Reuni

23 3 0
                                    

Jangan pernah berlarut-larut dalam kesedihan. Itu yang gue tanamkan dalam diri sejak lama. Biarin cukup gue aja aja yang ngerasain kesedihan itu, sekarang yang harus gue lakuin adalah mencari orang-orang yang bisa melupakan sebentar kesedihan ini.

Temen-temen gue.

Temen deket gue banyak. Sampe-sampe gue mikir, nanti kalau gue nikah berapa meter kain yang harus gue sediain untuk mereka yang bakal jadi bridesmaid.

Pusing gue mikirinnya sekarang.

Setelah ribut-ribut panjang di grub Whatsaap, akhirnya wacana yang udah dari jauh direncanakan terlaksana juga. Gue kumpul sama salah satu temen-temen gue di cafe biasa kita tongkrongin dulu.

"Yuk berangkat," yang gue panggil malah kaget, gue berdecak.

"Kurang kuat kau nepuknya," tipikal orang yang ngga menjaga kesehatan, jantungnya lemah akan sentuhan.

Kalau di Medan, sebutan aku-kau itu hal biasa. Tapi cara logatnya ngga se-lebay yang ada di film-film itu. Karena orang yang tinggal di Medan ngga semuanya orang Batak. Dan orang Batak ngga semua logatnya se-lebay itu.

"Udah jadi warga negara yang baik kayaknya temenku," gue memakai helm dan langsung naik ke motor milik Putra. Niat banget dia bawa helm dua.

Setelah cukup jauh keluar dari jalan rumah gue, gue melakukan hal yang paling gue suka. Yaitu gue arahkan kaca spion ke arah muka gue dan gue akan menunjukkan pesona menjijikkan buat orang yang lagi bawa motor. Biar ngga konsen. Hahaha.

Dia melirik kelakuan gue yang menjijikan ini, udah kayak najis aja gue lama-lama dilirik kayak gitu. "Ngga berubah memang kelakuan kau dari dulu, Rin." Dia memperbaiki spionnya agar mengarah dengan benar, sedangkan gue hanya terkekeh di belakang.

"Enak di Jakarta," tanyanya.

Gue mengangguk dan ngga lama gue menggeleng, "Lebih enak disini, temenku banyak." jawab gue sekenanya.

"Cari pacarlah jangan temen aja alasan kau pulang," gue langsung berupaya melihat wajahnya dan munutup kaca helmnya secara tiba-tiba. "Gilak kau, Shirin." makinya.

Gue cuma mengelus-ngelus helm bagian belakang dengan penuh rasa sayang.

"Kau punya pacar memangnya," tanya gue iseng.

"Cari pacar cantik gampang, rin." gue ikutan mengangguk setuju dengan apa yang dia bilang, "Yang susah cari cewe baik sekaligus cantik, yang mulus, soleha, dan mau nerima kekurangan aku," sambungnya.

"Cewenya juga mikir kalau samamu."

"Gitu kau kadang, ngomong otakmu lupa kau pake." katanya pura-pura sedih. Gue tertawa keras lihat temen laki-laki gue yang satu ini yang jago nge-drama.

Setelah drama yang kami buat diperjalan, gue mengedarkan pandangan ke dalam cafe. Mencari sosok  yang sudah menunggu.

"Mata minus apa nampak orang jarak 5 meter kedepan," Ya Allah ampuni lah dosa gue dan dosa kedua orangtua gue ya Allah.

"Kalau lihat yang cakep langsung turun minus mataku," jawab gue sambil jalan meninggalkannya.

Didalam cafe dengan meja nomor 16 seorang laki-laki bersama kopi hitamnya sedang memainkan handphonenya dengan serius. Dia tidak sadar kehadiran gue sama Putra yang udah didepan mejanya.

Namanya, Abi . Temennya Putra yang dikenalin ke gue. Abi kuliah satu jurusan sama gue, cuma beda univ aja. Inilah yang awalnya buat gue deket sama dia, karna dia sering kontak gue buat nanya-nanya materi kuliah gue disana begitupun gue ke dia.

"Apa kabar, ren." satu-satunya orang yang memanggil nama gue dengan sebutan Shiren dan gue tidak keberatan akan hal itu.

Gue menanyakan kabar dia setelah memberitahu kabar gue selama ini. Dia pun bertanya kehidupan gue di Jakarta, temen-temen gue, dan apakah gue sudah punya pacar atau belum.

"Ngga punya dia," Putra menjawab sambil memakan kentang goreng, "Dia masih ngarepin Bang Ridho, Bi."

"Jangan percaya, Bi." kata gue.

"Jadi kamu punya pacar, Ren." tanyanya sekali lagi. Gue menggeleng sambil tersenyum ke arahnya.

Hati gue belum siap dan belum mau. Gue belum menemukan orang yang bisa buat jantung gue berdebar setiap natap matanya. Gue belum ketemu orang yang buat gue pengen selalu ada buat dia, belum.

"Nanti kalau ada pasti dikenalin kok, Bi." itu kalimat yang akhirnya keluar dari bibir gue. Bisa gue lihat senyum tipis dari bibir Abi. Entahlah gue ngga mau menganggap senyum itu sebagai tanda kecewa atau apa.
.
.
.
.
.
Ima


Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang