Lemah

22 4 0
                                    

Sudah jam 10 pagi tapi gue masih dikasur. Sehabis sholat shubuh gue langsung melanjutkan tidur, ritual yang sangat nikmat bagi gue.

"Rin, hapemu bunyi terus tuh," suara mama membuat mata gue otomatis terbuka. "Shirin," sekali lagi mama memanggil.

Gue hanya bergumam sambil mencari-cari handphone diransel yang semalam gue bawa dari Jakarta.

30 miscaall from Anjas

"hallo Anjas"

"Gila ya lo, baru nelfon balik sekarang"

"Gue baru bangun sumpah deh jas, lagian kenapa sih"

"Gini deh, ya mana tau pesawat lo jatuh, jadi kan gue tau ca"

"Do'a lo jas, astaga"

Mama tiba-tiba mendekatiku, "Siapa rin," tanya mama.

"Anjas ma, temen Shirin kuliah." Mama hanya membulatkan mulutnya mengatakan 'o'.

"siapa ca? Mama lo? Kirim salam dong"

"Berisik lo jas, udah deh. Gue baik, nanti gue hubungin lagi, oke bye."

Gue keluar dari kamar dan hal pertama yang gue lihat pagi ini adalah di ruang tamu ada Sekar ponakan gue dipangku dengan Bang Ridho.

"Rin, baru bangun," suara itu membuat langkah gue berhenti. Gue hanya tersenyum sambil mengangguk melewati Bang Ridho untuk menuju dapur.

"Dari kapan Bang Ridho kesini ma," tanya gue sambil mencomot timun yang ada dimeja, tapi mama malah melarang gue. "Satu aja ma." mama menggeleng. "Dari kapan ma," kata gue sekali lagi.

"Jam 9 kalau ngga salah," mama masih menata hidangan untuk makan siang, "kamu mau pergi ya sama Bang Ridho."

"Mama ridho anaknya pergi sama Bang Ridho," jawab gue usil membuat mama tertawa.

Berarti waktu mama ke kamar, dia uda dirumah ini. Gila itu orang, nekat beneran.

"Temenin Bang Ridho dulu sana Rin," gue kaget saat mama menyuruh gue nemeni dia, "Daritadi lho dia nungguin kamu Rin," lanjut mama.

Gue bergegas menuju ruang tamu, yang gue lihat sekarang Sekar lagi tidur digendongan Bang Ridho.

"Bang, sini Sekar sama aku biar aku kasih ke kak Reni," gue mengambil Sekar dan akan memberikannya pada Kak Reni.  Wangi parfumnya tercium banget membuat gue terdiam sebentar. "Bang, masih pake parfum yang aku kasih ," setelah gue ngomong gitu, bisa gue lihat mukanya langsung tegang.

Dia mengingat kejadian itu, kejadian yang membuat gue merasa ngga punya harga diri menyukai dia.

Gue bakal cerita sedikit tentang kejadian satu tahun lalu. Satu tahun dimana awal itu membuat hati gue mati. Iya, gue ngga pernah mau merespon apapun jika ada laki-laki yang datang untuk menetap ke hati gue, gue ngga mau, gue ngga bisa.

Semua berawal dari Bang Ridho yang mendekati gue selama tiga tahun. Bener isi quote di social media yang gue baca, munafik jika perempuan punya kedekatan dengan laki-laki tapi dia tidak punya perasaan apa-apa. Terlebih lagi laki-laki itu baik, sopan, dan tampan.

Andai gue bisa mencegah perasaan itu, mungkin gue ngga bakal kuliah sampe harus jauh dari keluarga. Mungkin gue akan menerima jabatan laki-laki asing untuk menjadi orang yang spesial buat gue. Tapi semua itu hanya kemungkinan. Belum , sampai sekarang gue masih belum siap menerima orang-arang asing itu, gue masih Shiren Anastasya yang lemah soal perasaan, masih sampai saat ini juga. 

"Kak," gue kaget tiba-tiba Intan adik gue memanggil gue dari belakang. "Bang Ridho pamit pulang, buru-buru gitu. Kenapa ya kak." Gue mengedikkan bahu, "Kakak kok melamun sambil nangis sih."

Buru-buru mengusap apapun yang ada diwajah gue, gue merasakan basah di pipi. "Kelilipan dek." gue memang jago bohong sekarang. 

Gue nangis tapi ngga sadar, batin gue. 

Astaga, shirin bego.

"Kakak masih sakit hati sama Bang Ridho dan Kak Suci ya." gue lupa kalau gue ngga bisa nutupi apapun ke Intan, adik gue.

Bahkan insiden parfum yang gue kasih ke Bang Ridho tapi dibuang Kak Suci didepan mata gue dia tau kejadian itu.

"Kak, Bang Ridho kayaknya mau damai sama kakak. Mau minta maaf, tapi bingung mulainya darimana, dia itu.." gue mengangkat tangan agar Intan berhenti mengucapkan apapun yang buat gue benci sama hal-hal satu tahun yang lalu.

"Kamu memang tahu semuanya tentang kejadian itu dek, tapi kamu ngga punya hak buat menceritakan ulang ke kakak." gue beranjak dari hadapan Intan, "Nanti kamu ngerti kalau kamu dideketi laki-laki yang kamu suka tapi cuma jadi tempat singgah, dan milih menetap dengan sepupumu sendiri." lanjut gue.

 Perasaan bersalah menyelimuti gue. Seharusnya gue ngga perlu ngomong gitu ke Intan. Gue ngga mau dia ngerasain hal yang sama kayak gue, gue ngga bakal biarin itu terjadi. Cukup gue aja.

Gusti, gue ngga mau jadi orang lemah lagi, ngga mau.

.

.

.

.

Vote ya.

Ima.

Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang