Rusak

9 1 0
                                    

Pernah ngga gue bilang kalau kuliah itu harus serius. Sekarang gue lihat Anjas ngga ada serius-seriusnya buat kuliah. Kelihatan dari sebulan yang lalu pasti ada aja titip absen ke gue.

Karena gue ngga tahan lagi nanggung dosa dia, akhirnya dua hari ini gue ogah diperbudak lagi. Sengaja gue ngajak dia ketemu buat  bicarain ini, karena gue peduli sama dia. Gue ngga mau dia kenapa-kenapa lagi.

"Kangen ya, Ca." katanya tiba-tiba duduk dihadapan gue sambil ngasih tampang menggelikan. "Segitunya lo nyepam gue karna pengen ketemu." sambungnya.

Oke sabar Ca, emang ni anak lagi ngga waras aja.

"Lo kenapa sih bolos mulu," gue males basa-basi lagi sekarang. Dia menghendikkan bahu. "Orang kalau bolos itu ada alasannya, kalau lo ngga ada itu apa sih namanya."

Dia mengabaikanku dan malah memanggil waitrees ke meja kami. Gue memperhatikan gerak-gerik dia yang ngga menghargai gue.

"Makan dulu ya Ca, laper gue." dia terkekeh tanpa dosa kali ini.

Sabar Ca sabar

Gue perhatiin dia ngga kurus, kantong mata juga baik-baik aja ngga item. Berarti dia bahagia kan, tapi kok gue khawatir gini sih.

"Please, lo jujur ya sama gue. Lo bolos kemana aja Jas. Lo ngga inget kita mau masuk semester akhir, masa lo gini banget sih." gue menjambak rambutnya kesal tanpa perduli orang-orang di cafe pada lihatin perbuatan asusila ini.

Dia mengaduh minta ampun sama gue, tapi gue ngga peduli, gue tetep menjambak rambutnya sampai dia berhasil mindahin tangan gue ke dadanya.

"Sakit jantung gue Ca." katanya.

"Gak lucu, tau lo." gue menarik tangan gue dari genggaman didadanya.

Setelah itu dia tertawa ngeliatin gue, gue tetep ngga mau lihat mukanya yang menyebalkan itu. Ngga ada seriusnya, asli kesel gue.

Gue menahan nangis karna teringat akhir-akhir ini gue ngga punya temen. Apalagi gue memang payah cari temen deket. Belum lagi si Anjas curut hilang-hilangan, apa ngga sedih banget hidup gue.

Mati-matian gue bertemen sama Shila dkk yang nongkrongnya ke club, mabok-mabokan, hangout sama cowo-cowo asing yang buat gue pengen muntah lihat kelakuan binalnya.

"Gimana rasanya jauh dari gue Ca," pertanyaan itu keluar dari bibir Anjas. Gue diem sambil natap dia, dia menatap gue sendu. Hilang semua tawa yang tadi menghiasi wajahnya. Gue ngga kenal Anjas yang barusan ngomong gini sama gue.

"Maksud lo.. a..pa." kata gue terbata-bata bener-bener ngga paham sama jalan pikiran Anjas kali ini.

Dia tertawa sumbang sekarang, membuat gue semakin bingung.

"Selama ini lo gatau Ca." katanya sambil menatap ke arah lain. "Gue selalu ada buat lo, tapi lo ngga pernah bales apa yang gue rasain."

Gue mengerjapkan mata sambil mentransfer tiap kata yang barusan Anjas katakan ke gue.

Rasa. Rasa apa?

"Gue pengen lo ngerti arti gue yang selalu ada buat lo dari dulu."

"Lo temen deket gue Jas, sahabat, bahkan gue udah anggep lo saudara gue. " gue sedikit teriak mengatakan hal-hal yang wajar selama gue bertemen sama dia.

"Itu mulu alasan lo, tapi tiap gue deket sama cewe lo marah ngga jelas." katanya sambil tersenyum menyebalkan lagi ke arah gue.

"Lo jangan ngerusak pertemanan kita dong, Jas. Ngga lucu lo."

Dia memanggil waitrees lagi dan membayar pesanan kami. "Besok lo kuliah pagi kan, jadi lo pulang sekarang."

Gue terdiam mendengar penuturan Anjas yang mengusir gue. Bukan mengusir dari cafe ini, tapi seperti mengusir gue dari hidupnya.

"Kita belum selesai, Jas." kali ini gue nangis.

Dia menggeleng, "Lo yang ngga kasih gue buat memulainya." katanya lagi.

Gue menggeleng sambil memegang tangannya, "Jas lo belum jelasin ke gue lo kemana selama ini." kata gue bersih keukeh meminta penjelasannya.

"Gue baik baik aja, pindah kuliah jalan yang terbaik, Ca. Lo bisa cari temen yang bisa jaga lo mulai dari sekarang, jangan berharap sama gue lagi." dia melepaskan genggaman tangan gue, dan pergi meninggalkan gue sendiri.

Bodoh lo Ca, bodoh. Lo yang nyianyian orang yang tulus sama lo. Lo yang biarin dia pergi.

- Flasback -

Selama gue kuliah, gue selalu aman kalau ada Anjas. Dia ngelindungi gue dari apapun itu. Wajarkan dia laki-laki dan temen gue.

Dan harusnya gue seneng lihat Anjas bisa macarin cewe yang dia idam-idamkan selama 4 tahun kuliah disini.

Iya. Ina. Cewe idaman Anjas, sejak awal kuliah. Anak fk yang pernah dia ceritain ke gue.

Tapi semenjak dia pacaran, dia ngelupain gue. Atau mungkin gue yang terlalu bergantung sama Anjas, sampe-sampe gue merasa kehilangan banget.

Gue egois, itu pointnya.

Sampe Anjas marah sama kelakuan gue yang ngelarang dia buat jalan sama Ina. Gue selalu bilang ke Ina kalau Anjas sibuk dengan laporannya. Selalu ada aja alasan gue buat Anjas bisa selalu ada buat gue dan ngga jalan sama Ina.

"Maksud lo apa sih, Ca." gue masih mencerna pertanyaan dari Anjas.

"Apaan." kata gue yang tidak mengerti maksudnya.

"Lo bilang ke Ina kalau gue sibuk, ngga bisa diganggu dan macem macem supaya gue ngga ketemu sama dia."

Matilah gue sekarang.

"Jas, gue bisa jelasin." kata gue berusaha.

"Jelasin kalau lo mau ngerusak hubungan gue kan. Buat Ina malah mikir gue itu ngapa-ngapain sama elo kan." Bentaknya.

"Anjas." gue teriak di depan wajah dia. Gue ngga pernah dimarahin Anjas, apalagi dibentak. Gue cukup terkejut mendapat perlakuan seperti ini.

Dia membanting pintu kos gue dan pergi. Gue nangis semalaman karena menyadari kebodohan gue.

Semenjak itu Anjas berbeda. Dia ngga pernah lagi buat ada untuk gue. Dia bilang agar gue belajar bertemen sama yang lain.

Tapi itu berlangsung ngga lama. Setelah dua bulan dia dateng ke gue dan minta maaf karna pernah marah-marah dan ngebentak gue.

Gue maafin.

Kabar yang mengejutkan adalah dia putus dari Ina. Gue ngga seneng dan ngga sedih mendengar kabar itu. Gue ngerasa biasa aja mendengar fakta yang membuat Anjas inget sama gue adalah karna putus dari Ina.

Dari situ gue sama dia menjalankan aktivitas seperti biasa. Sampai Anjas mengejutkan sesuatu yang membuat gue merasa aneh melihat dia.

"Kalau lo jadi pacar gue, mau ngga Ca." gue melirik ke arahnya.

"Apaa," kata gue sedikit teriak di atas motor.

Dia menepikan motornya ke sisi kanan jalan. "Mau ngga Ca jadi pacar gue." dia memutar sedikit kepalanya agar bisa memandang wajah gue.

"Becanda lo ngga lucu ya Anjas." kata gue sambil mencubit pinggangnya.

"Serius gue, Aca." katanya lagi, gue cuma tersenyum menanggapi permintaannya.

.
.
.
.
.
Ima

Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang