Satu tahun kemudian.
"Aku bertemu dengan Seokmin di kafe tadi, Jihoon–ah," ucap Soonyoung seraya menaruh jaketnya di atas sofa. "Seokmin bilang dia merindukanmu," tambahnya lagi.
Hening, Jihoon tidak menjawab. Hanya detingan jam yang dapat terdengar. Seketika senyum di wajah tampan lelaki tersebut luntur terganti dengan derai air mata yang tak dapat ia bendung lagi. Soonyoung mendekat ke arah Jihoon yang sedang tertidur dengan wajah damainya.
"Tidurmu lama sekali, apa ada aku dalam mimpimu satu tahun ini?" Soonyoung menggenggan tangan Jihoon erat. Air matanya jatuh dan pecah di atas tangan lelaki mungil yang kini masih terbaring di ranjang rumah sakit setelah kejadian tragis satu tahun lalu.
Kisah cinta seperti apa yang kau inginkan?
Soonyoung teringat bagaimana Jihoon bertanya pada dirinya tentang kisah cinta seperti apa yang ia inginkan. Setetes air mata kembali jatuh dan pecah di atas tangan Jihoon. "Kau ingin kisah ini seperti dongeng putri salju, Sayang?"
Di dekatkannya wajah Soonyoung untuk meraih bibir tipis Jihoon seperti yang terjadi di dalam dongeng putri salju. Soonyoung membiarkan air matanya kembali menetes. Hingga beberapa detik Soonyoung mengecupnya, tak ada tanda-tanda apa pun. Senyum miris terlukis di wajah Soonyoung.
"Ternyata kau tidak memilih kisah seperti putri salju. Buktinya kau tidak kunjung bangun," lirihnya. "Apa di sana begitu indah hingga kau tidak kunjung kembali, Sayang?"
Helaan napas terdengar dari mulut Soonyoung. Lelaki itu berusaha mengatur napasnya yang semakin lama semakin tersendat akibat sesak di dada. Lelaki itu menarik selimut Jihoon sebatas dada dan mengecup kening kekasihnya. "Seberapa banyak napas yang kau butuhkan? Sekali pun itu artinya seluruh napasku, aku akan memberikannya padamu. Kembalilah, aku merindukanmu..."
---
Pagi-pagi sekali, ruangan tempat Jihoon dirawat didatangi oleh seorang dokter yang selalu mengontrol Jihoon. Pria itu tengah memeriksa kekasihnya, gelengan kepala yang ia dapatkan. Helaan napas dari mulut pria berjas putih itu terdengar. Ia pun menghampiri tempat Soonyoung terduduk dengan segala macam perasaan yang tidak karuan.
"Tolong beritahu orang tuanya untuk datang," perintah dokter tersebut.
"Ada apa?" Suara dari perempuan paruh baya pun terdengar dari ambang pintu. "Dokter membutuhkan kami?" tanya ibu dari Lee Jihoon.
"Begini..." Pria berjas putih itu sedikit menggigit bibirnya bimbang. "Maaf sebelumnya jika kedatangan saya membawa kabar yang kurang mengenakkan, tapi—"
"Apakah ini tentang pelepasan alat bantu pernapasan milik Jihoon? Saya akan tetap menolaknya. Saya percaya masih ada keajaiban," tegas Soonyoung bersikeras. Sementara di dekat ranjang Jihoon, kedua orang tuanya sudah pasrah dengan apa pun keputusan dokter.
Sang dokter menepuk pelan bahu Soonyoung guna menenangkan pria itu. "Kami sudah berusaha semampu kami. Saya percaya keajaiban. Tapi, jika memaksanya terus hidup seperti ini, apakah tidak akan menyiksanya? Lebih baik, biarkan dia beristirahat dengan tenang di tempat yang seharusnya."
"Dokter berharap dia meninggal? Apa Anda tahu seberapa pentingnya dia untuk hidup saya?" Perkataan dokter tadi rupanya menyulut emosi Soonyoung.
"Pihak rumah sakit hanya memberikan saran terbaik untuk Jihoon. Maaf jika saya mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan," balas sang dokter.
"Siapa kau? Kau hanya seorang dokter, bukan Tuhan yang berhak memvonis hidup mati seseorang." Amarah Soonyoung mulai menggejolak. Dokter tersebut menghela napasnya kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
ESPOIR | SoonHoon
FanfictionDalam bahasa Prancis, espoir dapat diartikan sebagai harapan. Berbagai harapan aku punya. Berbagai harapan pun telah aku raih. Sampai kini, aku mengerti bagaimana rasanya berharap, berharap, dan terus berharap tanpa bisa meraih. Bukan sebabnya aku t...