Sesampainya di sebuah tujuan, ternyata Surya membawaku ke pantai. Tempatnya tidak begitu ramai hanya beberapa orang yang berlalu lalang, ada yang sedang berjemur ataupun duduk menatap airya yang jernih.
"Mau apa kamu mengajakku ke pantai?"
Tidak mengajak, ini sebuah paksaan, atau lebih tepatnya penculikan.
Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, hanya saja berkata,
"Nanti kamu tahu sendiri. Ayo, ikuti saja langkahku!"
Dengan wajah kesal, ku ikuti langkahnya. Hingga sampailah di pesisir pantai tersebut. Ia mulai duduk lalu menyuruhku untuk duduk juga.
"Ayo, duduklah."
Seketika refleks bibirku berkata,
"Disampingmu?"
Jelas dia hanya menganggukkan kepalanya. Saat ini aku tepat duduk disampingnya. Perasaan itu muncul lagi, aku semakin tak karuan sangat salah tingkah. Tetapi sebisa mungkin aku harus berusaha bersikap biasa saja.
Beberapa menit kemudian tak ada yang berani memulai pembicaraan. Aku dan Surya seperti orang bisu, tak bersuara. Atau seperti orang asing yang enggan berkata.
Aku benci suasana ini, apakah harus aku yang memulai pembicaraan?
Tiba-tiba saja Surya berkata,
"Kinara, kamu tahu arti namamu apa?"
"Tidak." Aku begitu bingung, kenapa dia bertanya seperti itu.
"Ingin tahu?"
"Memangnya kamu tahu?"
"Kinara itu artinya titik pertemuan."
"Apakah benar begitu?"
"Terserah saja mau percaya atau tidak."
"Mmm, aku juga tahu arti namamu."
"Tetapi sayangnya aku tidak bertanya akan hal itu."
"Itu pernyataan bukan pertanyaan!" jelas aku merasa kesal.Rasanya aku sudah tak ingin lagi meladeni perkataannya. Sebab jawaban yang ia katakan selalu saja membuat hatiku geram.
"Hey!" dia mencoba mengusik lamunanku.
"Apa?"
"Coba jelaskan arti namaku."
"Katanya sudah tahu."
"Aku memang sudah tahu, hanya saja ingin membuatmu sedikit berkoar agar tidak diam begitu. Melamun lalu ujungnya tidur hahaha."
"Ishh pikiranmu terlalu jauh, mana mungkin aku tertidur di pantai."
"Ya sudah cepat jelaskan!"
"Surya itu artinya matahari. Dwi itu dua. Lalu Renzi itu keteguhan."
"Kinara?"
"Hmm apa?"
"Boleh tidak kalau aku memanggilmu Qia saja?"Degg ..
Degup jantung ku seakan berdetak lebih cepat dari biasanya. Saat Surya berkata seperti itu, rasanya membuatku semakin sulit untuk menetralkan rasa.
"Terserah saja."
"Qia, jika dijabarkan, Kinara itu titik pertemuan yang mengawali sebuah perpisahan, ku rasa menyakitkan bukan?"
"Memang bertemu akan berpisah, tetapi bagiku titik pertemuan itu ketika rindu meronta ingin mereda lantas selepasnya rindu-rindu yang lain muncul kembali."
"Tahu apa kamu tentang rindu?"
"Aku tidak begitu paham. Tetapi semenjak ayah menghilang, aku merasa duniaku hampa lalu setiap detiknya rindu selalu datang menyapa."
"Bersyukurlah karena masih ada kesempatan untuk bertemu dengan ayahmu. Sedangkan aku hanya bisa menitipkan do'a lewat semesta."Benar, sejak SMP Surya telah kehilangan ayahnya. Akibat kecelakaan beruntun di salahsatu kota.
**
"Qia, coba lihat air ini."
"Lalu?"
"Air selalu tenang meski ombak tak henti menghadang."
"Ku rasa karena air terlalu ikhlas."
"Itulah jawabannya. Terkadang ikhlas adalah kunci agar kita paham bahwa tak selamanya semesta berpihak, berada di titik terendah sekalipun jika ikhlas semua akan cepat berlalu."
"Ada juga yang sama ikhlasnya dengan air."
"Apa itu?"
"Dia adalah hujan, yang rela jatuh berkali-kali meski tahu rasanya sakit."
"Sejatinya, hidup itu tentang keikhlasan."Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Rasanya waktu cepat sekali berlalu.
"Mau pulang tidak?" tanyanya yang tetap terfokus pada keindahan pantai.
"Mau!"
"Sebentar lagi ya, aku ingin lihat senja."
"Apa indahnya? Senja itu sementara, tidak lama."
"Justru itulah sebabnya ia indah. Meski sementara tetapi selalu ada, dihari esok dan seterusnya. Qia, senja tidak benar-benar pergi."Setelah menatap senja yang kian tenggelam, aku dan Surya pun beranjak pergi. Udaranya cukup dingin, hingga tiba-tiba saja ia menempelkan jaketnya pada punggungku. Seketika aku tidak berkutik apapun, perlakuannya semakin membuatku tidak karuan.
"Tidak usah kaget dengan perlakuanku. Jangan geer dulu, itu jaket Pak Amir."
Hah pak Amir? Satpam sekolahku. Euhh muak rasanya seakan diterbangkan lalu dijatuhkan seenaknya.
**
Sesampainya di rumahku, tak ada satu kata pun yang terucap. Lagi-lagi diam telah menguasai mulutnya. Sulit ditebak dengan kelakuannya itu. Ia langsung saja pergi tanpa ada rasa bersalah karena telah menculikku.
Surya Dwi Renzi--
Makhluk teraneh dimuka bumi
Ia suka air,
Senang berlama-lama di pantai
Ia suka senja,
Katanya, sementara namun selalu ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hingga Batas Waktu
Teen Fiction"Ku kira waktu itu tiada batasnya Selayaknya dunia yang tak berujung," "Tetapi batas waktu bagiku Saat kita menapaki dunia berbeda, Aku masih di bumi, sedang engkau telah kembali ---- pada penciptamu." Kisah tentang seorang yang ingin tahu seberapa...