Tiba harinya, hari yang terik tepat dimana saya melihat kamu untuk pertama kalinya, langsung dengan mata dan kepala ini sendiri.
Saya yang waktu itu sedang ada kelas siang, berjalan bersamaan untuk masuk ke kelas dengan teman-teman sekelas saya lainnya.
Melihat kamu bersama teman-teman kamu, di depan kelas yang kamu tunggui itu, bersebelahan dengan kelas yang akan saya masuki. Dan yang kebetulan, walau hanya sepintas, saya lewat dan tak sengaja melihat kamu.
Anehnya, sepasang bola mata ini langsung bergerak otomatis tertuju ke arah kamu berada, di antara kerumunan beberapa orang itu.
Waktu itu, lagi-lagi saya termasuk dari sebagian kecil kelompok orang yang sepakat hanya menganggap kamu sebagai seorang yang tak jauh beda seperti teman segender angkatan kamu lainnya.
Tak ada yang berbeda dari kamu.
Saya yang waktu itu pertama kali melihat kamu, bukanlah saya yang dulu kala. Dulu, saya yang sering dengan mudahnya mengagumi lawan jenis dari sisi luarnya saja, meski dari pandangan pertama, bahkan tak punya prasangka apapun terhadap kamu.
Bahkan mengagumi kamu saja tidak. Tidak sama sekali. Pahami itu.
Beriringan dengan fakta lain, bahwa saya telah banyak berjumpa dengan wanita yang bahkan lebih cantik dari kamu. Wajah-wajah ibukota, yang katanya, kebanyakan dari sana wanita cantik di Tanah Air ini diproduksi. Selain teteh-teteh geulis dari tanah asal legenda sangkuriang berada tentunya. Yang beberapa dari mereka hadirnya mewarnai masa remaja saya dahulu.
Sampai saat di malam keakraban yang angkatan kamu buat itu. Di situ, hadir saya yang menjadi bagian dari sekian banyaknya angkatan terdahulu yang diundang.
Saya yang sedang asik menghisap sebatang rokok, tak sengaja melihat kamu bernyanyi ria, lengkap dengan kupluk singa diatas hijab bewarna hitam yang kamu pakai itu.
Dibawah sinar rembulan dan cahaya bintang, saya masih seorang lelaki yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Bahwa kamu masih bukan apa-apa.
Dan sekaligus terdengar pula pada malam itu, kabar bahwa kamu punya tanah kelahiran beserta logat khas yang sama dengan saya. Saya hanya terheran-heran dibuat mereka tanpa terpikir kalau kamu dan saya punya kampung halaman yang sama.
"Seantusias kah mereka itu terhadap kamu? Apa justru saya yang aneh sudah menjadi pria yang tak normal lagi?" Tanya diri ini pada sang rembulan.
Sampai-sampai segala tentang kamu, saya dengar tak sengaja dari obrolan mereka yang begitu mengagumi kamu.
Saya yang pemalu, tak ingin menyita perhatian di malam itu. Saya hanya menjadi diri saya sendiri, yang mondar mandir mengambil jagung bakar yang tersedia serta beberapa gelas air minum yang terpapar rapi di kardus yang panitia siapkan.
Bahkan ketika teman-teman seperjuangan saya asik berdansa diiringi musik reggae yang berdendang dari genjrengan gitar yang dimainkan salah satu teman seangkatan kamu. Saya terlarut dalam suasana, namun mengepresikannya hanya dengan mengangguk-anggukan kepala. Bukannya jaim, namun itulah diri seorang saya.
Tak ingin menyita perhatian yang caranya sama dengan kebanyakan orang. Saya hanya cukup diam, itu sudah cukup mengundang perhatian.
Itu adalah cara saya.
Saya adalah saya. Tanpa dibuat-buat.
Tak lama setelah momen bernyanyi ria tersebut usai, mahasiswa/i baru di perbolehkan untuk menuju tendanya masing untuk beristirahat karena besok pagi merupakan pagi yang tak boleh terlewatkan untuk mahasiswa/i baru.
Selang beberapa lama setelah itu, terdengar kabar kalau salah satu mahasiswi baru, sakit karena kedinginan. Sontak, beberapa para lelaki baik di angkatan kamu atau angkatan saya langsung menuju ke tenda tersebut.
Sebelum saya tahu, jauh setelah malam itu, dari kamu yang bercerita di saat saya dan kamu menghabiskan separuh malam, ternyata tenda itu adalah tenda tempat dimana kamu beristirahat dengan teman-teman kamu.
Dan rupanya sosok yang kedinginan itu adalah kamu.
Sebelum kejadian kedinginan itu berlangsung, saya yang waktu itu berada dekat dengan tenda kamu berada, sedang berbincang-bincang dengan mahasiswa/i lainnya.
Mendengar kejadian itu, saya yang sedang menggunakan jaket lumayan tebal, spontan langsung meminjamkan jaket yang sedang saya pakai itu dan memberikannya ke teman saya yang sedang berada di depan tenda kamu dan saya langsung bergegas menuju tenda khusus para angkatan terdahulu yang menginap yang panitia siapkan tanpa memikirkan kejadian itu.
Tanpa maksud apapun saya meminjamkan jaket itu, hanya sebagai manusia yang peduli dengan manusia lainnya.
Cari perhatian saya pikir waktu itu. Tanpa mengetahu siapa sosok yang kedinginan tersebut.
Esok harinya, tepat saat sinar mentari mulai menyinari embun dan kabut pagi pegunungan, tempat acara keakraban itu dilaksanakan. Acara selanjutnya pun dimulai.
Di awali sarapan bersama mahasiswa/i baru, kemudian beberapa permainan yang diadakan panita untuk dimainkan kamu dan teman-teman angkatan kamu.
Ketika permainan di mulai, saya sedang mencari air minum di tengah lapangan untuk saya sendiri dan teman-teman saya di tenda, yang di sampingnya tempat kamu dan teman kamu lainnya bermain.
Dari kejauhan, saya melihat kamu tertawa lepas bersama teman-teman kamu. Ditambah raut wajah kamu yang baru terbangun dari tidur, yang sejatinya saya tak pernah melihat wajah seorang wanita yang baru bangun tidur seanggun itu selain ibu saya sendiri, beserta jaket yang kamu gunakan.
Ada kebahagiaan di dalam senyum dan tawa yang kamu pancarkan itu.
Satu hal yak tak pernah saya temui dari orang asing yang pernah saya temui. Dan yang kebetulan saya melihatnya, lagi lagi secara tak sengaja namun menjadi asik memperhatikan kamu dari kejauhan.
Sambil sesekali menyedoti gelas demi gelas air minum yang tadinya saya ambilkan untuk teman-teman ditenda, malah habis diminum oleh saya sendiri, saking teralihkannya oleh kebahagiaan dari senyum dan tawa yang kamu buat itu.
Berkali kali saya palingkan pandangan saya dari sosok kamu. Namun sepasang mata yang saya punya ini selalu kembali menuju kamu.
Dan mata inipun dalam diamnya berharap melihat berbagai macam lagi senyum dan lain tawa yang keluar dari wajah kamu itu.
Akhirnya saya kalah.
Harus jujur mengakui waktu melihatnya, bahwa kamu manis saat tersenyum apalagi saat tertawa.
Senyum dan tawa dari kamu, mengalihkan sesaat dunia saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu.
عاطفيةRasanya, kata "kita" belum pantas di cetuskan dalam kisah ini. Saya dan kamu, terdengar lebih realistis daripada kata tersebut, yang seakan menyatakan kalau saya dan kamu pernah bersama. Berceritakan tentang saya dan kamu, yang di pertemukan Tuhan...