9. [쿱한] Janji Papa

535 69 18
                                    

"Lihat apa Ma? Serius banget daritadi." Seungcheol menata bantal di samping Jeonghan yang masih fokus dengan layar ponselnya setelah mandi sepulang dari kantor. Jihoon dan Chan juga sudah terlelab di dalam baby crib di samping ranjang mereka.

"Ini, jadwal imunisasi Chan..." ujar Jeonghan.

"Oh, kapan?"

"Besok," ponsel Jeonghan kemudian diletakkan di atas nakas, lalu ia menyamankan posisinya untuk bersiap tidur, "Besok kan Jumat, biasanya Papa pulang cepet kan? Jadwal imunisasinya sore, sekitar jam empat. Bisa nemenin? Besok juga mau sekalian ke supermarket, kebutuhan mulai habis. Agak repot kalau Mama pergi sendiri."

Seungcheol mengangguk, lalu menarik Jeonghan untuk lebih dekat dengannya, "Papa usahakan ya?" Satu kecupan di kening mampir untuk Jeonghan, "Hari ini, anak-anak ngapain aja?"

"Kalau ngga bisa, langsung kabari oke? Biar Mama minta bantuan Minki atau Minhyun." Helaan napas kemudian meluncur dari bibir Jeonghan sebelum menjawab pertanyaan Seungcheol, "Jihoon masih ngga mau makan, maunya minum susu terus. Padahal, makanannya sudah dimodifikasi jadi singa, kelinci, beruang. Mama takut kalau cuma susu dicampur vitamin, gizinya ngga lengkap."

"Hmm...habis Chan imunisasi, gimana kalau sekalian konsultasi soal Jihoon ke dokternya? Jihoon ngga ada jadwal imunisasi juga kan besok?"

Jeonghan menggeleng, ia memilih untuk berbaring dengan berbantalkan lengan Seungcheol dan mulai menutup kedua kelopak matanya, "Ngga, jadwal Jihoon imunisasi masih dua bulan lagi."

Seulas senyum mampir di bibir Seungcheol ketika perlahan napas Jeonghan mulai teratur, pertanda mulai terlelap dan terbuai mimpi. Ada gurat lelah di wajah cantik Jeonghan dan membuat pandangan Seungcheol meredup sendu. Pasti sulit sekali mengurus anak-anak seorang diri.

"Selamat tidur," kecupan di pipi menjadi penutup malam ini. Dalam dekap hangatnya, Seungcheol berjanji untuk membahagiakan keluarga kecilnya.

***

Seungcheol membuka pintu rumahnya dengan cepat, sungguh hari ini ia lupa jika Jeonghan memintanya untuk menemani ke dokter untuk imunisasi. Ia meneguk salivanya dengan susah payah ketika mendengar suara tangis Jihoon dan Chan bersahutan dari dalam kamar, serta suara lembut Jeonghan yang berusaha menenangkan mereka.

Ia melirik jam dinding di atas televisi, sudah pukul enam sore. Itu artinya, ia terlambat dua jam karena lupa waktu dengan setumpuk pekerjaan di atas mejanya. Membiarkan puluhan panggilan masuk dari Jeonghan terabaikan karena ponselnya dalam mode diam. Perlahan, ia menaiki tangga menuju kamar mereka. Hatinya semakin teriris ketika melihat makanan di atas meja makan dan ditutupi tudung saji. Jeonghan masih sempat memasak meskipun hari ini ia sibuk.

Seungchol ingin mengutuk dirinya sendiri, tapi itu tidak mungkin dan percuma. Mungkin, Jeonghan akan mendiamkannya selama satu minggu penuh—tapi tentu saja itu tidak sepadan dengan perlakuannya kepada pasangannya.

"Ma?" Jeonghan menoleh, Chan masih dalam timangannya dan Jihoon sudah mulai tertidur di dalam baby crib, "Oh, sudah pulang? Maaf ngga bisa nyambut."

Jantung Seungcheol terasamencelos sampai ke dasar perut ketika Jeonghan masih mengulum sebuah senyum disertai kata maaf. "Mandi dulu, nanti Mama panaskan makanannya kalau Chan sudah bisa tidur."

Tidak ada kata yang terucap dari bibir Seungcheol. Ia terlalu takut untuk membuka sebuah percakapan seperti biasanya. Semuanya karena kebodohan melupakan janji kepada Jeonghan. Membahagiakan apanya? Menepati janji untuk menemani ke dokter saja ia lupa. Dasar bodoh.

Sepuluh menit kemudian, Seungcheol selesai mandi dan mendapati kamar mereka kosong. Hanya ada Jihoon yang tertidur lelap dengan bekas air mata yang mengering di pipi gembulnya. Ia menyempatkan diri untuk mengecup pipi Jihoon dan bergumam, "Maafin Papa ya, Jiun? Maaf—" Ayah dua orang anak itu kemudian melangkah menjauh untuk turun dan menemui Jeonghan. Ia tahu maaf mungkin tak akan cukup menggantikan kekecewaan Jeonghan kepadanya.

Seungcheol menggigit bibir bawahnya ketika melihat Jeonghan masih menimang Chan yang memakai plester demam dan mulai tertidur. Di depannya, sudah ada makanan yang masih mengepul uapnya karena baru saja dipanaskan.

Dengan hati-hati, Seungcheol berlutut di depan Jeonghan yang tengah menundukkan kepalanya. Wajahnya tersembunyi di balik helaian poninya yang mulai panjang, Seungcheol tahu—Jeonghan diam-diam menangis.

"Ma?" Jeonghan mendongak, membiarkan sisi wajahnya dibelai lembut oleh Seungcheol, "Marah aja Ma, jangan ditahan. Papa tahu, kesalahan Papa ngga bisa hilang dari hati Mama meskipun Papa udah minta maaf."

Di luar ekspetasi, Jeonghan menggeleng, "Mama memang marah, kesal, semuanya campur aduk. Tapi, apa itu bisa mengatasi masalah? Ngga Pa, yang ada Mama nanti dosa kalau marah sama Papa...."

"Maaf, maaf, maaf—" tangan Jeonghan yang bebas, dikecupi tanpa henti oleh Seungcheol, "Maaf belum bisa jadi pendamping hidup dan Ayah yang baik buat anak-anak. Maaf," bisiknya lirih.

"Kita masih sama-sama belajar kan? Ngga ada orang tua yang sempurna, tapi mereka selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Anggap aja, hari ini pelajaran bagi kita ke depannya supaya lebih bisa berkomunikasi dengan baik dan membuat keluarga sebagai prioritas."

Seungcheol berdiri, sebuah senyum tipis terlukis di atas bibirnya. Dalam gerak ringkas yang hati-hati, ia memeluk Jeonghan yang masih menggendong Chan, "Iya, kita masih sama-sama belajar. Terima kasih buat kerja kerasnya hari ini, uri cheonsa. Sekali lagi, maaf..."

f i n

Kolom menghujat Choi Seungcheol disediakan:

[Parenting Ship] One Way to YouWhere stories live. Discover now