Kubenci!

916 53 8
                                    

Bogor, 5 Februari

"Kupikir setelah 3 hari tidak masuk sekolah, ia sudah meninggalkan dunia ini. Ah ternyata, dia masih ada disini."

Itukah yang mereka inginkan? Aku benar-benar pergi dari dunia ini? Mereka seharusnya merasakan penderitaanku. Ketika ingin bertahan hidup, mereka justru memaksa dan mendoakanku agar aku meninggal.

"Aku juga mengharapkan hal seperti itu. Untuk apa orang sepertinya ada di dunia ini?"

Untuk apa? Untuk membuatmu bersyukur. Bersyukur karena tidak mempunyai penyakit langka sepertiku. Bersyukur karena punya badan langsing dan tidak harus diet. Bersyukur karena jarang dicaci oleh orang lain.

"Kau tahu? Itu menjijikan."

Benar! Aku memang menjijikan. Lebih menjijikan dari sampah. Bau ikan busuk iniah yang membuatku menjadi semenjijikan itu.

Kata-kata itu terbayang di otakku. Terus terngiang di telingaku. Terus menusuk di hatiku. Terus menyuruh bibirku untuk membalas setiap kata yang mencaciku. Tapi apa boleh buat? Bibirku bungkam, enggan untuk sekedar membalasnya. Mataku terpejam, enggan untuk sekedar melirik wajah sinisnya.

Kata-kata itu, kubenci! Kata-kata yang selalu orang ucapkan ketika aku lewat di hadapannya. Kata-kata yang membuatku seolah ingin mati saja, toh daripada hidupku seperti ini? Aku selalu bertanya pada diriku, "salahkah aku hidup?" dan hatiku selalu menjawab, "tidak akan menjadi masalah jika aku tidak mengidap penyakit langka ini. Namun, akan menjadi masalah jika aku mengidap penyakit langka ini."

Aku sampai di pintu kelas, langkahku terhenti dengan sengaja. Aku melihat teman-teman kelasku dengan tatapan sedih. Mereka yang tadi sedang mengerumin untuk mencontek PR, ketika merasakan kehadiranku langsung berpencar menuju tempatnya masing-masing. Mengambil masker yang disediakan di tas, lalu memakainya. Sudah pasti mereka akan melanjutkan aktivitasnya kembali.

Aku kembali melangkah ketika salah seorang temanku mengacungkan jempolnya ke arahku. Pertanda semua sudah siap. Siap untu menerima diriku masuk ke dalam kelas. Walau aku tahu tidak sepenuhnya menerima, hanya terpaksa.

Itulah rutinitas bodohku ketika hendak masuk kelas. Ada hal bodoh lainnya yaitu tempatku yang berada dipojok belakang kelas. Tempatku tidak tergabung dengan yang lain. Salah satu guru dengan sengaja memindahkannya sedikit lebih jauh dengan yang lain. Lebih bodoh lagi ketika aku merasa sakit hati dan terpaksa melakukan itu semua. Seharusnya aku tidak perlu sakit hati, seharusnya aku terbiasa dan memakluminya.

Kulihat Deva, perempuan yang dulu adalah teman dekatku tengah mengacak tasnya frustasi. Ia terlihat sedang mencari sesuatu dan tidak menemukannya. Ia juga terlihat sedang menahan napasnya, terlihat dari pipinya yang mengembung. Tunggu, dia tidak-

"Ah sial! Aku tidak membawa masker!" umpatan itu keluar dari bibir pink mungilnya. Dugaanku benar, sangat tepat.

"Aku tidak dapat bernapas lega hari ini." ujung matanya melirikku tajam, wajah cantik yang mungil itu terlihat sangat kesal, ia langsung mengembungkan pipinya masih setia untuk menahan napasnya setelah berbicara.

Kata-kata itu keluar lagi. Aku menunduk ketika ia mengucapka kata-kata yang paling kubenci, "Bau ikan busuk!" setelahnya ia pergi keluar kelas.

Sangat tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Deva. Padahal, dulu ia pernah berjanji padaku.

Bogor, 16 Oktober 2018

I'M OK - BODY SHAMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang