Chapter 3

1.8K 305 33
                                    

Pada waktu yang lalu.

Hari berganti minggu. Minggu pun berganti bulan. Tak sadar kedua insan itu telah dekat selama dua bulan lamanya. Mulai timbul juga perasaan menggelitik kala Soonyoung berdekatan dengan Jihoon. Mungkinkah Soonyoung jatuh cinta lagi? Kehadiran Jihoon telah membuatnya kembali percaya akan kisah cinta yang berakhir bahagia. Malam itu, dikala sang rembulan telah bersinar, Soonyoung mengajak Jihoon ke sebuah tempat yang di mana menyimpan sebuah kenangan bersama sang mantan kekasih. Palgakjeong.

"Wah, aku tidak tahu ada tempat seindah ini," tutur Jihoon seraya melihat ke arah lampu-lampu yang berasal dari rumah-rumah warga. "Ini benar-benar indah," kagum Jihoon.

Angin yang berembus menambah kesan manis di setiap sudut lelaki mungil itu. Soonyoung tersenyum bagaimana melihat binar mata Jihoon yang baginya terlihat menggemaskan. Tanpa Jihoon sadari, Soonyoung mengeluarkan ponselnya guna memotret Jihoon. Sampai Soonyoung tersadar kala Jihoon menoleh ke arahnya dan tak sengaja ia mengambil gambarnya.

"Kau sudah membawaku jauh-jauh kemari bukan hanya untuk diam di situ, bukan?" sindir Jihoon. "Ayo, kemari. Lihat, lampu-lampu itu terlihat indah..."

"Ada yang lebih indah. Kau ingin tahu?"

"Apa?"

"Kau."

Jihoon terkekeh mendengarnya. "Kau ini ada-ada saja, Soonyoung." Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Ia pun melihat ke arah bangku kosong di dekat mereka. "Ayo, kita duduk di sana."

Tanpa meminta persetujuan dari Soonyoung, Jihoon segera menarik pergelangan tangan Soonyoung. "Udara di sini sejuk," tutur Jihoon.

Soonyoung melepas jaket miliknya dan menyampirkannya pada bahu mungil Jihoon. "Walaupun udaranya sejuk, kau bisa sakit jika terus terkena angin."

"Aku kuat dingin!" seru Jihoon.

"Jika kau kuat dingin, apa itu artinya hatimu juga ikut dingin, Jihoon-ah?"

"Kau aneh. Apa hubungannya kuat dingin dengan hati dingin," sinis Jihoon yang kini merapatkan jaket Soonyoung di tubuhnya. Pria yang lebih tua itu pun tersenyum kala melihat tingkah Jihoon yang sebenarnya mau, tapi malu itu.

"Soonyoung," panggil Jihoon. Lelaki itu pun menoleh ke arah Jihoon yang kini menatap lurus ke depan. "Kenapa saat itu kau memilih untuk mengakhiri hidupmu? Kau belum bercerita apapun padaku," sambungnya.

"Ada sebuah tragedi yang tak bisa kulupakan hingga detik ini," lirihnya.

"Kalau boleh tahu, apa itu?"

"Kecelakaan beberapa tahun silam yang merenggut nyawa orang yang aku cintai. Kedua orang tuaku dan kekasihku. Aku marah dan sedih. Aku marah, kenapa dari dua kecelakaan yang aku alami hanya aku yang selamat? Kenapa Tuhan merenggut semua kebahagiaanku? Aku sedih sebab setelah saat itu, kehidupanku tak lagi sama. Hampa. Duniaku bukanlah seperti dunia yang aku impikan selama ini," jelasnya.

Lelaki itu menatap nanar ke arah hamparan langit yang berbintang. "Pernahkah kau menyesal akan takdir? Ketika kau terjebak dalam sebuah ruang hampa dan sepi sendirian. Tak ada satu pun yang bisa kau ajak berkeluh kesah. Pernahkah kau merasa hidup bagai raga tak bernyawa? Kehidupan yang terasa begitu kosong..."

Jihoon bergeming. "Kenapa harus menyalahkan takdir? Bukankah takdir yang Tuhan atur tiada cacat?"

Soonyoung pun mengembuskan napas lelah. "Entahlah..." lirihnya. "Hingga kini aku masih bertanya-tanya, mengapa hanya nyawaku yang selamat kala itu?" katanya lagi.

"Kau tahu, mungkin kau kecewa dan marah atas Tuhan dan takdir. Tak apa, itu wajar. Sebab kau belum mengerti. Meski kau marah, kehidupan akan terus berjalan. Jika kau melewati hari-hari berhargamu hanya dengan mencaci, memaki dan mengeluh atas takdir, tentu kau tidak akan mengerti. Kau harus membuka pikiranmu lebih luas lagi. Sebab setelah usiamu habis, itu artinya kehidupanmu akan berhenti. Di saat itulah kau akan menyesal karena tak bisa melakukan banyak hal yang seharusnya kau lakukan."

ESPOIR | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang