Epilog

6.2K 659 138
                                    

Aku menatap pantulan diri di cermin, melihat semburat merah dengan paduan khimar yang diubah menjadi sedikit berbeda namun tetap sopan oleh kak Diandra.

Wajah merona namun hati merana.

Entahlah, itu cukup menjadi perwakilan diriku saat ini. Karena benar saja, kebahagiaan itu meskinya datang saat orang yang merasakan hatinya bagai ditumbuhi bunga-bunga bermekaran, bukan justru seperti mendapati juri yang menancap dalam hati.

Kenapa justru kebahagiaan yang kurasa tidak seperti kebayakan orang?

Malam ini pertemuan dengan laki-laki asing yang Ayah kenalkan sebagai anak rekan bisnisnya menjadi bukti ketidakbahagiaanku.

Ah, entahlah.. sepertinya hatiku belum ikhlas menerima jika bukan laki-laki itu yang datang.

Laki-laki yang kutemui sebulan lalu setelah lima tahun kami berpisah.

Pertemuan kami yang terjadi sebulan lalu, di tengah ramainya pengunjung gerai kopi. Dia datang dengan senyum jahilnya, sama seperti dulu.

Mengingatnya, membuat hatiku menghangat. Allah, benarkah kau hadirkan rasa itu pada kami?

Aku tersenyum tipis saat mengingat caranya berbicara. Dia bilang telah lulus setahun lalu sebelum aku wisuda, sebab otaknya yang encer itu, membuatnya bisa menjadi salah satu siswa kelas akselerasi di SMA. Belum lagi, peraih beasiswa di Universitas terbaik di Yogyakarta.

Saat itu, aku mendengus sebal, bahkan meliriknya tajam namun hanya dibalas tatapan jahil dan dering tawa yang menggema. Padahal dilihat dari tampilannya saja, orang mungkin tidak akan percaya bahwa Sena lulus dengan nilai cumlaude.

Ah, dasar Sena!

"Hayo, senyam-senyum sendiri!" Jika saya bukan karena teguran kak Diandra, mungkin pikiranku terus tertuju pada Sena.

Aku membenarkan sedikit khimarku yang bahkan masih dalam mode baik-baik saja, sebenarnya.  Ini karena aku tidak ingin kak Diandra tahu bahwa aku merasa dilema berat atau lebih tepatnya ketidakinginan dihias sedemikian rupa.

"Sudah rapih, kok, Dek." Aku mengangguk.

Memang tampilanku sudah rapih, hanya saja hatiku yang terporak-poranda.

"Kak, kalau laki-laki itu tidak baik. Gimana?"

"Ya, kamu tolak dia. Beres," ujar kak Diandra dengan santainya, bahkan berujar dengan memasukkan beberapa alat make up yang baru saja ia beli.

Untukku, katanya. Demi penampilanku malam ini.

Aku mencemberutkan bibir. "Serius, Kak. Percuma aku tanya Ayah, karena jawabannya pasti sama. Dia baik, dari keluarga baik."

"Kamu sudah libatkan Allah belum?" Aku diam, pertanyaan kak Diandra cukup menohok hatiku.

"Libatkan Allah dalam setiap keputusan, Dek. Allah suka tidak? Allah benci tidak? Sholat istikharah, minta petunjuk dari-Nya. Percayalah itu jawaban yang terbaik," jelas kak Diandra dengan mengusap pipiku pelan.

Jemari kami lalu bertautan, aku melihat pancaran mata kak Diandra yang percaya sepenuhnya pada keputusanku.

"Dan jawabannya masih sama. Hatiku bulat memantapkan keputusan Ayah untuk menerima."

"Nah, sudah 'kan? Lagian, Kakak yakin, Ayahmu tidak akan mengenalkan dengan orang yang tidak baik. Mana mungkin seorang Ayah rela memberikan anak perempuannya dengan laki-laki tidak bertanggung jawab, tidak setia, apalagi tidak beriman, kan?" Aku mengangguk takzim, benar juga apa yang diucapkan kak Diandra.

Aku yakin, Ayah tidak pernah salah pilih.

Kak Diandra memelukku, meredakan segala kekhawatiran yang kurasa saat ini. Namun, pelukan kami terurai saat suara ketukan pintu terdengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang