Mayat di Sore Hari 03.0

51 8 0
                                    

Tidak menyangka ini akan terjadi. Keyakinanku sudah melebihi delapan puluh persen setelah menyapanya. Kembaran, saudara kerabat, atau mungkin doppelganger. Mitos mengatakan setiadknya ada tiga orang yang memiliki wajah sama di dunia ini. Tapi tidak mungkin dua diantara mereka sama-sama mati di hutan ini. Terlebih hanya terpaut satu hari.

Mustahil. Menghilangkan apa saja yang terlintas di otakku. Ini adalah hal paling tidak bisa kupercayai di dunia ini. Berdiri di depan sebuah gundukan tanah. Lututku lemas, otakku tidak mampu mencerna apa yang kulihat. Tidak lagi, ini yang keempat, aku terus menghitung. Makam yang kemarin dibuat untuknya hilang. Tidak ada.

Tidak pernah ada. Saat kutanya orang-orang yang dimakamkan kemarin, mereka menjawab tidak ada. Bahkan yang menurunkan jenazah dan menguburkannya bersamaku juga mengaku tidak melakukan itu kemarin. Mereka menyangkal dengan adat desa yang tidak pernah dilanggar siapapun. Tidak ada orang asing yang dimakamkan di tanah desa ini. Tentang apa yang kubawa kemarin, tidak ada yang menganggap hal itu terjadi. Kemarin adalah hari biasa. Benar-benar biasa. Tidak ada yang spesial. Yang aneh adalah yang terjadi hari ini, yaitu aku. Itu yang mereka katakan.

Aku perlu beristirahat. Apa yang kulihat kemarin. Apa yang membuatku tidak bisa tidur semalaman. Apakah itu cuma halusinasi? Atau mungkin mimpi? Jika benar ini mimpi, aku akan menyakiti diriku agar bisa benar-benar bangun. Jika ini benar halusinasi, segelas air akan menghilangkan efeknya. Tapi tidak peduli dengan apa saja yang kulakukan, tidak ada yang terjadi. Saat hari sudah berkata, maka suratan takdir hukumnya mutlak. Aku benci itu.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengawasi mayat hidup itu. Hanya hal ini yang bisa kulakukan untuk menjaga pikiranku bisa waras. Tidak sedikitpun mataku lepas dari kegiatannya sepanjang hari. Rombongan yang bersamanya pergi saat tengah hari. Cuma tersisa satu tenda, dan sepertinya itu miliknya. Dia tidak pergi dengan kawannya. Kenapa?

Masih menajaga jarak, matahari bergeser ke barat. Setelah berbagi ruang dengannya di ruang baca, dia pergi. Entah kemana, lima belas menit sudah cukup lama untuk orang buang air. Aku lalai, aku kehilangan jejaknya. Pikiranku kemana-mana, kakiku menarikku untuk berlari mencarinya. Terakhir kali orang melihatnya di jalan setapak keluar masuk hutan. Jalanan paling umum untuk dilewati, tidak ada yang menghentikannya.

Agar tidak mengurangi mobilitas, aku tidak membawa sepedaku untuk mencarinya. Menerobos pepohonan adalah yang kulakukan saat melihat jejaknya menyimpang dari jalan utama. Semak belukar, tidak tahu apa alasan dia menembusnya. Rumput tinggi yang dibabatnya memberi tahu kemana dia pergi.

Terus mencari, kini matahari sudah hampir terbenam. Ditambah ditutupi awan mendung, penglihatan di sini menjadi sangat minim. Dengan tenang, aku tahu aku tidak akan tersesat. Lumpur yang tergenang berakhir di sebuah pohon. Sepertinya dia habis beristirahat dibawahnya. Saat aku memutarinya juga tidak ada. Tidak ada sambungan jejaknya.

Melihat ke atas. Kemungkinan terbesar yang jadi harapanku. Tidak kutemukan ada orang di atas pohon atau tanda-tanda pohon itu telah dipanjat. Yang ada adalah sebuah tanda, sebuah tetesan air. Hari akan hujan. Angin yang berhembus semakin dingin. Bukan badai, hanya hujan biasa, kuharap.

Aku menyerah untuk mencari orang hilang tersebut. Kembali ke wilayah aman, kembali ke desa. Tidak melewati jalan sebelumnya, aku tahu jalan pintas untuk kembali. Jalan yang sering kulalui. Bau tanah hujan. Tanah yang setiap hari kuinjak. Tidak akan ada rumput yang tumbuh dimana aku menapak.

Hampir kembali ke jalan utama, mataku terbelak. Aku menemukan sesuatu. Sesuatu yang lain, bisa dibilang sesuatu yang baru. Meskipun bisa juga dibilang lama. Kata yang tepat adalah sesuatu yang kukenal. Sebuah jejak. Bukan jejak kaki. Melainkan jejak yang lurus oleh sebuah kendaraan. Jejak sepeda.

Ini aneh. Dari sekian banyak orang di kampung ini, hanya aku yang masih menggunakan sepeda gunung. Lalu yang sering berkeliaran di hutan pada waktu yang seperti ini juga aku seorang. Pencarian orang hilang bisa dilakukan banyak orang pada keadaan darurat. Tapi jejak ini hanya satu. Tidak ada jejak lainya yang mengikuti. Aku berharap tidak ada hal aneh yang akan terjadi lagi, hari ini.

Aku mengikutinya. Ini selaras dengan jalan pulangku. Di waktu seperti ini, saat matahari sudah kehilangan cahayanya. Sepertinya hujan telah terjadi di sisi lain dimana aku tidak berada. Bau tanah hujan. Di sisi lain pohon aku melihat bayangan bergerak, seperti sebelumnya. Itu adalah seseorang. Kali ini aku tahu dengan berlari ke arahnya. Orang itu bergerak sangat lamban dari bagian curam dari hutan. Aku berada di bagian bawah, dia di atas.

Tanpa sadar, tanpa tahu apa yang sedetik barusan terjadi. Orang itu jatuh. Kupacu kakiku dengan cepat. Air hujan membuat permukaan tananhnya menjadi sangat licin. Kalau tidak salah di atas sana banyak batuan yang sudah dimakan rumput. Dengan keadaan seperti itu, sepertinya dia terpeleset. Kaki pada akar tungganng, aku juga terjatuh. Tersangkut ke dalam semak-semak. Aku melihat orang yang tadi jatuh sekarang tersungkur tidak berdaya di tanah. Tepat di depan mataku, sejauh sepuluh meter. Dia adalah orang yang sama. Yang sedang kucari dan kutemukan kemarin.

Mencoba membebaskan diri, dia punya masalah medis yang lebih serius daripada aku. Sangat berisik pada satu kegiatan, aku terhenti. Ada suara. Bunyi decitan. Perlahan tapi pasti, ada orang mendekat. Tidak lama ada seseorang muncul dari persimpangan. Orang itu membawa sepeda. Bisa dimintai bantuan untuk masalah serius. Tampangnya bak orang militer terlatih. Badannya tegap, kulitnya matang sekali. Berpakaian seragam polisi hutan, sama sepertiku.

Aku diam dan membisu. Mulutku kaku. Seharusnya dia adalah rekan yang kumintai bantuan. Tapi bibir ini menolak untuk berteriak. Bahkan tubuh ini serasa berhenti hidup. Berhenti bergerak, berhenti berdetak, berhenti gemetar. Tidak ada orang lain yang lebih kukenal daripada dia. Karena yang kulihat darinya, adalah diriku sendiri.

Mayat di Sore HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang