Kegelisahan

627 39 12
                                    

Bogor, 28 Februari 2019

Hi. Kali ini akan berbeda. Benar-benar berbeda dari biasanya. Baru akhir-akhir ini aku merasakan duniaku kembali ke masa sebelum dokter memvonis penyakitku. Tapi, itu semua kembali lagi sejak hari ini. Kembali ke masa setelah dokter memvonis penyakitku.

Duniaku benar-benar hancur. Bunda? Tidak ada lagi bunda dalam hidupku. Maupun bunda kandung atau bahkan psikolog yang kupanggil bunda itu. Mereka semua sudah tidak ada. Ayah? Ayah juga sudah tidak ada. Kevino? Dia ... sulit rasanya jika harus menceritakan hal itu. Yang pasti, mereka semua sudah tidak ada. Maksudku, mereka bukan benar-benar tidak ada karena meninggal dunia. Mereka ada, tapi tidak lagi ada untukku.

Bogor, 21 Februari 2019

Hari itu, tepat hari ke-3 pertemananku dengan Kevino di mulai. Semenjak berteman dengan Kevino, ia selalu bersamaku. Kemanapun, kapanpun, sedang apapun. Kecuali saat di rumah atau saat sedang ke toilet sekolah.

Tapi semakin hari, sikap Kevino semakin aneh, terlihat seperti risih(?) Ya, risih akan cemoohan para murid sekolahku. Ya, walaupun baru 3 hari berteman, rasanya seperti sudah melewati banyak hal. Bukan hal baik, melainkan hal buruk.

Aku berjalan menuju kelas bersama Kevino. Walaupun dengan perasaan tidak enak, aku masih bisa mempertahankannya. Setidaknya, aku masih nyaman berteman dengannya. Kumohon, Tuhan, jangan jauhkan satu-satunya temanku dariku.

"Tidak, aku hanya merasa aneh. Mereka ini kan berdekatan. Tidakkah Vino merasa bau?"

"Entah. Aku rasa ia menahan baunya."

"Memang aneh. Aku yang berada sedikit jauh darinya saja merasa bau."

"Sepertinya Vino memang memiliki gangguan pada indra penciumannya."

"Hahahaha benar sekali!"

Tawa itu, tawa yang menyebalkan. Kata itu, kata yang menyebalkan. Merendahkan kami. Mencaci kami. Ya, seperti itulah keseharianku. Penuh akan cacian, makian, cemoohan, dan sejenisnya.

Aku melihat ke arah Kevino. Mukanya merah menahan marah, matanya penuh dengan aura kebencian, tangannya mengepal. Aku paham, ia sedang berada di puncak kemarahannya. Tadi, ia menundukkan kepalanya. Tapi tidak dengan sekarang, ia menenggakkan kepalanya. Menatap mereka dengan aura kebencian.

"Setidaknya indera pendengaranku masih berfungsi dengan benar. Indera penglihatanku masih berfungsi dengan benar. Perasaanku juga masih berfungsi dengan benar. Aku bisa mendengar cacian dari kalian. Aku bisa melihat siapa diantara kalian yang mencaciku. Aku juga bisa merasakan sakit hati jika terus-terusan dicaci!" Kevino mengakhiri kalimatnya dengan nafas memburu.

Aku menenggakkan kepala, melihat sekelilingku. Mereka memerhatikan kami dengan tatapan mengejek(?) Seolah menahan mulut mereka untuk tertawa. Aku beralih menatap Kevino. Aku menarik tangannya kembali menuju parkiran sekolah. Rasanya ... Aku ingin benar-benar pergi dari sana saat itu juga.

Sampai di parkiran sekolah, Kevino menatapku geram. Aku menatapnya balik dengan penuh tanda tanya. Ada apa dengannya? Apa ia masih kesal? Karena dicaci oleh mereka? Atau karena apa? Aku tidak paham.

"Jangan lagi berteman denganku. Aku ini buruk. Sudah kubilang sebelumnya, mereka selalu mencaciku."

Tes ...

Satu tetes air mataku berhasil meluncur. Aku tidak tahu alasan aku menangis saat itu. Tapi, kata-kata Kevino ... benar-benar membuatku seolah harus menjauhinya. Tidak lagi berteman dengannya.

"Apa maksudmu?"

"Jangan lagi berteman denganku. Hanya itu."

"Kenapa?"

I'M OK - BODY SHAMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang