Photophobia

546 35 0
                                    

Bogor, 17 Februari 2019

Semenjak insiden beberapa hari yang lalu, aku semakin jauh dengan bunda. Aku juga selalu menunggu kedatangan ayah. Aku ingin memberitahu ayah. Memberitahu semua kebusukan bunda. Kejelekan bunda. Bunda yang terlihat seperti jalang. Bunda yang ternyata memiliki maksud terselubung di balik pernikahan ini. Pokonya, semua hal busuk yang bunda tutupi dari ayah.

Semenjak insiden beberapa hari yang lalu, bunda sudah jarang ada di rumah. Entah karena apa. Mungkin karena sudah ketahuan selingkuh olehku. Atau mungkin karena sudah mendapat semua yang ia mau dari ayah. Aku tidak lagi melihat bunda. Ah mungkin aku melihatnya tapi hanya dikala pagi. Saat siang hingga malam, aku tidak pernah lagi melihatnya.

Saat ini aku ingin menghampiri bunda. Ah, mungkin kalian terkecoh. Bukan bunda kandung yang ku maksud. Dia adalah psikolog yang sering aku datangi untuk sekedar konsultasi setiap bulannya. Namanya Siska, tapi ia ingin aku memanggilnya dengan sebutan bunda. Aku turuti saja. Aku lebih menghargainya sebagai bunda dibanding menghargai ibu kandungku sebagai bunda.

Jalanan kota ramai. Macet di setiap tempat. Debu di mana-mana. Bunyi klakson  terdengar saling bersahutan di sekelilingku. Aku mengendarai mobilku ketika lampu hijau nyala. Mengendarai mobil sendiri. Memang terdengar aneh untuk anak sekolah sepertiku. Tidak memiliki SI, tidak patut dicontoh. Lagipun, ini bukan keinginanku. Aku terpaksa melakukan ini.

Kau ingin tahu kenapa? Banyak alasannya. Ketika aku mendapat supir, ia pasti akan mengundurkan diri setelah satu hari bekerja, seperti supirku yang lalu. Ketika aku memesan taksi, sang supir pasti akan menyuruhku untuk membatalkan pesananku, padahal aku baru saja menaiki taksinya. Saat naik ojek, ah ini. Aku tidak ingin membuat orang lain risih karena bau badanku. Parahnya, ketika aku meminta orang tuaku untuk mengantarkanku, mereka pasti langsung memberikanku kunci mobil dan menyuruhku untuk mengendarainya sendiri.

Menyulitkan memang memiliki penyakit langka seperti ini. Menyebalkan. Semoga kalian tidak pernah merasakannya ya.

Aku memarkirkan mobilku di garasi sebuah rumah mewah di kawasan elit daerah Bogor. Setelah merasa siap, aku turun dari mobil dan langsung masuk ke dalan runah tersebut, itu sudah biasa. Sang empunya rumah menghampiriku, menyapaku dengan hangat.

Ia memelukku, "Keyra, apa kabar? Sudah lama tidak kemari." Ucapnya hangat. Mukanya bersinar, ia seolah senang dengan kedatanganku.

Aku melepas pelukannya lalu menatap matanya dalam, "Aku sedang tidak baik, bunda. Hal besar terjadi padaku."

"Apa yang terjadi? Coba ceritakan!" Pintanya. Wajahnya kini sudah menampilkan ekspresi khawatir dan panik.

Ia berjalan menuju sofa lalu duduk dan mengisyaratkanku untuk ikut duduk di sampingnya. Aku mengikutinya. Duduk di sampinya. Tanganya kini menggenggam tanganku erat, seolah tahu bahwa aku tengah mengalami masa tersulit. Seolah memberiku kekuatan.

Aku mulai bercerita, "Bundaku ... Ia---" tapi tidak bisa. Mulutku seolah bisu. Air mataku mulai mengalir. Mengingat hal itu, sungguh mengerikan. Rasanya sesak jika harus menceritakan hal itu.

Ia semakin erat menggenggam tanganku lalu memelukku, "jika tidak sanggup, kamu bisa menceritakannya nanti."

Aku menggeleng, "tidak, aku ingin menceritakannya sekarang."

Aku menarik nafas panjang kemudian mulai bercerita,

"Respon orang-orang di sekelilingku makin menjadi. Bahkan kemarin, aku hampir celaka jika saja tidak ada orang yang menolongku. Teman sekolahku, mereka hampir membunuhku. Mereka ... juga hampir membuatku di keluarkan dari sekolah. Mereka mengambil gambar diriku yang sedang dijadikan boneka tidur oleh orang suruhan mereka. Aku ingat betul dan awalnya aku merasa lega ketika orang suruhan mereka menolak karena tubuhku yang bau ikan busuk. Tapi karena mereka menjanjikan banyak uang dan menyuruh orang tersebut memakai masker, orang itu mau. Aku mulai gelisah, aku meronta tapi tidak bisa. Anehnya, entah kenapa. Ketika melihat kilatan cahaya di kamera, kepalaku terasa pusing. Lagi dan lagi, saat kilatan cahaya itu terus mengenaiku, saat itu juga kepalaku terasa sangat pusing, kupingku berdengung, bahkan hidungku mimisan."

"Aku teriak meminta tolong dan terus meronta. Tempat itu memang tersembunyi dan jarang dilewati orang. Tapi saat itu aku sangat berharap seseorang melewati tempat itu lalu menemukanku. Akhirnya, harapanku terkabul. Seorang lelaki, mungkin usianya sama denganku, ia mendengar teriakanku lalu menerobos tempat itu dan menolongku. Ia juga mengambil kamera yang teman sekolahku pegang lalu menghapus semua foto-foto yang akan mereka kirim ke kepala sekolah. Ia juga membawaku ke rumah sakit karena melihatku yang sudah terkapar lemas dengan hidung mimisan."

Ia mendengarkan ceritaku, raut wajahnya penuh dengan kekhawatiran. Aku berhenti sejenak, meminum teh hangat yang baru saja dibawakan oleh pembantu bunda. Dan kembali bercerita,

"Saat di rumah sakit, seorang dokter menanganiku hingga kondisiku sedikit membaik lalu ia memberitahu hal yang terjadi padaku. Trymetilaminuria itu yang pertama, namun aku sudah tahu. Dan yang kedua, Photophobia. Aku---"

"Photophobia? apa itu?" Tanya bunda memotong penjelasanku. Mukanya panik, entah kenapa.

"Aku tidak tahu pastinya seperti apa penyakit itu. Tapi dokter bilang, aku fobia terhadap kamera yang memotretku. Ketika cahaya dari kamera itu muncul, ah sepertinya walaupun cahaya itu tidak muncul. Yang pasti, ketika kamera memotret barang sedikit dari tubuhku, aku pasti akan merasa pusing bahkan bisa sampai mimisan."

Bunda menggeleng tidak percaya, "sejak kapan?"

"Aku tidak tahu sejak kapan, yang pasti saat ini aku mengidap fobia itu," aku menundukkan kepalaku dalam. Itu benar-benar berita yang mengejutkan. Fyi, bunda kandungku tidak tahu aku mengidap penyakit ini. Aku sudah jarang bertemu dengannya.

"Apa ada pengobatan rutin? Apa bisa disembuhkan?"

"Aku tidak tahu, dokter tidak memberitahuku apapun."

"Bunda!" Panggil girang seseorang di depan pintu. Aku dan bunda dengan sigap mengalihkan pandangan pada orang tersebut.

Aku menatapnya, ia juga menatapku. Ia---

"Bukankah kamu perempuan yang kemarin ku bawa ke rumah sakit?" Ya. Dia adalah seorang lelaki yang membawaku ke rumah sakit kemarin. Ya. Dia adalah seorang lelaku yang telah menyelamatkanku kemarin. Ya. Dia adalah orangnya.

Bunda menatap orang itu lalu beralih menatapku, "kalian sudah saling kenal?" Tanyanya dengan penuh penasaran.

Aku menganggukkan kepala, "ya. Dia yang baru saja kubicarakan."

Orang itu berjalan menghampiri tempatku dan bunda. Ia menarik koper yang dibawanya. Ia berhenti lalu duduk di sofa depanku.

"Dia anakku. Namanya Kevino. Baru saja pulang dari studinya di London. Dia berada di indonesia sejak satu minggu yang lalu, namun ia langsung pulang ke rumah kakeknya dan sekarang ia baru menemuiku." Ucap bunda memberitahu anaknya, orang yang menolongku, yang diperkenalkan bernama Kevino.

Mereka keluarga yang aneh. Tapi, aku sangat berterima kasih kepada mereka. Mereka baik, bahkan sangat. Disaat semua orang menjauhiku karena menjijikan, mereka justru mendekatiku tanpa ada rasa menjijikan sama sekali. Anehnya, mereka seolah tidak memperdulikan bau ikan busuk dari badanku. Mereka seolah ... diciptakan untuk tidak bisa mencium bau badanku.

I'M OK - BODY SHAMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang