FfH_7

105 8 1
                                    



.
Saat ini Aleysia tengah duduk di sofa yang berada di ruang kerja sang Paman. Hanya mereka berdua yang berada di ruangan itu. Daren yang sebelumnya ingin ikut masuk pun di larang dengan tegas oleh papanya.

"Jadi apa yang membuatmu datang kerumah ku Aleysia ?"
Toni menatap Aleysia dengan tatapan sinis. Dia tak lagi memasang wajah penuh senyuman saat ini.

Sejujurnya dia cukup terkejut dengan tindakan Aleysia yang berani-beraninya datang kerumah mewahnya. Dia tidak menyangka jika Aleysia akan menemukan rumahnya ini.

Aleysia yang melihat perubahan sang Paman pun terkejut. Tak lagi dia temukan tatapan hangat di mata sang paman.

Di tatap dengan pandangan hina seperti itu membuat nyali Aleysia ciut. Dia menjadi gugup. Diremasnya kedua tangannya yang saling bertautan.

"A-aAleysia mau pinjam uang paman.."

Memberanikan diri Aleysia pun mampu mengucapkan niat utamanya datang di rumah sang paman.

"Kau ingin berhutang padaku ?"
Toni bertanya sarkatis.

Aleysia menganggukkan kepalanya.

"Semenjak kejadian itu Abang jadi kacau. Dia banyak menghabiskan waktunya di club dan juga berjudi. Jadii___"

"Jadi dia berhutang dan tidak bisa membayarnya ?"
Toni memotong ucapan Aleysia.

"I-iya paman. Abang di hajar oleh mereka dan--dan abang akan di penjara jika tidak bisa membayar hutangnya."

Akhirnya pertahanan diri Aleysia sudah pada batasnya. Dia terisak.

"To-tolong pinjami Aleysia uang 200 juta paman. Aleysia janji Aleysia akan membayarnya."

"200 juta ??!!! Kamu pikir uang segitu sedikit HA ??"
Toni bangkit dari duduknya.

"Kau akan membayarnya ??!!!!  Dengan apa ?? Bahkan jika kau menjual tubuh mu pun kau tak akan mampu membayar uang sebanyak itu Aley. Pulanglah. Dan jangan lagi kau menampakkan wajah mu dihadapan ku."
Toni berbalik. Dan akan melangkah menuju meja kerjanya.

"Pamaan... tolong jangan seperti ini. Tolong Aley paman. Aley tidak tau harus meminta kepada siapa lagi. Hanya paman yang Aley punya saat ini."

Aleysia menghampiri sang paman. Lalu dia pun kembali terisak.

Jika sang paman tidak mau menolongnya, kepada siapa lagi dia akan meminta bantuan

Toni menatap Aleysia dengan berkacak pinggang. Di tatapnya Aleysia yang terisak di hadapannya.

"Apa kau punya riwayat penyakit ?!"

Aleysia menggeleng. Karena dia tak pernah memeriksakan kondisi tubuhnya jadi diapun menggelengkan kepalanya. Dia rasa jika nyeri di tangan dan kakinya bukanlah suatu penyakit. Hanya efek karena perlakuan kasar abangnya. Jadi dia merasa jika dia memang tidak memiliki riwayat penyakit.

"Aku akan meminjamkan uang padamu jika kau mau memberikan satu ginjal mu pada istriku."

Toni berkata mantap. Mengabaikan raut terkejut dari Aleysia.

"Bi_ bibi sakit ???"

Aleysia bertanya. Dia tidak tau jika bibinya sakit. Karena dia memang tidak mengetahui keadaan keluarga pamannya saat kejadian mengenaskan itu dia alami.

"Ya. Dan dia membutuhkan donor ginjal secepatnya. Jadi apa kau mau memberikan ginjal mu pada bibi mu Aleysia??"

Sebenarnya Toni menaruh harapan pada Aleysia. Dia teramat mencintai sang istri jadi dia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan istrinya bahkan dengan membuat Aleysia bersedia mendonorkan salah satu ginjalnya. Dia sudah lama menunggu pendonor yang tepat untuk sang istri dan dia memiliki firasat jika ginjal Aleysia akan cocok dengan istrinya.

"Jika ginjal Aley cocok Aley bersedia paman."

Toni tersenyum puas. Cukup mudah membuat Aleysia menyetujui permintaannya.

"Besok. Kamu harus datang di rumah sakit dan jangan mengatakan apapun pada orang lain. Cukup kita berdua yang tau persoalan ini bahkan Daren pun jagan kau beri tau. Selesai operasi nanti aku akan melunasi hutang abang sialan mu itu."

Aleysia tersenyum dan mengucapkan rasa terima kasih kepada sang paman.

Dan nyatanya dia tidak akan pulang dengan tangan kosong. Dia akan menyelamatkan Abangnya dari ancaman preman-preman itu.

.
.
.

Aleysia sampai dirumah saat mentari telah berganti dengan bulan yang memancarkan cahayanya dengan terang, seolah mengerti jika Aleysia telah menemukan titik terang dari masalah yang dia hadapi.

Besok dia akan pergi kerumah sakit untuk cek kesehatan dan kecocokan ginjalnya dengan sang bibi. Dia berharap jika ginjalnya cocok hingga sang paman tak menarik tawaran untuk meminjamkan uang kepadanya.

Jika Aleysia cukup pintar, dia akan menolak tawaran sang paman. Laki-laki licik itu telah berhasil menipu Aleysia yang merupakan gadis polos. Bayangkan saja, Aleysia memberikan salah satu ginjalnya namun sang paman justru hanya akan meminjamkannya uang bukan memberinya uang sebagai imbalannya. Licik sekali.

Namun karena Aleysia memang polos, dia tak memikirkan itu semua. Yang dia fikirkan adalah Leo tak akan dipenjara. Ya hanya itu...

"Darimana ?"

Suara serak dan berat itu mengejutkan Aleysia. Leo duduk diatas sofa usang mereka dengan mata menyorot Aleysia.

"Aley dari rumah paman bang. Pinjem uang buat ngelunasi hutang abang."

Leo mengerutkan dahinya saat didapatinya Aleysia tersenyum bahagia.

"Paman yang mana ?"
Tanyanya.

"Tentu saja paman Toni. Abang tau, paman bersedia meminjamkan uangnya dengan syarat aku harus memberikan salah satu gi___"

Aleysia yang bersemangat menceritakan semuanya pada Leo pun tiba-tiba menghentikan ceritanya. Dipandanginya Leo yang menatap ingin tau kearahnya.

"Gi apa ?"
Tanya Leo penasaran.

"Emm.. anu ituu.. potongan gaji ku. Udah ya bang. Aley ngantuk. Selamat malam."

Setelah itu Aleysia pun memasuki kamarnya dengan jantung yang berdetak kencang. Dia tidak tau bagaimana reaksi Leo saat tau jika dia akan memberikan salah satu ginjalnya hanya untuk dua ratus juta.

Leo menatap hampa pada pintu yang kini telah tertutup rapat itu.
Jika saja dia dapat berfikir jernih, Aleysia pasti tak akan kesana kemari mencari hutang. Dia benar-benar bodoh.





Fight for HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang