09. Sembilan

767 125 8
                                    



Ps. Kalau kalian puasa, mending khusus part ini bacanya kalau udah azan magrib aja ya.



*



"Tadi itu namanya Dirga. Dia-"

"Sori Fil gue tadi khi-HAH GIMANA?!"

Aku tak kuasa menahan senyum ketika aku dan Biru ngomongnya bisa barengan gini. Litterally!

"Gimana-gimana? Coba diulangin, aku belum paham." Aku tahu Biru mencoba mengklarifikasi soal rokoknya tadi, tapi bukan itu masalahku. Sungguh.

"Yang kamu lihat di Sunmor tadi pagi, namanya Dirga." tulang pipi milik Biru mengeras, aku tahu dia sedang nahan buat nggak marah. Oke iya, aku salah karena sudah bohong dan harus ngebatalin rencana ke pantai minggu ini. Tapi sumpah, ketemu Biru di sunmor dan kita sama-sama lagi makan zuppa soup itu...kocak banget. "No need to be jealous with him." Aku melangkah mendekat.

Satu langkah.

Dua.

"Biru, maaf."

Maaf karena sudah membohonginya. Maaf karena ulahku, dia kembali lagi melampiaskan rasa kesalnya pada rokok setelah usahnya sekian bulan untuk menghindari benda itu. Padahal perjuangannya untuk menghindari benda itu pasti berat banget.

"Dia ganteng, Fil. Tinggi, badannya bagus nggak kayak aku. Kurus gini."

"Bukan gitu." Ya Tuhan, tolong jangan seperti ini. "Kita cuman temenan, sumpah."

"Tapi sampai berani bohong dan nunda lagi acara kita ke pantai?"

"Minggu kemarin kamu yang nunda, ya."

Stupid me, I know.

Percaya atau tidak, sebelum aku berangkat ke studio, sudah kususun berderet-deret kalimat di otak. Bagaimana aku akan menjelaskannya ke Biru. I'm not planning to say sorry but more than that. Now it was failled. Tottaly.

Aku tahu dan aku yakin Biru itu bisa bersikap dewasa, dan iya. Biarpun kalau marah mukanya jadi nyeremin, tapi dia masih tergolong sabar. Setelah apa yang aku lakuin ke dia. Now I really know that he loves me that much.

"Oh...did you perhaps, take a revenge on me?"

Kedua alisku bertautan. "Bukan gitu!" Ya ampun kenapa malah jadi begini? "Aku bukan cewek pendendam ya. Dan nggak masalah juga kamu mau nunda janji asal ada alasan yang jelas."

Biru menatapku lurus. Oh, ada banyak luka yang tersirat di wajahnya. Banyak sekali. Aku balas memandang manik matanya yang berwarna cokelat, perlahan menggandeng lengannya, mengusapnya. Aku tahu dia menyukai itu.

Tapi kali ini tanganku ditepis olehnya.

"Itu sebabnya kamu merasa nggak masalah kalau bohong sama aku? Bilangnya ada jadwal mendampingi praktikum kelas karyawan, tapi nyatanya malah jalan berdua sama cowok." Jakunnya naik turun. "Aku nggak suka kamu bohong, Fil."

"Okay, sorry. Won't happen again."

Dadanya makin membusung, aku tidak tahu apa yang salah dengan ucapanku. Lalu dia menarik napas lagi lebih dalam. "Kenapa jadi kamu yang marah?"

"Hah?"

"You sound mad."

"No. Enggak Biru, aku nggak marah sumpah. Kok jadi gini sih? Kamu lagi capek ya?"

"Iya, aku capek sama kamu Fil."

Ya Gusti.

Wajahku menjadi pias. Nada bicara Biru menjadi melunak, seakan stok kesabarannya sudah hilang. Lalu bibirku kelu, tidak menemukan satupun kalimat yang tepat yang harus kugunakan untuk meredam emosi yang bergumul di kepalanya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang