Kali ini gue sedang berkumpul dengan teman-teman gue yang lain. Berisik, heboh, narsis, serta hening mengisi pertemuan kami. Langit sore dan pohon mangga di belakang rumah gue jadi saksi bisu percakapan kami yang kurang begitu waras.
Sengaja gue meminta mereka untuk berkumpul di rumah gue, karna mama paling seneng kalau gue bawa temen-temen gue yang rada aneh ke rumah. 'Rumah jadi rame' itu kata mama.
Gue perkenalin temen-temen gue yang pada cantik ini. Tia, ngga ada yang berubah dari Tia. Gadis ayu yang selalu gue irikan cantiknya. Kalau lagi mandang Tia, kayak lagi ngelihat Dian Sastro.
"Ngga ada gitu temenmu yang bisa dikenalin ke aku, Rin." minusnya si Tia adalah dia sama kayak gue, jomblo.
Annis yang sedang menyeruput jus mangga dari hasil petikan kami tiba-tiba menghentikan kegiatannya, "Aku punya temen kok pada bego ya, cantik-cantik susah dapet punya pacar." gue menggeleng mendengar penuturan teman gue yang paling pedes kalau ngomong. "Punya muka yang cantik, badan bagus, kulit putih, aduh Tia apa perlu kusebutin satu-satu ni kelebihan sama kekurangan kau." sambungnya penuh semangat dan sedikit emosi gue rasa.
Kami tak menanggapi omongan Annis, karena diam memang lebih aman untuk meredam suasana yang tiba-tiba panas.
"Dikenalin sama yang Dokter ditolak, sesama mahasiswa ditolak, apalagi Ti." tanyanya. Gue sempet bingung mendengar penuturan Annis. Sejak kapan Tia deket sama Dokter?
"Cantik itu luka," potong Marsya. "Siapa yang bisa ngatur mata orang lain buat ngga tertarik sama perempuan cantik. Siapa yang bisa meredam nafsu para Laki-laki pas ada yang ngeliat fisik kita. Laki-laki paling demen lihat cewe cantik, Nis. Kita sebagai perempuan ngga bisa ngehandle itu." I love u Marsya, temenku paling Bijak.
Untuk saat ini gue harus membantu Marsya menyegarkan pikiran Annis, "Pemikiranmu sama Tia beda, Nis. Kita semua beda, pasti. Kau mungkin nyaman dengan orang baru, berteman, jalan bareng beberapa kali lalu lanjut jadian. Tapi ngga semua yang Tia pengen ujungnya harus jadi pacarnya." gue menatap Tia yang sedang melihatke arah gue, "Orang yang belum siap jangan dipaksa, nanti lukanya basah lagi." gue sudahi apapun yang keluar dari bibir manis ini.
"Yang Tia tanya ke Shirin bisa jadi cuma basa-basi aja, biar kita punya topik buat diskusi kayak gini," sambung Marsya. "Jangan merasa dipojokkan, Nis, kau itu api disini tapi masih ada kami yang bisa meredakan apimu yang membesar." sontak gue tertawa, dasar sinting. Uda serius malah lari puitis ngalor ngidur.
Jadi teringat kartun Avatar kan gue.
Setelah itu mama datang dengan membawa brownies bakar kesukaan gue. "Seneng deh kesini, disuruh makan mulu sama tante." ucap Annis dengan senyum-senyum anehnya.
Marsya mengucapkan terimakasih ke mama dan disambung dengan teman-teman gue yang lain. Kembali kami membahas hal-hal sangat asik diulang untuk diceritakan. Bersyukur gue punya temen-temen kayak mereka. Tuhan begitu adil, menempatkan orang-orang baik disekitar gue. Alhamdulillah.
"Kemarin aku ketemu Bang Ridho, Rin, dia ternyata di Medan." tutur Olla temenku yang paling suka memancing pembahasan ngga penting kayak gini. "Eh, ngga papa kan bahas Bang Ridho," dia merasa bersalah, tapi tetep dilajutin.
Ngga papa, kan emang ngga ada apa-apa, Shirin.
"Ngapain kau sama Bang Ridho," tanya Annis diikuti anggukan kepala Tia dan Marsya. Gue masih tenang menunggu kelajutan Olla.
Let's hear it
Olla menceritakan kejadian saat dia bertemu dengan Bang Ridho. Bang Ridho pekerjaannya memang di Bandara, dia bekerja sebagai Flight Operation Officer. Setau gue kerja dia sebagai orang yang mempersiapkan dan melaksanakan rencana penerbangan pesawat, selebihnya gue ngga paham biar dia aja yang paham sama pekerjaannya.
"Wajar sih kau ketemu dia, itukan kawasan kerjaan dia," tutur Tia, "Lagian dia juga ngga ada nanya-nanya Shirin kan, berarti kan ngga ada masalah."
"Bentar lagi dia mau ditempatin ke Jakarta," ini masalahnya sekarang. "Segitu pengennya dia mau deket samamu, Rin." Ungkap Olla membuat gue terdiam.
Sebecanda itukah Tuhan sama gue, gue ngga mau denger alasan dia pindah ke Jakarta buat gue. Bisa gila gue, ya Tuhan.
Gue menarik nafas dan memandang Marsya, semoga Marsya bisa mengerti suasana hati gue setelah mendengar ini.
"Rin, aku ngga tahu kedepannya bakal gimana nanti. Tapi lebih baik berdamai sama orang yang mau memperbaiki kesalahannya adalah jalan yang paling bijak." gue masih mencerna ucapan Marsya yang mirip dengan Intan kemarin.
Berdamai.
"Tapi kembali ke kau lagi Rin, kita temen-temenmu bakal selalu kasih saran yang terbaik. Tapi semua tetep kembali sama kau lagi. Kau yang ngerti hatimu kayak mana," tambah Marsya lagi.
Mata gue berpindah menatap Tia, "Jangan terus-terusan pakai logika Rin, logika sama hati harus bisa kau seimbangin kadang-kadang."
Gue merasa tertampar dengan segala masukan-masukan dari mereka. Apakah gue selalu menggunakan logika gue buat Bang Ridho. Masa sih, sejahat itukah gue.
Jangan merasa bersalah Rin, jangan, lo ngga salah.
"Aku memang kurang bisa kasih saran buat masalah ini Rin, tapi kapan pun kau butuh kami buat nyingkirin si Ridho, aku siap terbang dari Aceh buat ke Jakarta demi kau." terdengar berlebihan ditelinga gue pas Annis ngomong begini, tapi gue tetep mengangguk.
Thank you guys, batin gue.
Pandangan gue beralih ke pintu belakang rumah, Intan berjalan ke arah gue. "Kenapa dek."
"Ada Bang Ridho kak di depan, tapi ngga mau masuk," Gue diem selama Intan mengatakan hal itu.
Apakah gue siap bertemu dia lagi.
.
.
.
Ima
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Teen FictionShiren, seorang gadis yang hampir menginjak usia 20 tahun, harus menahan sabar setiap teman-temannya meledekinya karena statusnya yang sudah hampir 4 tahun menjomblo. "Kapan ren punya pacar?" Tidak masalah jika teman-temannya yang menanyakan hal itu...