26. Menunggu Jalan Takdir-Nya

3K 502 91
                                    

Tidak ada yang berbicara di antara kami selain suara hujan yang turun bersahut dengan petir.

Aku bahkan masih menunduk dan meredam isak tangis enggan menatap seseorang di hadapanku yang kupastikan wajahnya tidak berhenti fokus menatapku.

Lembut usapan jemari Ibu terasa, hanya Bu Minah dan kak Diandra penguatku saat ini.

"Tuan Ali," ujar Ibu di sampingku.

Aku mengangkat wajah saat suara Ibu terdengar memanggil pak Ali dengan sebutan Tuan?

Pandanganku beralih pada pak Ali yang tersenyum dengan penuh arti memandang wajah Ibu. Tunggu.. apakah mereka saling mengenal?

"Ibu.. kenal pak Ali?"

Ibu beralih pandang ke arahku, mengusap pipiku dan membawa wajahku ke depan, sehingga kini aku bisa melihat wajah pak Ali sepenuhnya.

"Beliau yang akan jelaskan, Mira," tutur Ibu.

Aku masih memandangnya dengan raut wajah tidak mengerti. Ibu hanya mengangguk dalam seolah menyakinkan bahwa aku harus percaya dengan pak Ali.

"Bi Minah ini sudah Ayah anggap sebagai Ibu sendiri, Mira."

Ucapan pertama dari pak Ali membuatku makin tidak mengerti. Bagaimana bisa? Apakah mereka mempermainkanku selama ini?

"Dulu, Bi Minah sudah bekerja dengan Ayah bahkan sebelum Ayah menikah dengan Ibumu. Bi Minah baik, mengurus kami layaknya anak. Tapi kebaikkannya justru disalah artikan oleh Ayah."  Kulihat wajah pak Ali menunduk. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Ayah mohon Mira jangan salah paham dulu, jangan potong ucapan Ayah sebelum semua cerita ini selesai, oke?" tukas pak Ali lembut. Bu Minah juga mengusap puncak kepalaku agar aku menerima semua penjelasan.

Aku mengangguk pelan, masih menunggu penjelasan pak Ali.

"Ayah yang menyuruh Bi Minah membuangmu."

Kalimat pertama yang cukup menohok hatiku. kak Diandra bahkan mengusap punggung tanganku yang menegang mendengar penjelasan itu.

"Karena sikap Ayah yang dibutakan oleh cemburu. Awalnya Ayah bahkan tidak menerimmu masuk ke dalam hidup kami.Lagi-lagi karena rasa kepercayaan Ayah hilang juga karena ketidakterimaan Ibumu yang meninggal karena kelahiranmu membuat Ayah makin enggan mengurusmu dan memilih membuang Mira, anak Ayah sendiri."

Seiring penjelasan pak Ali isak tangisku mulai kembali, aku bahkan menutup wajah dengan telapak tangan.

"Bertahun-tahun hidup seolah baik-baik saja, tanpa rasa sedih dan amarah yang menguasai diri. Seolah Ayah kuat, kehilangan kalian berdua bukan masalah. Tapi, itu semua bohong, Mira. Setiap malam bahkan Ayah menangis membawa foto Ibumu dalam dekapan, menciumi baju-baju kecilmu yang Ibumu belikan dan ia simpan di lemari pakaian, Ayah tidak sekuat itu," ucap pak Ali dengan mengusap sudut matanya yang berair, suaranya parau saat menjelaskan demikian.

"Tapi hati Ayah egois enggan menerima, terlebih karena Ayah yang bodoh tidak mendengar penjelasan Ibumu sebelum ia meninggal, menutup mata dan telinga atas masalah yang terjadi. Hingga Ayah dipertemukan kembali tidak sengaja denganmu di rumah sakit."

Aku mengangkat wajah ke arahnya yang masih tersenyum tipis. Aku mengingat pertemuanku dulu mengamen dengan kak Fajar dan kak Fajri dan saat hampir tertabrak mobil, lalu pak Ali menolong kami.

"Kamu ingat 'kan?" Aku mengangguk pelan.

"Saat itu bagai air yang datang di tengah gurun. Kamu penyegar hidup Ayah, mengembalikan senyum yang selama ini telah hilang, rasa hangat dalam menyapa saat melihat wajahmu yang benar-benar mirip dengan Alamarhum Ibumu." Pak Ali mengembangkan senyumnya, dia kembali mengusap air mata.

"Mira, andai Ayah tau bahwa kamu adalah anak Ayah yang selama ini Ayah rindukan, anak yang selama ini telah Ayah buang dengan tega, dan ternayata kamu masih hidup sebesar ini secantik ini, Ayah pasti akan langsung memelukmu, meminta maaf padamu atas semua yang terjadi," ucapan pak Ali berhenti dia memandang arah lain.

"Tapi, tidak ada keberanian di sana, keraguan melingkupi, dan keegoisan memenangkan hati."

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang