4 . B i c a r a

362 72 33
                                    

Beberapa hari ini lantai dan sudut-sudut sulit kamar mandi tampak semakin bersih. Padahal biasanya kerak masih melekat dilembabnya tembok. Bukan apa, hanya saja hilang ke mana kebiasaan malas selama tiga tahun tinggal di sini. Itu aneh kalau tiba-tiba mengubah kebiasaan begini.

Tapi sudahlah, toh tak ada ruginya. Terlebih ini adalah momen yang tepat untuk menjelajah. Menemukan tempat yang tepat untuk ...

Ah—

Gawat, dia melihatku.

"GYAAAAAAAHHHHHH!!!!"


"APA? ADA APA OIKAW—" Kau langsung bergegas lari tunggang langgang setelah membawa sebatang sapu, meninggalkan ponselmu di kamar dan menuju ke lokasi teriakan Tooru. Toilet. Dan karena panik tentu saja tanpa pikir panjang kau membuka pintu itu.

Namun yang tampak di matamu sesungguhnya bukan hal yang bagus.

Tooru meringkuk di sudut dengan hanya mengenakan celana dalam dan kaus. Bersama seekor kecoa yang berterbangan di antara rak dan lampu gantung.

"..."

Tanganmu dengan tenang meraih semprotan pengharum ruangan di dekat pintu, masuk ke dalam toilet dan menyemprot hewan cokelat itu dengan bertubi-tubi. Tumbanglah satu ekor kecoa, dengan bantuan dua lembar tisu kau menangkap kecoa itu dan membawanya keluar dari sana.

.

.

= Too much time, losing track of us =

.

.

"Biasanya aku tidak takut kok, tapi kalau tiba-tiba terbang ke arahku begitu tentu saja aku terkejut."

Di atas meja makan dengan menelungkupkan wajahnya ke dalam lipatan tangan Tooru mulai berceloteh, menggelar alasan yang tidak kau perlukan. Walaupun sejujurnya, reaksi tooru sungguh alay.

"Sudah, tenangkan dirimu Oikawa-san." Kau meletakkan segelas air bening dan kotak p3k di depan Tooru dan mengambil kursi terdekat, menemani Tooru.

Tooru mengangkat wajahnya dengan cepat, rupa tampan itu tertekuk-tekuk seperti permen karet bekas. Mungkin dia malu, pikirmu setelah menemukan rona samar di sekitar mata hazel Tooru. Laki-laki itu meneguk habis airnya kemudian menatapmu tajam.

"Tadi kecoanya nyaris hinggap di mukaku loh! Di muka!" serunya cepat.

"Iya iya, aku mengerti kok," sahutmu seadanya. Nyatanya satu spesies serangga itu telah menjadi teror bagi separuh manusia yang menghuni bumi. Baik laki-laki atau perempuan dan bagimu itu lumrah. Kau tidak akan mengakimi Tooru misal dia memang takut kecoa, lalu diam-diam kau merasa kasihan pada Tooru yang begitu berusaha memenangkan kepercayaanmu soal itu.

Kau terkekeh kecil, dan Tooru semakin mempercepat rapalan ocehannya.

"Jangan khawatir, kau bukan satu-satunya laki-laki yang kutemukan tak berdaya sama kecoa," katamu tenang seraya membuka kotak p3k.

"Sudah kubilang aku tidak takut!" Tooru bersikeras. "Lagipula tadi kau melihat celana dal—"

"AH! KAKIMU! SINI KUBALUT KAKIMU!" Kau memotong ucapan Tooru dengan lantang. Bersumpah tidak ingin mendengar Tooru mengucapkan itu. Ketika otakmu secara impulsif memutar kejadian beberapa saat yang lalu, saat kau dengan lancangnya melihat Tooru tanpa celana luaran. Memalukan!

Berlutut di bawah, kau mulai mengambil pergelangan kaki Tooru dengan memar di dekat mata kakinya, pergelangan kaki Tooru kelihatan kokoh, kulitnya kasar namun tidak gosong seperti milik kakakmu. Ukurannya juga sedikit lebih kecil ketimbang punya kakakmu tapi tetap saja ... kaki yang biasa dipakai untuk bergerak dan melawan gravitasi terasa lebih terbiasa dengan rasa sakit semacam ini. Harusnya luka ini tak begitu menyusahkannya.

Tooru tak berkomentar dan hanya menatapmu dari atas.

Agaknya keheningan ini membuatmu tidak nyaman ditambah tatapan mengganggu di atas kepalamu. Kau mengambil cairan pereda nyeri dan menyemprotkannya pada cedera Tooru, menutupnya dengan kasa kemudian mulai membungkus daerah itu dengan perban.

"Masih sakit tidak?" tanyamu mendongak, balas menatap Tooru.

Tooru meringis seraya membuat tanda 'ok' dengan jarinya. "Terimakasih, (Name)-chan."

Kau tersenyum dan mengangguk kecil. "Lagipula, aneh juga melihatmu sampai terkilir gara-gara seekor kecoa. Itu baru satu, kalau lebih? Berjanjilah kau tidak akan melompat ke luar jendela, ya! Aku tidak bisa membantumu, akan kukirim kau ke rumah sakit!" cerocosmu tanpa sadar.

"Tidak akan!" cibir Tooru pelan.

Kau kembali terkekeh pelan. Tampak seperti kau mulai menyesuaikan diri dengan semua situasi. Keberadaan Tooru tak lagi membebanimu setelah yang ia katakan kemarin. Perasaan mengganjal tetaplah ada, namun kau mencoba menampiknya, memparadoks pikiranmu sesuai seperti kau kau katakan.

"Kau tau? Tidak ada salahnya menunjukkan beberapa kelemahan. Takut pada kecoa, takut sama wanita cantik, justru itu membuatmu lebih manusia."

"Aku tidak takut wanita cantik. Aku memburu mereka."

Kau mendengus. "Bukan kau, kakakku. Aku tidak mengerti kenapa phobia yang dimilikinya aneh, pantas aja dia kalem-kalem saja di dekatku." Kau terkekeh garing namun tidak dengan Tooru, ia masih menilikmu dalam diam.

"Menurutku kau cantik kok,"

Hening. Gerakan tanganmu juga terhenti. Dampak dari kalimat Tooru barusan sangat cukup untuk membuat dadamu bergemuruh. "Ha ... haha, tentu saja," katamu pelan, mencoba mengabaikan bencana dalam perutmu, kemudian kau buru-buru menyudahi balutan pada kaki Tooru.

"Selesai!" Kau bangkit setelah memungut barang-barang yang kau gunakan untuk Tooru kemudian mengembalikannya ke dalam kotak p3k. "Kalau ada apa-apa lagi, jangan sungkan untuk memanggilku, Oikawa-san. Aku tidak mau kau melukai kakimu seperti ini lagi hanya gara-gara kecoa."

"Kenapa?"

"Kok kenapa? Kaki dan tanganmu sangat penting kan? Kau adalah pemain voli kebanggan sekolah, dan aku yakin saat bermain voli adalah waktu yang berharga untukmu, tentu saja aku akan membantu sebisaku menjaga hal-hal itu, kan."

Karena kau juga kakakku.

"M-maaf kalau aku terlalu banyak bicara, tapi sejujurnya ... aku benar-benar suka melihat senyuman Oikawa-san ketika bermain voli, kau terlihat sangat puas dan bersenang-senang," tambahmu dengan senyuman lebar di akhir kalimat. Cukup memalukan mengatakan semua ini, namun kau tidak bisa menghentikan dirimu. Terseret suasana mungkin, terlebih perasaan hangat yang meleleh di dadamu rasanya tidak buruk.

"Aku akan mengembalikan ini." Rencanamu untuk berbalik dan mengembalikan kotak medis itu urung lantaran sesuatu mencekal tanganmu. Oikawa Tooru, memandangmu dengan wajah penuh arti yang tentu saja tidak kau pahami. "O-Oikawa-san?"

"Tidak boleh?"

"Ha?"

"Kalau aku menyatakan perasaanku sekali lagi, apa tidak boleh?"

###

Me to Oikawa : I hate you but I love you but I hate you. 💔

 💔

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
7 Days » Haikyu!!Where stories live. Discover now