Setelah kedatangan Bang Ridho kemarin, gue memutuskan untuk memaafkan dan melupakan semua kesalahan dia. Karna dia punya niat baik untuk minta maaf. Dan gue harus dewasa menyikapi niat baiknya.
Karena semua orang pasti pernah buat salah kan?
Gue selalu tanamkan dalam diri gue untuk ikhlas memaafkan orang lain. Cara gue sadar kalau gue udah ikhlas maafin orang yaitu gue sudah merasa biasa aja ngelihat dia tanpa ada rasa benci lagi dan berusaha ngga bakal mau mengingat kesalahan apa yang dia perbuat. Gue mau belajar ikhlas sekarang.
Seharusnya juga gue ngga perlu berharap lebih sama orang yang belum tentu ternyata suka sama gue. Kalau ternyata suka, pedekate ngga mungkin sampe tiga tahun kan. Memalukan memang mengingat betapa bodohnya gue dulu.
Karena hidup ini bukan hanya tentang harus punya pasangan. Salah besar. Inget, masih ada yang bisa dikejar selain hal itu.
"Yah kok pesen tiketnya pagi banget sih," gue mengeluh karna Ayah pesen tiket buat gue balik ke Jakarta jam 10 pagi.
"Jam 10 itu sudah masuk dalam kategori siang, dek." gue tersenyum kecut memandang tiket yang ada ditangan gue.
Padahal kan maksud gue biar masih punya waktu untuk disini. Ha, waktu buat siapa, kok gue ngaco. Ngga puas memang gue liburan sebulan lebih di sini. Ckckckck.
Dengan malas gue memeriksa lagi barang apa-apa saja yang mesti gue bawa ke Jakarta.
"Udah." Mama berdiri didepan kamar pintu gue. Gue mengangguk dan menggeret koper gue menghampiri Mama. "Jangan sedih, kan tiap semester balik lagi kesini," hibur Mama, gue tersenyum mengiyakan.
Setelah ritual nangis bombay, gue berusaha tetep baik-baik aja pas udah sampai di Bandara Soekarno Hatta.
"Dimana lo," gue telfon Anjas yang bakal jemput gue. Ingetkan yang nganter gue Anjas, jadi yang jemput tetep Anjas juga.
"Arah jam 12." dasar curut, pasti dia belum mandi. Terlihat dari wajahnya dan jaket hoodie kesayangannya.
Gue menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan ke arahnya,"Nih bawain." perintah gue tak tahu diri menyerahkan koper dan 2 tas besar.
"Ganggu orang tidur aja lo, Ca."
Gue mendelik ke arahnya mengingat subuh-subuh gue sudah mengabarinya untuk menjemput gue jam setengah satu siang. Dan dia merasa terganggu menjemput gue jam segini.
"Loh kok lo duduk disana," kata gue heran lihat Anjas pergi ke arah disamping pengemudi dan ternyata terpampang wajah Mas Ibram membuka kaca mobil, "Eh Mas Ibram, kok ikut." sambung gue terkejut.
"Lupa ya lo, gue ngga punya mobil. Ya pinjem mobil Mas Ibram lah sama orangnya suruh nyetir." jawab Anjas yang udah kesel lihat gue. Gue tersenyum seneng pake banget, kapan lagi dijemput Mas Ibram.
Beruntungnya gue.
Setahu gue Mas Ibram ngga punya pacar sih. Tapi kok bisa ya. Gue harus memastikan lagi ke Anjas nih.
"Kamu kok senyum-senyum sendiri, Ca."
"Haa masa sih Mas, nanti Mas yang meratihin aku banget."jawab gue ngga kalah centil.
"Najis mughalladzah gue dengernya," jawab Anjas. Gue cuma cekikian dibelakang.
"Kenapa sih lo," kata gue sewot, "Segitu keselnya lo ditinggal gue sebulan, Jas."
"Giliran gue aja ngomong lo-gue, giliran sama Mas Ibram aja aku-kamu, dasar." dasar curut, protes mulu, dia ngga tau gue lagi usaha ya.
Mas Ibram hanya terkekeh mendengar kekesalahan adiknya yang sensitif. Kebanyakan temenan sama gue, jadi gitu. Sedangkan gue menikmati pemandangan melihat Mas Ibram terkekeh begitu.
Sekarang gue tahu apa yang tertinggal di rumah tadi, kewarasan gue.
Setelah sampai didepan kos-kosan gue, Mas Ibram dan Anjas membantu gue membawa barang-barang menuju kamar gue.
"Makasih Mas, ini oleh-oleh dari Mama Aca." gue menyerahkan bingkisan eh apa ya pokoknya Mama beliin makanan khas Medan, kue, cemilan. Kalau kuenya gue kurang suka.
Mas Ibram menerima dengan senyum tak lepas dari wajahnya, "Kamu mau buat mas gendut nih," gue terkekeh padahal mah Mama gue yang ngasih yak.
"Yauda kita balik ya, Ca. Kalau ada apa-apa bisa hubungi Mas atau Anjas. Ya kan jas." gue melihat ke Arah Anjas yang memandang malas ke arah gue sambil menggumam, "Ngantuk banget dia begadang tadi malam Ca, maafin ya."sambung Mas Ibram.
Aduh Gusti, boleh kasih gue yang kayak gini ngga.
Tapi karena jaim gue hanya mengangguk sambil mengantar mereka berdua ke depan kos gue.
Setelah itu gue mendadah-dadah ke arah mobil Mas Ibram sampai tak terlihat dari pandangan gue.
Me: "Mas ibram punya pacar ngga jas?"
Anjas: "Biar lo ngga terkejut, gue ngga kasih restu kalau sama lo"
Me: "Jahat kamu sama calon kaka Ipar:((("
Chatku hanya di read aja oleh Anjas. Yasudah belom jodoh, mana tau besok kata Tuhan. Sumpah deh gue kayak orang gila sekarang menggilai Mas Ibram. Padahal ini cuma iseng aja sih.
Bingung gue mau ngapain di kos sendiri. Terpaksa dengan berat hati menonton film yang pernah gue tonton.
Bosen ih lama-lama
Ting.
Olla: Bang Ridho mulai besok tugas di Jakarta guys.
Annis: wah wah sepupu jauh tau info begini cepet ya la, salut aku
Olla: Hahaha bisa aja nis
Olla: Rin? Kau baca tapi ngga bales itu gimana sih? Lagi Mikir yaa
Me: Yauda sih biarin wae
Tia: wkwkwk kan udah baikan, samperin dong
Marsya: ga nyangka respon si tia kayak gitu
Tia: jodoh mah Tuhan yang atur
Olla: haha apaan sih ti, ngomongin jodoh orang. Emang jodoh kau udah ketemu
Gue menutup aplikasi chat gue yang isinya ngga jelas banget.
Jadi beneran Bang Ridho kerja di sini. Engga mungkin karena gue, yang bener aja.
Lah kok jadi mikirin.
Ima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Teen FictionShiren, seorang gadis yang hampir menginjak usia 20 tahun, harus menahan sabar setiap teman-temannya meledekinya karena statusnya yang sudah hampir 4 tahun menjomblo. "Kapan ren punya pacar?" Tidak masalah jika teman-temannya yang menanyakan hal itu...