidak menyangka. Sungguh!
“Setelah menikah denganku, jangan pernah membawanya ke rumah yang akan kita tempati!”
Bunda masih menunduk, seperti malu(?) “Baiklah...” bunda sedih.tapi aku tahu, itu hanya rekaan.
“Lagipula aku tidak ingin tinggal atau bahkan sekedar bertemu denganmu lagi!” ucapku lantang pada pria itu.
Pria itu mengambil tas yang berada di sofa lalu keluar dari rumahku dengan cepat, dengan muka kesal. Bunda mengejarnya, mencegahnya agar tidak pergi. Aku masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya. Lalu duduk di belakang pintu dengan kaku yang di tekuk kepala yang ditenggelamkan pada lipatan tangan.“Kenapa kau bersikap seperti tadi?” tanya bunda berteriak. Sepertinya pria itu sudah pergi dan bunda tidak bisa mencegatnya.
“Kenapa?” tanyaku balik.
“Tidak seharusnya kau bersikap seperti itu pada—”
“PADA SELINGKUHAN BUNDA?” tanyaku penuh dengan emosi.
“Aku kira bunda itu bunda yang selama ini Keyra tahu ... Keyra kira bunda itu bunda yang selama ini Keyra sayang ... itu cuma perkiraan Keyra. Ternyata aslinya tidak seperti itu. Bunda penjahat ... Bunda pembohong ... Bunda tidak lebih seperti jalang.” Ucapku. Tidak ada sahutan dari luar sana. Hening hingga akhirnya aku mendengar teriakan bunda seperti frustasi.
“Kenapa kau selalu memperma—”
“MEMPERMALUKAN BUNDA DENGAN PENYAKIT KEYRA?” tanyaku, masih penuh dengan emosi.
“YA! KENAPA KAU MEMPERMALUKAN BUNDA?” tidak aku sangka jika jawaban bunda akan seperti ini.
“Bunda ... penyakit ini bukan keinginan Keyra!”
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M OK - BODY SHAMING
Short StoryAku memang berbeda, tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tubuhku memang jauh dari kata sempurna, tidak seperti kebanyak orang pada umumnya. Aku memang terlihat kotor dan mungkin bau. Tapi apa salah jika aku hidup? Bukankah hidup seseorang it...