LIMA BELAS
Lana turun dari motor Adnan, Ia memandang sekeliling dan merasa suasana tempat ini sangatlah tenang dan sejuk. Di depan mereka ada sebuah danau kecil yang indah, airnya seperti kaca hitam yang memantulkan apapun yang di tangkapnya, di pinggir danau ada banyak kursi kayu panjang yang catnya telah memudar dan masing-masing berjarak lima meter setiap kursi kayu di dampingi oleh lampu tiang berbentuk bulat, dari sini Lana bisa melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang di seberang danau.
Adnan duduk di salah satu kursi kayu panjang, duduk dan menatap danau dengan pandangan kosong. Lana melangkah mendekat dan ikut duduk di samping Adnan. Ia melirik Adnan tapi Adnan sama sekali tidak bergeming, tidak balas menatapnya, Adnan terus menatap danau itu lurus-lurus dalam diam.
Lana tidak berani membuka suara, Ia tidak ingin mengganggu ketenangan Adnan, dan lagipula Adnan juga masih sakit, kepalanya masih terbalut perban yang mulai menguning karena darahnya sendiri. Lana mengusap layar ponselnya, menggeser-geser layar beberapa kali dan tanpa sengaja membuka kontak di dalam ponselnya. Hanya ada sedikit kontak yang ada disana, nomor telepon Papa, nomor telepon rumah, Adnan, dan Trian.
Melihat nama Trian di layar ponselnya membuat Lana ingin menghubunginya, entah kenapa... tapi, jika Lana menghubungi Trian alasannya apa? Dia benar-benar akan terlihat bodoh jika mengirim pesan 'Hai' atau menelpon dengan gelagapan mencari alasan saat Trian menanyainya... alasan yang tepat apa ya? Apa sebaiknya dia bertanya soal keadaan Diandra? Oh, itu kedengaran lebih masuk akal, apalagi sekarang Trian pasti masih di rumah sakit.
"Diah," panggil Adnan
Lana yang semula menatap layar ponselnya kini berpaling menatap Adnan, Lana bukannya refleks begitu di panggil 'Diah' oleh Adnan, hanya saja Ia masih sadar sepenuhnya bahwa saat ini Ia bersama dengan Adnan walau pikirannya berakar kemana-mana tadi.
"Ingat nggak, kita dulu selalu kesini", kata Adnan sambil menatap danau di depannya lagi.
Lana tidak menjawab, dia tau saat ini Ia sedang memerankan sosok 'Diah' untuk Adnan. Ia takut jika salah bicara bisa berdampak buruk bagi Adnan... walaupun kenyataan bahwa Ia dilupakan berdampak lebih buruk bagi dirinya sendiri.
"Setiap sore kita kesini, selama kita bersama-sama, kita tidak peduli apa yang terjadi... kita saling melengkapi... cinta monyet anak SMP..." Adnan tersenyum samar masih tetap menatap danau di depannya.
Lana tidak bisa menemukan suaranya, Ia hanya menatap Adnan dan tak bergeming.
"Gue beruntung banget punya Lo Diah..." Adnan menoleh menatap Lana, Ia tersenyum.
Lana ingin memaksakan seulas senyum, tapi wajahnya terasa berat, pipinya membeku, dan bahkan mulutnya mengatup rapat-rapat tak bisa mengungkapkan pengakuannya bahwa dia bukanlah Diah, bahwa hatinya memberontak ingin bersama Adnan tanpa embel-embel menjadi orang lain, bahwa dirinya tak tahan lagi bahwa Ia dilupakan oleh Adnan setelah semua yang telah mereka lalui.
Wajah Adnan semakin mendekat, matanya sayu menatap Lana dalam-dalam, Lana masih diam dan terpaku balas menatap Adnan yang kian mendekat, semakin mendekat hingga napasnya bisa Lana rasakan, dan Lana tersadar bahwa Adnan akan menciumnya... Adnan akan menciumnya tapi ciuman itu untuk orang lain. Lana berdiri, Adnan menatap Lana dengan bingung, Ia menggaruk tengkuknya salah tingkah.
Lana melirik ke sembarang arah, dia ikut salah tingkah melihat Adnan, wajah Adnan memerah hingga ketelinganya, begitupun Lana, Ia merasa wajahnya sangat panas sampai kedalam hatinya.
"Gue mau balik." Putus Lana cepat sambil menyambar tasnya yang ada di kursi kayu.
Adnan kembali menatap Lana, "Mau gue anterin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Kamu Tidak Akan Pernah Tahu / And You'll Never Know (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[COMPLETED] Ini cerita tentang sebuah alasan mengapa seseorang bisa berubah, tentang rumitnya untuk bisa mengerti keadaan seseorang, tentang sulitnya membuka pintu hati seseorang, tentang susahnya memanfaatkan waktu yang kita punya... Mengetahui kis...