03. Tiga

1.1K 174 22
                                    




Seminggu yang lalu, Mas Tama menghubungiku dan bilang jika dia kehabisan uang. Sebagai adik, awalnya aku nggak mau ngasih begitu saja karena pasti dia sudah rutin dapat transferan dari mama. Dia enak ya kan, uang kuliah sudah ditanggung beasiswa, ditambah uang kiriman dari mama juga pasti bukan main jumlahnya. Lalu dia berterus-terang jika saat ini dirinya sudah tidak melanjutkan kuliahnya lagi karena suatu masalah. Aku jelas kaget, tetapi masih belum berani bilang ke papa maupun mama.

"Iya, Mas ngaku salah." katanya waktu itu, setelah semua makianku untuknya keluar.

Aku hanya bisa menarik napas, "Ya gilak aja masalah segedhe itu dan lo tetep santuy. Pulang!" hardikku.

"Nggak bisa Fil, pasport gue ditahan dan Mas mu ini masih harus wajib lapor dua hari sekali sebelum Naya ketemu." Naya itu nama teman sekelasnya di sana, dan sampai sekarang dia masih dikabarin hilang. Karena Mas Tama orang terakhir yang terlihat di cctv kafe bersama gadis itu sebelum satu jam kemudian dia hilang, jadi ya Mas ku itu jadi tersangka. Untungnya sampai sekarang belum ada bukti yang bisa membuat Mas Tama disalahkan. Tapi tuh ya, hukum di Korea Selatan itu ngeri banget apalagi kalau kasus seperti ini. Ya Gusti.

Satu-satunya doktrin yang membuatku untuk tetap tenang dan tidak gegabah hanyalah rasa percayaku pada Mas ku itu. Mas Tama nggak mungkin tega bawa kabur anak orang apalagi warga sipil sana.

"Yaudah gue yang nyusul ke sana!"

"Mau bikin papa kena serangan jantung ya?"

"Ya terus gue harus gimanaaa anjir?" aku kesal sendiri, rasanya ingin kubanting benda bernama ponsel ini ke lantai. Atau teleportasi ajadeh nyusulin mas biadab itu terus namparin mukanya berkali-kali.

"Pinjemin gue duit, gue emang udah nggak kuliah karena beasiswa gue dicabut sama kedutaan, tapi, gue masih butuh makan, Dek. Gue juga nggak bisa terus-terusan numpang tidur di tempat temen karena otomatis gue juga diusir dari dorm." pas ada maunya doang ya dia manggil pakai sebutan adek. Bener-bener biadab.

"Tapi gue bisa tuh numpang tidur terus-terusan di apartemen si Ami." rasain.

"Filooo...please, tolongin Mas ya."

"Mas, gini ya." aku menyeruak poni rambut ke belakang sambil menarik napas keras-keras, "Masalahnya duit yang mau lo pinjem itu nggak sedikit ya. Itu sama aja jumlah gue nabung selama ini, gila aja lo."

"Nggak usah khawatir, gue janji bakal balikin."

"Bukan masalah itu ya! Terus gue makan apaan kalau tabungan gue habis buat lo?"

"Filo." nada itu. Suara itu. Ugh!

"Oke, kasih gue satu alasan."

"Mas mau DP apartemen."

Serius, aku langsung cengo. Segala umpatan keluar lagi dari mulutku. "Gilak lo anjir ya! Nggak usah ngadi-ngadi balik aja lu ke Indo! Gue siap bikin petisi ke kedutaan kalau perlu! Lo pelajar ya Mas, suarakan hak lo di sana!"

"Jangan lupain fakta kalau di sini gue jadi tersangka juga, Fil. Bahkan kedutaan yang narik beasiswaku. Lo mau bikin petisi ke mereka yang kayak gimana? Pulangin Mas Tama ke Indonesia, gitu? Lo yang ngadi-ngadi."

Sialan.

"Bahkan gue yakin percakapan ini mereka denger juga."

"Hah? Maksudnya gimana? Di sadap gitu telfon lo?"

"Iya. Tapi gue nggak salah, so it's no worry. Gue juga pengen masalah ini cepet kelar."

"Yaudah." aku memijit kening, menimbang-nimbang. "Gue harus kirim uangnya ke mana? Paypall lo nggak diblokir juga kan?"

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang