05. Lima

857 147 6
                                    




"Isn't love always hard for everybody?"

Lagi aku mendongak menatap wajahnya. Bibirnya melengkung membentuk satu senyuman bulan sabit. Damn it! Kenapa dia harus secantik ini?!

"Aku kasih kamu waktu sebanyak apapun, seperlunya, untuk mengganggap aku ini sekarang jadi sahabat kamu, bukan sebagai pacar."

Aku menjenjang alis, belum-belum kalimatnya sudah membuat senam jantung. "Maksudnya?"

"Kamu kenapa? Just tell me. Dan kalaupun harus memaki, aku mau kok jadi pendengar. Let it out. All your problems today."

Hanya butuh satu detik berikutnya untukku semakin jatuh cinta pada sosoknya. Pada Filosofia. Padahal hanya senyum dan binar matanya yang aku butuhkan untuk menyembuhkan lukaku, namun dia menawarkan lebih. Hanya kehadirannya yang aku harapkan, dan dia menginginkanku untuk lebih dari itu, untuk terus tersenyum dan bahagia.

"Kalau kamu mau membenciku habis ini, it's okay Fil."

"Perasaanku ke kamu, biar aku yang mengatasi. Kamu nggak perlu khawatir, ya. Kalau aku pernah bilang kalau aku sayang kamu, then I really do."

Untuk beberapa jenak semesta seperti melambat, hingga senyum Filo berhasil merasuk ke dalam hatiku. Senyumnya selalu menular, menciptakan letupan hangat yang bahkan mampu mengalahkan dinginnya Jogja malam ini. Karena serius, aku tidak tahu akan jadi apa diriku jika tanpa dia. Hingga mungkin sepuluh detik berikutnya duniaku hanya berfokus pada manik matanya seorang.

"Aku sudah pernah bilang kalau aku suka main gitar kan? Iya, dulu, aku suka main gitar. I mean, the real one. Bahkan aku punya sekumpulan teman nongkrong buat nge-jamming waktu masih kuliah di Tangerang Raya." Perempuan di sampingku ini masih mendengarkan. Aku menarik napas, mengisi kekosongan paru-paruku dengan udara. "Hingga suatu saat kecelakaan motor di minggu pagi merenggut itu semua, Fil. Kecelakaan yang memisahkan aku dengan musik, yang membuat aku merasa menjadi orang paling buruk ketika mengingat itu."

"Pagi itu hari minggu, aku ada janji latihan bersama anak-anak band kampus karena bakal ada acara festival musik. Like normally days, aku bangun kesiangan, dan karena panik banyak miscall dari orang-orang bahkan dari alumni, aku langsung pakai baju seadanya dan langsung otw kampus setelah pesan ojek online. Tau kan gimana padatnya jalanan Tangerang tiap pagi? Tapi herannya hari itu jalanan lenggang banget, karena hari minggu mungkin. Jadi aku nyuruh mas driver-nya buat ngebut, dan baru sadar di tengah perjalanan kalau aku lupa bawa gitar. Iya, aku goblok banget ya Fil ya?"

Filo menggeleng, sambil tersenyum samar. Sebelah tangannya mengusap lenganku, membuatku merasa lebih nyaman.

"Terus aku suruh driver-nya buat putar balik ke rumah ambil gitar, karena nggak mungkin aku latihan tanpa gitar."

Aku menjeda, karena rasanya, kepalaku seperti dihantam. Rasa sakit itu datang lagi.

"Lalu kami kecelakaan, Fil, pas putar balik. Motornya oleng sampai kami terjatuh ke badan aspal. Dan dari arah belakang..."

Ya Tuhan.

"Filo sorry."

Ingatan bagaimana separuh badan mas driver itu hancur terlindas roda kontener, bagaimana tangannya yang terangkat ke atas seakan meminta pertolongan, bagaimana suara decitan ban setelah sopir kontener menginjak pedal rem sebegitu dalam, bagaimana bau anyir darah yang seketika menyeruak di tempat kejadian, dan bagaimana aku bisa selamat dari kecelakaan maut itu.

Ingatan itu, meski ingin sekali aku lupakan, sampai sekarang masih tersimpan sempurna di kepalaku.

Aku, menangis sesenggukan, dan kedua tangan Filo merengkuh badanku.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang