29. Kebahagiaan Kami

3.3K 532 75
                                    

"Banyak yang sibuk mencari harta, padahal yang paling berharga adalah Keluarga.
Banyak yang sibuk pergi mencari, padahal keluarga adalah tempat kembali.
Bersyukurlah ketika masih ada, hingga saatnya nanti pergi bisa bertemu kembali di Jannah-Nya."

🌈🌈🌈

Tiada yang bisa menggambarkan kebahagiaan kami saat ini, dalam dekapan eratnya aku mengucap syukur berkali-kali, ternyata begini rasanya dipeluk seorang Ayah.

Aku yakin jika Ibu masih ada di sini, beliau juga sama harunya seperti kami. Ibu.. semoga kelak di surga nanti,kita bertemu.

"Almira, Ayah tidak percaya ini kamu, Nak."

Sudah berulang kali, Ayah berucap demikian, dia bahkan sudah menangkup pipiku dan mengusap sudut mataku yang berair.

"Alhamdulillah, ya Rabbi." Lagi-lagi aku memeluk Ayah erat. Kami seolah enggan melepaskan, karena takut merasa kehilangan kembali.

"Pak Ali." Kulihat beliau melepaskan pelukan, meneliti wajahku dengan raut wajah bertanya.

"Almira, kamu masih tidak percaya?"  Aku menggeleng pelan, bukan.

"Lalu? Kenapa masih menyebut saya demikian?"

"Sebelum permintaan maaf Almira ucapkan, apakah pantas Almira memanggil Ayah?"

Beliau membawaku kembali dalam dekapannya, "Ayah bahkan sudah memaafkan sebelum Mira minta maaf, lagipula harusnya Ayah yang meminta maaf pada Mira, pada Ibu."

"Ayah, Maafkan Mira." Ayah mengangguk dalam dekapanku, beliau tersenyum simpul dan menarikku menuju rumahnya, rumah kami.

"Terimakasih, Mira sudah percaya, sudah mau mengakui kesalahan Ayah yang mungkin tidak bisa termaafkan kembali."

Aku menggenggam jemarinya, menghentikan ucapan Ayah yang berlebihan. "Mira yang egois, Ayah, Mira dengan mudahkan percaya pada orang, dan Mira malah tidak memperdulikan Ayah."

Ayah sama halnya menggengam jemariku, senyumnya tidak henti menatapku dalam.

"Tapi, satu hal apa yang buat Almira percaya dengan Ayah?" Aku meneliti raut wajah Ayah,beliau lalu mendekatkan diri.

"Bu-bukan maksud Ayah tidak senang, tapi,kenapa Mira sampai berubah pikiran?"

Aku tersenyum tipis, ini yang akan aku jelaskan pada Ayah. Semua alasanku kembali memilihnya, mempercayainya dan bertemu dengan Ayah Ali dibanding dengan pak Alandra.

"Mira tahu, ini yang akan Ayah tanyakan." Ayah tersenyum dengan menungguku bercerita, dia bahkan tidak memotong segala ucapanku.

"Sebelumnya, Mira minta maaf sama Ayah karena sudah tidak percaya, sudah egois dan membiarkan Ayah menanggung rasa bersalah sendirian."

Kulihat Ayah menggeleng, "Ayah sudah maafkan,Mira."

Aku merasakan puncak kepalaku di sentuh pelan. "Mira sudah dapatkan informasi yang membuat Mira percaya, pertama saat pertemuan kemarin dengan pak Alandra."


Kulihat wajah Ayah yang menegang mendengar nama pak Alandra. "Beliau bertanya dari mana Mira mendapatkan gelang ini? Padahal kata Abi, gelang ini dari Ayah dan Ibu yang membuang Mira, kalau dia adalah Ayah, tanpa ditanya dia harusnya tau jawabannya. Kedua, karena Mira sudah membaca deretan surat dari Ayah dari Bu Minah, tulisan Ayah mirip bahkan sama dengan secarik kertas yang Abi berikan dulu di kertas yang dititipi gelang untuk Mira."

Aku menghela napas dalam sebelum kembali menatap Ayah, "Dan ketiga, hanya Ayah yang tahu nama panjang Almira. Abi bahkan Bu Minah sendiri tidak tahu, apalagi pak Alandra.. beliau malah menyebutkan bahwa nama Almira adalah gabungan dari namanya dan Ibu. Apa benar?"

Kulihat wajah Ayah mengeras, dia menggeleng tegas. "Bukan, Mira. Namamu memang penggabungan dari nama kami, nama saya Ali dan Ibumu Emira. Diam-diam, Ibumu menyiapkan itu, walau semarah apapun Ayah dulu, percayalah nama panjangmu bahkan Ayah yang memberi dan menyematkan khusus, Almira Nahda Btari."

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang