Chapter 1.1 : Lady Rose

299 33 4
                                    

Lady Rose yang dimaksud Albert itu seperti apa? Perempuan berbaju gotik maniak mawar? Yang benar saja.

Saat kami kembali, Helena menanti di ambang pintu besar rumah Nyonya Christine. Dia masih bersikap formal dan menunjukkan wajah monoton pada kami berdua. Helena membungkuk sopan dan menyapa, “Senang Anda berdua membangun kerja sama yang baik sekarang.”

“Nggak baik juga menelantarkan orang yang sudah jauh-jauh kemari, Helena. Tolong urus kamar tamu untuk Naomi, dia bakal tinggal di sini sampai masalahnya selesai.”

Namun gaya bicara Albert juga tidak ada bagus-bagusnya sekarang. Kemana menghilangnya sosok Albert yang menyemangatiku tadi? Seketika aku kecewa karena melihat sifat Albert yang kembali menjadi orang yang menyebalkan.

Helena pergi dengan sopan, benar-benar layaknya pembantu kebarat-baratan yang terkesan kuno. Sebenarnya seberapa lama keluarga Albert bisa bertahan? Dengan keturunan Belanda, rumah kuno dan pembantu terlewat formal itu, sepertinya keluarga ini memang sudah ada sejak lama. Aku masih memperhatikan kejanggalan Helena Sang Pembantu sampai Albert tiba-tiba menarikku di tengah lamunanku begitu saja.

“Ayo jalan, melamun aja dari tadi,” gumamnya terdengar jelas di telingaku.

Kesan rumah Albert yang benar-benar baru kuperhatikan adalah : kuno berkelas. Banyak chandelier dan lilin masih bertebaran di setiap sudut, lukisan dan vas bunga yang memberikan kesal antik, karpet dengan bermacam-macam motif yang tak pernah terlihat, hingga interior lainnya masih sangat kental dengan rasa barat kunonya.

Itulah yang bisa kukagumi dari rumah ini dengan waktu yang singkat sebelum Albert membawaku ke sebuah ruangan penuh dengan rak buku. Bau khas buku lama menyengat di hidungku, anehnya tidak membuatku merasa tidak nyaman merasakannya. Perasaan yang muncul di ruangan ini justru adalah rasa tenang dan damai, mengingat banyak warna hangat yang dapat terlihat dengan mata di sini.

“Ini … perpustakaan?”

“Kamu udah tahu, jadi duduk aja dan jangan banyak omong.”

Huh, dia semakin lama semakin jadi menyebalkan saja. Aku duduk di kursi dengan melipat tangan, menunggu Albert yang masih sibuk mencari sesuatu di rak buku tak jauh dari tempatku duduk. Entah bagaimana bisa tiba-tiba Albert menjadi sangat serius dalam mengurus hal ini.

Bukannya apa, aku ini masih bingung dengan keadaan yang sulit diterima tahu, aku juga sulit beradaptasi dengan suasana seperti ini tanpa suatu penjelasan. Tiba-tiba ditarik dan diminta duduk padahal tidak tahu apa-apa. Aku mendadak menjadi bodoh karena tidak bisa membantu Albert dengan apapun.

“Mau kubantu, Al?”

“Nggak makasih, sudah ketemu.” Albert turun dari tangga mini yang membawanya naik ke lemari tertinggi dan mengangkat sebuah buku dengan sampul yang apik. Semakin dekat dan akhirnya buku itu diletakkannya di meja, sekarang buku tebal dengan cover kulit yang membungkus objek di depan mata menjadi daya tarik mataku. Jurnal Gaib, judul buku tersebut terukit dengan font indah dan ukiran-ukiran yang menawan, sayangnya apakah isinya sebagus covernya atau tidak aku tidak tahu.

“Apa itu?”

“Catatan ibuku semasa masih hidup,” jawab Albert masih sibuk membalik-balik halaman di buku yang dia pegang. “Semoga Ibu pernah menulis Lady Rose di sini.”

“Sebenarnya siapa Lady Rose itu?”

Gerakannya berhenti saat aku selesai dengan ucapanku. Halaman buku yang terbuka tepat di depannya menunjukan pigmen merah yang bercampur dengan kertas coklat yang kuno. Ketika yang kupikirkan tentang pigmen merah itu adalah unsur dari segala macam horror yaitu darah, justru yang kulihat adalah gambar-gambar bunga mawar merah yang dilukis dengan keindahan sendiri.

Kemudian di sana juga digambarkan seorang wanita dengan gaun pengantin, namun gaun itu berwarna hitam dan tudung pengantinnya pun menutupi semua kepalanya. Tak sedikit di tubuhnya digambari banyak bunga mawar merah dengan duri-durinya, hal itu membuatku bertanya-tanya sendiri.

“Ibumu pintar menggambar … apakah gambar itu benar-benar Lady Rose yang kita cari?”

“Jika ibuku sampai niat menggambarnya seperti ini, itulah wujud Lady Rose yang bisa dia lihat.”

“Lalu apa selanjutnya?”

Sekali lagi manik biru safir Albert tertuju pada buku peninggalan ibunya, jari telunjuknya menyusuri setiap kata yang tertulis rapi nan berseni di sana sementara pertanyaanku kembali tak terjawab. Niat hendak protes pun tertelan, tatkala Albert kembali membuka mulutnya.

“Lady Rose adalah hantu pengantin yang muncul di rumah tua di dekat perbatasan Kota Q. Sebutan Lady Rose tidak hanya karena rumah lamanya yang angker itu dipenuhi dengan mawar merah darah, namun di setiap kemunculannya itu, Lady Rose selalu membawa aroma mawar dan dikelilingi oleh bunga mawar.”

Aku menelan ludah mendengarkan kata-kata Albert yang menjelaskannya di depanku. Mengerikan, kami menghadapi hantu pengantin yang membawa-bawa bunga mawar di manapun dia berada. Kenapa dia tidak menghantui gereja saja seperti kebanyakan hantu lainnya daripada membuat tanda kutukan seperti ini?

Aku mengumpulkan kemantapan terlebih dahulu sebelum bertanya pada Albert. “Selain hal itu? Apakah Lady Rose meninggal di rumahnya sehingga dia menghantui tempat itu atau ada alasan lain? Bukankah dia … er … hantu pengantin?”

“Dikutip dari pendeta terdekat, Lady Rose melaksanakan pernikahannya di halaman rumahnya, yang memiliki kebun bunga mawar yang menawan. Sayangnya ….”

“Sayangnya?” ulangku.

Albert menggeleng tidak puas, sejenak dia menggigit bawah bibirnya dan memijat pelipisnya. “Deskripsi selanjutnya tidak ada, kertasnya disobek. Padahal Ibu selalu menuliskan deskripsi dan alasan kematian setelah bagian tadi.”

Aku melongok untuk ikut melihat isi buku itu. Benar juga, lembar selanjutnya disobek dan tidak menunjukkan adanya petunjuk lain. Jika dipikir-pikir, siapa yang akan menyobek buku ini? Albert tidak akan mungkin, jika pun itu ibu Albert, dia tentu akan menjaga buku yang dia tulis dengan baik, bukan disobek seperti ini.

Aku menghela dan berkacapak pinggang setelah semuanya sekiranya kumengerti. “Jadi mungkin siang ataupun petang ini kita akan ke rumah Lady Rose untuk mencari bagian yang disobek dari Jurnal Gaib itu, benar bukan Al?”

“Seperti  yang sudah kau katakan barusan, itu hal yang bagus, Naomi. “ Albert mengelus dagunya dan mengangguk-angguk seperti seorang ayah yang sedang ada di depan anaknya. “Aku juga ingin tahu alasan Lady Rose memberikan tanda kutukan pada kita, jadi kita perlu bersiap untuk pergi ke rumahnya.”

Rencana telah disiapkan, aku dan Albert siap untuk menjelajahi rumah angker di perbatasan. Sekarang yang menganggu pikiranku hanya tinggal satu saja.

“Ngomong-ngomong, rumahmu itu masuk hutan loh, bagaimana caranya kita pergi ke sana?”

Albert menutup buku ibunya dengan tiba-tiba. Ujung bibir yang merah pucat itu naik, memberikan ekspresi sombong di hadapanku yang tidak mengerti apapun di tengah suasana tenang ini.

“Rumahku boleh kuno, tapi aku tidak seburuk itu untuk mengantarmu ke sana dengan kendaraanku sendiri.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Death CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang