21. Pertemuan Tak Diduga

3.1K 506 49
                                    

Kehilangan semangat yang Ali rasakan akhir-akhir ini, membuatnya bukan hanya tidak nafsu makan, namun merenggut semangat hidupnya.

Keluarganya telah hancur karena ulahnya sendiri, Emiraistri Alipergi meninggalkannya, bahkan sampai diujung akhir hayatnya, Ali masih saja melukai. Anaknya yang entah sekarang di mana, apakah masih ada atau tidak? Jikalau, masih ada, apakah anaknya itu mau menerima dan memaafkan kesalahan Ali begitu saja?

"Tuan," Ali menyadarkan lamunanya, dia menyimpan sendok di samping piring yang belum tersentuh sama sekali.

Ali tersenyum tipis pada Bi Minah. Setidaknya di saat orang-orang pergi hanya Bi Minah yang dia anggap sebagai keluarga satu-satunya di sisinya.

"Ya, Bi?"

Bi Minah nampak ragu ingin mengucapkan niatnya akan pergi, belum lagi kondisi Ali semakin lama terlihat menyedihkan, mungkin hanya pertemuan dengan anaknya, dia akan kembali semangat.

"Maaf, Tuan, saya harus pergi," ucap Bi Minah pelan. Tangannya saling meremas.

Tidak kuasa sebenarnya, namun dia sadar sekarang keluarganya sudah menanti, Bi Minah sudah bersama Abi Umar di rumah pelangi.

Ali membulatkan mata, dia sampai berdiri menghampiri Bi Minah. "Maksud, Bibi?"

"Saya harus pergi. Ada keluarga saya yang lain yang menunggu."

"Siapa?"

Ternyata dugaan Ali salah, semua keluarganya akan pergi. Apakah ini yang dinamakan karma? Karena dia telah membuang stau persatu anggota keluarganya?

Bibir Bi Minah bergetar menahan tangis, mukanya tak mampu memandang wajah Ali.

"Ada, Tuan. Saya akan tinggal bersama suami saya."

Bi Minah tidak mungkin berbicara yang sejujurnya, apalagi kalau dia mengatakan ia tinggal di rumah pelangi bersama anak Tuannya sendiri.

Sekali lagi, Bi Minah hanya ingin ikatan keduanya terjalin secara natural, bukan karena dia. Karena Bi Minah tahu ikatan Ayah dan anak tidak akan terlepas sampai kapanpun.

"Bi, hanya Bibi yang saya punya sebagai keluarga. Lalu, jika Bibi pergi saya...bagaimana?" ujar Ali lemah.

Isakan tangis Bi Minah keluar, dia sebenarnya tidak mampu jika harus meningalkan Ali.

Bi Minah memandang Ali dalam, "Maaf, Tuan." Dia mengusap air matanya yang mengalir.

"Saya sudah memberitahu Tuan tentang alamat rumah yang harus Tuan kunjungi, maaf hanya itu yang bisa saya bantu cari agar Tuan dan anak Tuan bertemu."

Ali mengusap wajahnya kasar, dia tahu alamat rumah itu sudah dia dapatkan. Namun, masih ada ketakutan lain yang Ali rasakan untuk mengunjungi rumah itu. Dia takut jika dugaannya salah, atau jka dugaannya benar, dan anak itu tidak menerima kehadirannya. Lalu, bagaimana?

"Saya yakin Tuan pasti ragu bertemu dengannya, kan?" Ali mengembuskan napas berat, dia mengangguk.

"Temui dia Tuan, mau sampai kapan Tuan menunggu? Pastikan kebenaran itu sendiri, cari dia, tunjukkan bahwa Tuan adalah Ayah yang bertanggung jawab."

Ali diam, ucapan Bi Minah menohok hatinya. Dia memang Ayah yang tidak bertanggung jawab, jadi apakah dengan mencari anak itu membuatnya bisa menebus kesalahannya di masa lalu?

"Saya pamit, Tuan. Semoga dalam pertemuan selanjutnya, Tuan sudah bersama anak itu. Saya menunggu," tutur Bi Minah dengan menarik sudut bibirnya yang terasa berat karena menahan tangis.

Ali dan Emira sudah ia anggap sebagai anak, bagaimanapun berat untuk meninggalkan rumah yang sudah lama dia tempati, belum lagi dia sudah menjadi bukti sejarah keluarga Ali selama ini.

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang