Langit kembali kelabu. Heningnya malam tak membuat ia merasa takut sama sekali. Rintik hujan mulai membasahi. Tubuh melemah tak kuasa menahan sepi. Rindu. Sesal. Itu yang ia rasakan. Sebuah botol alkohol berada digenggamannya, sembari memegang kemudi ia bergumam. "Tuhan tidak adil," katanya.
"Bagaimana ia menulis takdirku begitu menyedihkan semacam ini?" Selanjutnya ia tersenyum miris. Dibalik matanya yang tajam, terselip rasa rindu, pesakitan, dan sesal disana.
Semenjak kepergian mendiang kekasihnya—Jeon Wonwoo, beberapa tahun silam, lelaki berwajah sangar itu kian lama kian murung. Tuhan selalu merenggut nyawa orang-orang yang ia cintai. Selepas kepergian orangtuanya tujuh tahun silam, ia hanya bisa bertahan karena Wonwoo. Lelaki dingin dengan tubuh ringkih itu menjadi satu-satunya alasan mengapa ia harus hidup. Lelaki bertubuh ringkih itu menjadi satu-satunya sang penyemangat.
Nahas, selepas kencan di Palgakjeong, sebuah truk menghantam motor mereka dari belakang. Wonwoo yang saat itu duduk di boncengan belakang terpental dan terguling hingga melewati pembatas jalan. Tubuh ringkih berlumuran darah itu baru berhenti terguling setelah tersangkut akar pohon yang menjuntai keluar tebing.
Kekasihnya, harapannya, menghembuskan napas terakhir selepas ia menyerukan nama kekasihnya begitu kuat. Bahkan alam seolah mengerti, gemuruh datang selepas ia meneriaki nama Wonwoo. Kwon Soonyoung—lelaki itu, tak sadarkan diri karena tubuhnya terlempar beberapa meter tak jauh dari tempat kejadian. Tubuhnya penuh luka. Tak lupa darah yang terus mengucur membasahi aspal.
"Jeon Wonwoo.." serunya tak berdaya kala itu.
Selepasnya, ia tak sadarkan diri.
Rasa-rasanya, kala itu, ia berharap bahwa matanya takkan lagi terbuka. Namun, takdir berkata lain. Seruan-seruan kencang yang beradu dengan tangisan mulai menyapa gendang telinganya. Ia dapat merasakan atmosfer tak mengenakkan di sekitarnya. Kepalanya yang dibebat agak membuatnya kesulitan untuk menengok mencari sang kekasih. Nihil. Tak ada seorang pun disana. Hingga seorang perempuan paruh baya dengan tangis yang belum reda menghampiri dirinya.
"Wonwoo telah pergi," ujar wanita tersebut.
Sejak saat itu, tujuannya hidup berubah. Ia hidup, untuk mati.
Setetes air mata mulai jatuh membasahi pipinya ketika memori tentang kekasihnya kembali terputar. Ia tersenyum miris. "Kenapa aku tidak mati saja saat itu?" Lelaki itu kembali menegak alkohol yang ia punya.
Perlahan kesadarannya mulai hilang. Memori-memori tentang kematian orangtua dan kekasihnya pun mulai pudar. Kelabu. Sampai tiba-tiba lampu mobilnya menyorot seseorang yang tengah berjongkok mengambil sesuatu di tengah jalanan. Dalam keadaan setengah sadar, ia membelalakkan matanya. Ia berusaha menginjak pedal rem, namun sudah tak sempat. Mobil hitam miliknya menabrak seseorang hingga terpental ke belakang mobilnya. Begitu kuat. Bahkan dentumannya begitu keras.
Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Walaupun ia tak sadar sepenuhnya, namun ia tahu bahwa ia telah mencelakai seseorang. Dilihatnya melalui spion mobil, terdapat manusia yang sekujur tubuhnya dipenuhi darah dan kelopak bunga tulip putih yang kini berubah menjadi merah sebab tercampur oleh darah segar.
Ia yakin, bahwa ia telah menabrak seseorang. Lalu, apa yang harus Soonyoung lakukan? Pasalnya tak ada seorang pun saksi berada di tempat kejadian. Bisa saja ia melarikan diri dan masalah selesai. Namun, ia masih memiliki tingkat simpati yang tinggi, apalagi ini dengan orang yang ia tabrak. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus bertanggungjawab atas apa yang telah ia perbuat.
Dengan keringat dingin yang masih terus membasahi pelipisnya, lelaki itu berjalan gontai ke arah pemuda yang kini terkapar dengan kelopak bunga tulip yang menyebar di pinggir tubuhnya. Darah segar yang itu mewarnai para kelopak bunga tulip yang bertebaran.
"Tolong..." lirih dari pemuda yang kini tak bisa lagi merasakan tulang-tulang di tubuhnya. Bernapas pun rasanya sulit sekali.
Soonyoung dapat mendengar lelaki tersebut menyerukan kata tolong dengan begitu lirihnya. Rambut hitam legam milik lelaki itu basah karena darah yang merembas dari kepalanya. Bisa dibayangkan bagaimana kesakitannya ia.
Soonyoung membelalakkan matanya seraya membekap mulutnya tak percaya. Bahkan ia tak sadar bahwa setetes air mata telah jatuh dan pecah di atas telapak tangan pemuda yang masih terkapar di atas dinginnya aspal. Kakinya tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhnya. Alhasil, ia terjatuh tepat di samping lelaki tersebut.
"Jihoon.." lirihnya. "Tidak mungkin..."
catetan: Okay, jadi seperti apa yang aku bilang sebelumnya cerita ini partnya akan sedikit seperti REWIND.
—Jadi, chapter ini ada beberapa bagian yang aku ganti dan aku tambah. Ini berkat kecerobohan aku sendiri dan untungnya disadari oleh Kak dazzlingdaze_
Terima kasih untuk Kak dazzlingdaze_ karena sudah mengingatkan. Kalau engga entah deh aku bakal nyadar atau engga😂 aku tuh udah kepikiran kesana, cuma ada satu kata gitu malah aku ke ketik sama aku. Lalu, ada satu bagian gitu yang aku ganti, maksudnya lebih aku rincikan kembali agar lebih mudah dipahami oleh pembaca. Sekali lagi maafin aku ya dan big thanks to Kak dazzlingdaze_ karena sudah mengingatkan aku!♥Dan untuk yang penasaran daerah
Palgakjeong, jadi itu tuh kaya pegunungan gitu. Fotonya bisa dicek di atas ya.Walaupun ada yang diganti, untuk chapter selanjutnya tidak akan ada perubahan cerita, karena pergantian bagian tersebut tidak mengganggu alur dan cerita lama.
Terima kasih!♥
Jangan lupa tinggalkan jejak...
![](https://img.wattpad.com/cover/178971731-288-k377242.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ESPOIR | SoonHoon
أدب الهواةDalam bahasa Prancis, espoir dapat diartikan sebagai harapan. Berbagai harapan aku punya. Berbagai harapan pun telah aku raih. Sampai kini, aku mengerti bagaimana rasanya berharap, berharap, dan terus berharap tanpa bisa meraih. Bukan sebabnya aku t...