Anjas
Sudah sebulan semenjak insiden kemarin, gue sama Aca ngga ada berhubungan. Gue yang memang tidak mau menghubunginya dan dia sepertinya sama seperti gue.
Yaudah, gue sih ngga apa-apa.
Menghilangkan penat duniawi, hari ini gue pergi sama mas Ibram, mas-mas-an si Aca. Dia naksir berat sama mas gue yang satu ini. Heran gue.
"Kok Aca ngga pernah main sih, Jas." gue menghentikan kunyahan gue saat menikmati macet kota Jakarta. Gue cuma melirik mas Ibram dan menghendikkan bahu. "Bocah banget lo, udah 22 tahun bentar lagi tamat kuliah. Kelakuan minus."
Sepertinya yuppy yang gue makan terasa hambar setelah mas Ibram bicara. Gue paling males sebenernya kalau orang orang sekitar gue mau tau banget temen temen deket gue. Ya kayak gini nih. Kepo.
"Kangen samperin, jangan tanya ke gue Mas Ibram 27 tahun."
"Gak asik lo main umur."
"Aduh pak dokter cabul, lo deluan tadi." kesal gue sama om om satu ini.
Gue emang uda mutusin untuk ngga mengingat ingat Aca lagi. Karena gue rasa dengan meminta Aca buat sama gue itu adalah hal yang salah, contohnya sekarang gue bener-bener kehilangan dia sebagai teman.
Mas Ibram memasuki jalan yang tak asing menurut gue. "Mau kemana sih, Mas." gue sampe muterin kepala karena ngerasa daerah ini ngga asing.
"jeput Aca."
What. Ngga salah denger gue ini.
"Lah kok lu serius sih nyamperin." gue kan masih malu buat ketemu si Aca, Mas. Ngga ngerti banget sih Abang gue satu ini.
"Sesuai sama umur gue, kangen ya samperin." dasar, jawaban gue tadi dilempar ke gue balik.
Aca
Mobil Bmw putih berhenti didepan kos gue, seinget gue mobil Mas Ibram bukan ini sih typenya.
"Hai, yuk naik Ca." gue melotot saat kaca mobil itu turun dan ngeliat orang yang disamping Mas Ibram adalah si curut Anjas. Anjas turun dan nyuruh gue duduk didepan, gue ngikutin apa kata dia aja biar ngga cek cok. Hih bahasa gue cek cok cuy.
"Sombong amat Ca, ngga pernah main lagi." tanya Mas Ibram seperti biasa lembut pada gue. Gue cuma terkekeh mendengar pertanyaan itu karena bingung mau menjelaskan bagaimana.
"Biasa, Mas. Sibuk ngurusin kuliah, hehe." jawab gue sekenanya.
"Mas kira lagi berantem sama si Anjas." gue gatau Anjas denger atau engga, karena ngga mungkin juga kalau dia ngga denger kan. "Gimana ni, Jas. Lo ngga kangen sama Aca."
Gue menoleh kebelakang ngeliat Anjas uda tidur dengan nyenyaknya.
"Kok dia kayak kecapekan gitu, Mas."
"Ngga kok, tampang dia aja emang begitu, Ca." gue terkekeh mendengar penuturan Mas Ibram, bisa-bisanya bilang begitu.
"Eh Mas, kita mau kemana sih." Dari awal Mas Ibram ngga bilang mau ngajak gue kemana.
"Mas mau beli rumah, jadi mau ajak kamu biar sekalian tau rumah yang baru." gue mengangguk membenarkan.
"eh tapi ngga disuruh jadi kuli angkut barang kan." tanya gue iseng. Kali aja kan, memanfaatkan dengan baik sosok yang ada.
Mas Ibram terkekeh, wuih adem banget kekehannya.
"Orangnya aja boleh ngga sih Mas angkut."
Gue ngga bisa berhenti tertawa saat Mas Ibram gombalin gue ngga berhenti-berhenti. Asli ya, gue meragukan kalau Mas Ibram itu jomblo.
"Jadi rumah yang lama gimana." tanya gue sembari ngeliat Anjas yang sudah bangun dan meratiin jalan didepannya.
"Buat Anjas dan keluarganya, Ca."
Keluarganya, Anjas mau berkeluarga? Kok gue ngga paham sih.
"Hah."
"Lucu banget sih, pantes Anjas pernah suka." tutur Mas Ibram, gue sampe diem ngga tau mau respon apa. "Santai aja, Ca."
"Jangan dengerin, Mas Ibram belakangan ini agak sakit." jawab Anjas tiba-tiba.
"Aduh, dari tadi kita banyak ngobrol loh pas lu tidur. Gimana ni, Ca." pancing Mas Ibram lagi. Gue memandang Mas Ibram dan Anjas bergantian.
Kenapa sih.
____
Setelah mengunjungi rumah baru milik Mas Ibram, kini giliran gue pengen sidak si Anjas.
"Gimana kuliah lo?" tanya gue.
"Aman-aman aja, do'ain gue tahun ini sidang ya." gue mengangguk mengaamiin-kan harapannya itu.
"Jas, gue harap semua yang pernah lo utarakan ke gue kita lupain ya. Maaf kalau gue ngga bisa bales sesuai harapan lo, lo juga tau kan keadaan gue itu gimana." papar gue ngeliat Anjas yang dari tadi menunduk.
"Gue habisnya bingung bersikap sama lo, mau ngubungin lo takutnya lo nanti mikir gue itu gimana sama lo, ga ngubungin kok gue ngerasa ada yang hilang."
"lo kok diem aja sih, Jas." gue ngomong panjang lebar tapi kutu kupret diem aja lagi.
"Okeee, Ca." jawabnya panjang banget tiap kata. "Gue malu banget mau bahas ini, jadi mending kita lupain."
Gue tersenyum kearahnya. Setelah gue perhatikan lagi Anjas banyak berubah, lebih banyak diem, senyum, dan tidur. Yang terakhir efek skripsinya kali ya.
"lo gimana kuliahnya." tanyanya balik.
Semenjak lo pindah, gue berusaha baik, beradaptasi sampai mulai mengerti bahwa ada hal yang harus dilepaskan jika sesuatu itu memang ingin lepas dari gue.
"Alhamdulillah lancar, doain deh lancar terus." Kami sama-sama mengaamiinkan apapun harapan-harapan baik untuk nanti.
"kok Mas Ibra belum kawin kawin sih." tanya gue iseng, secara Mas Ibra kan banyak yang mau.
"kucing kali ah kawin."
"Nikah maksud adinda." jelas gue.
"Belum ada yang cocok mungkin, Ca." katanya, "Susah kata Mas Ibram nemu yang nerima kekurangan dia dan kelebihan dia."
"klasik banget sih. Bilang aja mau berkelana" jawab gue.
"Itu lo tau bambank." sambil mengacak-acak rambut gue. "Mungkin dia lagi nunggu orang sih katanya."
Ohya, wow. Pasti beruntung itu cewe.
"Semoga yang ditunggu ngga with yang lain."
"Bahasa lo, dih."
Ima
11-8-3019

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Teen FictionShiren, seorang gadis yang hampir menginjak usia 20 tahun, harus menahan sabar setiap teman-temannya meledekinya karena statusnya yang sudah hampir 4 tahun menjomblo. "Kapan ren punya pacar?" Tidak masalah jika teman-temannya yang menanyakan hal itu...