Saya menggunakan kemeja flannel serta celana jeans kesukaan saya pada siang itu, ditambah rambut yang kala itu panjangnya menyentuh bahu, sudah saya tata serapih mungkin. Sembari saya menghela napas panjang saat berjalan ke arah tempat kamu duduk diantara kawanan mahasiswa baru lainnya.
Anehnya waktu itu, ketika tepat berada dibelakang kamu, saya bukan menjadi saya yang biasanya, saya gugup, tidak tau apa yang terjadi dengan raga ini. Namun saya tetap memberanikan diri untuk memanggil nama kamu.
Ketika saya menyebut nama kamu dari bekalang, kamu spontan langsung bergegas menoleh ke arah suara saya berasal sembari memutar kepala. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibir kamu itu.
Dunia berhenti seperkian detik saat saya dan kamu saling menatap mata.
Langsung, dari mata ke mata.
Lagi lagi, diri ini merasa diakali situasi, yang tidak tahu siapa dirinya sendiri, saat kamu memperlihatkan raut wajah langsung di hadapan saya.
Perasaan yang waktu itu sebenarnya tidak karuan karena memandangi sepasang mata kepunyaan kamu, bagaikan fenomena yang tak boleh dilewatkan sedetikpun.
Saya hanya terdiam membisu ketika menyaksikan kejadian ini.
"ayolah, bertemanlah sedikit dengan jiwa ini" celetuk saya dalam hati pada raga ini.
Sampai akhirnya saya berani berbicara kepada kamu, sambil menjelaskan rincian acaranya secara terbata-bata bak bayi yang baru bisa belajar berbicara. Setelah saya selesai menjelaskan, kamu balik menjelaskan kalau kebetulan belum mengambil uang di mesin ATM.
Saya memutuskan secara spontan waktu itu, dengan berkata agar esok pagi saja kamu membayarnya. Dengan raga ini yang diam-diam berharap dalam pintanya akan menemui kamu lagi.
Malam harinya, saya kembali memulai percakapan antara saya dan kamu. Saya kembali mengingatkan kamu agar besok menyelesaikan pembayaran sebagai tanda kamu ikut serta dalam acara yang diisi oleh saya sebagai panitianya.
Dengan harapan yang keluar dari diri saya sendiri, saya berharap agar cepat terselesaikan urusan antara saya dan kamu. Saya tidak ingin langkah ini semakin melangkah lebih jauh lagi.
Menurut saya waktu itu, ini sudah jauh kelewat batas.
Esok pagi saat matahari masih terasa hangat, saya bukanlah diri saya pagi itu, yang dengan sigap bangun dari tidur ketika mendengar alarm yang saya atur semalam. Saya yang kebetulan tidak ada kelas saat itu, merelakan jam tidur yang tersisa cukup lama, yang sebenarnya bisa saya sempatkan tidur sampai saat sebelum saya masuk ke kelas di siang hari.
Bahkan sebelum saya berangkat, raga ini menyempatkan dirinya untuk mandi agar terlihat fresh di depan kamu nanti. Suatu hal yang ketika saya punya jam kelas di pagi hari, saya hanya mencuci muka dan menggosok gigi.
Setelan pakaian yang baru keluar dari laundry lengkap dengan lumuran parfum vanilla kesukaan saya sudah terpakai rapih di tubuh ini, seakan diri ini sudah siap bertemu kamu lagi. Dan dengan percaya dirinya, saya berangkat menuju tempat saya dan kamu menekuni ilmu.
Tepat sampai dimana motor saya baru berhenti terparkir rapih di parkiran. Kamu mengirim saya pesan dengan bertanya posisi saya berada. Dengan kondisi, kamu yang waktu itu sudah mau masuk kelas.
Saya mati kutu saat membaca pesan dari kamu itu, tepat sebelum saya bertemu kamu.
Entah apa yang terjadi, saya tiba-tiba tidak ingin menemui kamu pagi itu.
Dengan saya yang beralasan sedang ke toilet hingga akhirnya dosen yang mengajar kamu masuk ke kelas.
Saya yang sedikit kesal waktu itu dengan diri saya, hanya menyalahi diri ini karena kalau sudah tuntas urusan dengan kamu, saya bisa terbebas dari kamu dan kembali tertidur lelap.
Dan ketika saya baru saja kembali terduduk di bangku motor dengan sinar mentari yang mulai menyilaukan mata, dengan maksud untuk kembali menuju kamar kosan, kantong celana tempat dimana handphone saya berada, bergetar. Dan ketika saya lihat, lagi-lagi itu kamu.
"Tunggu ya, hanya 1 jam kok" tutur kamu.
Saya yang waktu itu sedikit lemas karena kurang tidur. Saya lebih memilih untuk pulang tanpa membalas pesan dari kamu.
Sesampainya di kamar, saya tak langsung tidur melainkan membereskan kamar yang kala itu cukup berantakan. Dan setelah saya selesai membereskan kamar, perut saya berbunyi tanda lapar telah tiba. Lantas saya menuju tukang bubur di dekat kosan dan bermaksud sekaligus kembali ke tempat seharusnya saya bertemu kamu.
Setelah perut terisi dan setibanya saya kembali di parkiran dekat kelas kamu berada, saya tidak mengecek handphone saya, namun langsung menanyakan keberadaan kamu ke teman-teman lelaki sekelas kamu yang berada di depan pintu dekat parkiran. Mereka menjawab bahwa kamu sudah pulang diantar teman lelaki sekelas kamu yang kebetulan menyukai kamu.
Lantas saya mengecek pesan dari kamu, yang isinya kamu bilang, bahwa uang pendaftaran telah kamu titipkan kepada teman yang mengantar kamu itu.
Antara senang karena tidak jadi bertemu kembali dengan kamu, atau sedih karena saya tidak bisa melihat raut wajah kebahagiaan kamu lagi.
Tak lama, teman yang sehabis mengantar kamu pulang itu datang, dengan memasang raut wajah yang seolah-olah menjadi pemenang, karena yang teman kamu pikir, saya ada maksud tertentu untuk kenal dengan kamu.
Padahal, tidak sama sekali terlintas di pikiran saya.
Bahkan untuk mengenal kamu pun saya tak ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu.
RomanceRasanya, kata "kita" belum pantas di cetuskan dalam kisah ini. Saya dan kamu, terdengar lebih realistis daripada kata tersebut, yang seakan menyatakan kalau saya dan kamu pernah bersama. Berceritakan tentang saya dan kamu, yang di pertemukan Tuhan...