12. Kesepakatan Kami

3.4K 529 52
                                    

"Mari ikhlaskan.
Mudah memang untuk diucapkan, namun sulit untuk dilakukan. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang ikhlas menerima imbalan berupa pahala, daripada pujian dunia semata."

🌈🌈🌈

Suara shalawat Qomarun menggema di area kamar, membuat Emira yang mendengarkannya ikut bersenandung mengikuti alur shalawat.

Tangannya dengan terampil memilah baju-baju bayi perempuan serba pink yang dia belikan diam-diam tangan pengetahuan suaminya, dia tersenyum lembut membayangkan anaknya akan cantik memakai baju-baju itu. Dia melipatnya, menaruh di dalam lemari baju yang jarang dibuka Ali, disimpan dengan perlengkapan bayi yang lain.

Emira berniat memberikan kejutan--dengan kepercyaan diri yang lebih--bahwa dia juga mampu berbelanja sendiri, apalagi saat Bi Minah selalu mengantarkannya ke pasar, ikut memilih baju yang tidak bisa ia tolak. Terlalu lucu, baginya.

Emira mengelus perutnya yang sudah nampak buncit, jalan 5 bulan dan teringat belum sekalipun Ali mengelusnya. Senyumnya hilang digantikan dengan senyum kecut mengingat kelakukan Ali yang jauh dari suami siaga, sebenarnya itu pula alasannya membeli baju bayi diam-diam.

"Nak, kamu penguat Ibu." Emira terus mengelus perutnya, dia berdiri karena mengingat sesuatu yang dia dapatkan dari seseorang.

Emira membuka kotak bludru merah, menampilkan gelang cantik berukir nama anaknya. Mengusapnya pelan, merasakan tekstur pola nama anaknya. "Cantik," ujarnya.

Namun setelah mengingat tabiatnya membelikan sesuatu untuk anaknya tanpa diketahui Ali, Emira lalu segera menutup kotak itu, dia memasukkannya ke dalam saku gamis. Dan turun menuju kamar Bi Minah.

"Bi..."Emira sudah menganggap Bi Minah adalah Ibunya, jadi dia sungkan masuk lalu bergelung di kamar pembantunya itu.

"Mira nitip ini, ya..." Emira memberikan kotak itu, yang langsung diterima Bi Minah. "Apa ini?"

"Buat anak Mira," ujarnya. Dia sengaja membuka dan menampilkan gelang itu.

"Cantik, kan?" Bi Minah hanya mengangguk, "Cantik kaya Ibunya, dan calon anak, Nyonya."

Emira tersipu, memeluk Bi Minah. "Makasih, Bi, nitip ya.. Mira takut mas Ali marah."

Bi Minah memeluk Emira mengusap punggungnya. "Iya." suaranya parau. Dia sedih karena selalu melihat tingkah suami Emira yang keras.

"Emira percaya Bibi bisa jaga itu sampai dia lahir." Keduanya tersenyum, Bi Minah bahkan mengelus perut Emira.

"Sehat-sehat, Nak."

Terdengar suara salam, Emira keluar kamar Bi Minah melihat Ali sudah datang dari kantor.

"Mas, sudah pulang?" Emira membantu menanggalkan jas, Bi Minah sudah membawa tas Ali ke ruang kerjanya.

"Hm." Emira tersenyum kecut, mendengar jawaban Ali yang masih saja cuek.

"Mira bantu buka sepatu--"

"Jangan." Ali sudah duduk di sofa, dia memandang tajam wajah Emira. Memilih membuka sepatunya sendiri.

Namun pergerakkan Emira tetap berlanjut, dia jongkok untuk membantu Ali.

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang