15. Pencarian Kebenaran

3.4K 519 48
                                    

Aku masih bertanya tentang bapak asing itu, kenapa dia bisa menemuiku lagi? Tahu darimana dia letak sekolahku? Dan pertanyaan lain muncul.

Tersadar dari pemikiran saat perjalananku sudah hampir sampai terlihat pagar rumah. Sena sudah pergi menuju rumahnya, kami berpisah di persimpangan jalan tadi.

Aku berusaha mengubah mimik muka agar penghuni rumah pelangi jangan sampai tahu masalahku, tidak ingin membuat mereka khawatir, apalagi jika kondisi tubuhku murung.

Aku membulatkan mata saat melihat sosok Ibu yang sudah tua hampir terjatuh saat membawa barang bekas, lengkap dengan seorang anak kecil perempuan dalam genggamannya.

"Bu, engga apa-apa?" aku bertanya. Khawatir melihat wajah Ibu itu yang penuh keringat juga menunjukkan raut lelah.

Ibu itu hanya tersenyum. "Engga apa-apa, Neng."

Aku lantas membawa mereka duduk di kursi taman, membelikannya minum sebelum pergi.

Aku kasihan melihat Ibu itu, apalagi saat menatap anak kecil yang juga mungkin membantu Ibu tadi, mungkin dia adalah anaknya.

Sungguh, kadang mungkin aku merasa sering mengeluh karena kondisiku, karena ketidakjelasan statusku, dan aku lupa bahwa setidaknya aku masih memiliki kerluarga di rumah pelangi. 

Justru ada saja orang-orang yang tidak lebih beruntung daripada aku. Mereka mungkin tidak memiliki tempat tinggal, atau bahkan orang-orang terdekat, dan keluarga.

Sama seperti Ibu dan anak yang aku temui, mereka memang sepertinya kekurangan, nanun rasa kasih dan sayang terpancar dari keduanya.

Aku bahkan sempat merasa iri, melihat anak kecil itu disuapi roti oleh Ibunya. Bagaimana rasanya? Apakah bahagia mempunyai Ibu di hidup kita? Apakah hanya memiliki orang tua saja, hidup kita sudah lebih daripada cukup?

Allah, jika boleh meminta.. aku ingin sekali merasakan kebahagiaan. Bukan dengan harta, namun kasih sayang orang tua yang nyata.

"Terima kasih, Neng." Aku mengangguk, setelah memberikan bekal dua bungkus roti pada mereka.

Bukankah sesama manusia kita memang harus saling tolong menolong? Apalagi Ibu tadi membawa banyak barang dan anak perempuan.

Selepas kepergian mereka, aku segera kembali jalan menuju rumah sebelum waktu terlalu sore. Ada saja hikmah yang selalu aku petik dalam hidup ini.

"Alhamdulillah," ucapku dalam hati.

Aku berhenti berjalan saat hampir sampai di depan teras rumah pelangi, melihat sosok Ibu tua dengan Abi Umar mengobrol di sana. Abi bahkan menunjukkan ekspresi heran dan wajah yang tidak bisa ditebak, dan Ibu itu... dia berurai airmata.

Siapa Ibu itu?

Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka yang berbicara serius. Bukan maksudku menguping, hanya saja aku memiliki firasat tentang Ibu ini yang bertemu dengan Abi.

"Pak.. izinkan saya bertemu dia."

Kulihat Abi menggeleng tegas, malah beliau hendak kembali menuju rumah pelangi.

"Pak.. saya mohon. Demi orang tua, Almira."

Aku membulatkan mata mendengar namaku disebut di sana. Lantas membekap mulut yang terisak, apakah ia salah satu keluargaku? apakah Ibu itu  petunjuk agar aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku? Tapi, mengapa Abi malah memandangnya sebelah mata?

***

Malam larut, menapaki jejak masa lalu yang terasa pekat berbalut kenangan.

Aku kembali memikirkan teka-teki dalam hidup ini. Tentang keberadaan orang tua kandungku, tentang mengapa aku dibuang, tentang siapa bapak asing, Ibu tadi.. bahkan siapa pak Ali?

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang