06. Enam

1K 151 14
                                    




Kemarahan yang sempat terlihat dari tatapan mata laki-laki di hadapanku ini berangsur padam, berganti dengan sebuah tatapan prihatin. Iya, aku tahu kalau anak-anak, terlebih Sakha, sangat khawatir karena aku baru balik ke studio subuh-subuh begini, tanpa sebelumnya mengabari, dan ponsel yang sengaja kumatikan.

Mereka masih berkumpul di ruang tengah, karenanya aku jadi merasa bersalah. Meskipun aku yang paling tua di sini, tapi jika dibandingkan dengan Sakha, aku tidak ada apa-apanya. Sementara Brian, tidak usah ditanya. Dia hanya jago untuk berurusan dengan perempuan. Sama bikin lagu juga sih.

"Are you okay?"

"No. I'm hurt Sakh. You know, my cheeks are red now!"

"Sebelah doang ya, nggak usah lebay." sudah kuduga, itu pasti Brian dengan mulutnya yang kurang ajar. "Habis dikeroyok sama orang di mana lo?"

Okay, sebelum kalian pada tanya, jadi ini adalah studio tempat tinggal kami berenam---aku, Sakha, Brian, Wildan, Juna, dan Davis, atau Enamhari---nama band kami. Sounds a little bit cringe yet I like it. It's a good name, tho. Dan aku peringatkan sama kalian, di sini nggak ada yang memanggilku Biru, tapi Jaevian, atau cukup Jae.

Panggilan Biru khusus buat Filo aja. Kan panggilan sayang. Hehe.

"Kalian belom pada tidur gara-gara nugguin gue?"

"Makanya kalau punya hape tuh nggak usah dimatiin." itu Brian tentu saja. Di sini mana ada yang berani kurang ajar gitu selain dia?

"Bukan bang Jae aja sih, Tapi bang Juna juga nggak bisa dihubungin."

Keningku berkerut, "Lho emang Juna ke mana?"

Davis nggak langsung jawab, malah pandang-pandangan sama Brian. "Nggak tau tuh, coba tanya sama bang Brian."

Lalu begitu saja, anak itu bangkit dari sofa dan dengan muka cemberut berjalan ke arah kamar.

"Udah ya, besok lagi kita bahas. Gue mau tidur bentar, nanti jam delapan ada jadwal konsul satu pasien soalnya." berikutnya Sakha menyusul.

Ini pada kenapa sih?

"Lo udah makan belom bang? Di meja makan ada nasi goreng tuh, angetin dulu bentar di microwave. Udah dingin soalnya." Kali ini giliran Wildan.

Masih terlihat tenang, Brian juga ikut-ikutan. "Gue juga tidur dulu ya, Nyet. Lumayan lah tidur sejam-dua jam." Lalu dia berlalu ke kamarnya setelah menepuk pundak ku.

Asu.

Pada kenapa sih ini?




*




Aku berdecak.

Ini sudah decakan ke dua puluh dua kalau aku nggak salah hitung, dan si bangsat Kainan Brian Rafansiya masih bersikeras menghabiskan martini di tangan.

Ada yang penasaran bagaimana dia bisa punya minuman itu di studio? Bah! Aku aja nggak tahu. Cuman Brian, Tuhan, dan para malaikat yang tahu darimana dia bisa punya minuman keras itu di kulkas pribadinya.

Oh sama setan juga.

"Kenapa sih lo?" tanyaku, sambil menyandarkan punggung di sofa balkon.

"Apanya.."

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang