7 . B a d a i

372 64 6
                                    

=Is it just our bodies? Are we both losing our minds?=

.

.

Keheningan sebelum badai mungkin akan terasa lebih mengerikan dari badai itu sendiri. Sebuah pepatah tua itu tampak tidak akurat untuk menggambarkan kondisi dalam apartemen atas nama Oikawa itu. Sudah lewat dua puluh empat jam sejak kakak laki-lakimu tiba-tiba datang seperti hantu dan memergoki kalian bercumbu di meja makan.

Mungkin 'bercumbu' bukan kata yang tepat, ini tidak seperti Tooru yang menggoda—memaksa— dirimu untuk melakukan hal mesum semacam itu. Hanya sebuah dorongan menggebu-gebu yang kerap menyesaki relung hatimu maupun Tooru, lalu ketika melihatnya kakakmu keliru menafsirkannya.

Badai besar telah berlalu kemarin. Oikawa kena damprat dan wajah tampannya dicoraki beberapa lebam segar di sekitar mata oleh kakakmu. Tentu saja kakakmu langsung emosi ketika melihatnya hampir menciummu. Namun untungnya kau buru-buru menengahi pertengkaran mereka walaupun itu artinya kau dipaksa untuk mengisolasi diri ke dalam kamarmu seharian.

Suasana dalam apartemen ini terlalu sunyi. Janggal.

Menuju pukul sebelas siang, kau memutuskan keluar dari tempat isolasimu. Tak ada siapa-siapa di luar sini. Kakakmu dan Tooru mungkin masih berselisih dalam kamar Tooru—ya, kakakmu memutuskan untuk sekamar dengannya karena ia berasumsi kalau Tooru akan mencoba menemuimu.

"Mereka lama sekali," bisikmu bermonolog.

Kau terlanjur penasaran dan akhirnya memutuskan berjingkat-jingkat menuju kamar Tooru. Menempelkan telinga ke daun pintu dan mencoba curi dengar secuil konversasi dari balik pintu.

Suara kakakmu terdengar menembus pintu. Dan kau membatin; ya ampun orang itu masih marah-marah, apa tidak capek?

"Aku hanya tidak habis pikir! Kenapa kau tega menggoda adikku? Kukira kita sudah sepakat soal ini!" Kakakmu berang.

Kau menegang. Bukankah itu tadi pembicaraan yang intens, sesuatu yang kau cari-cari selama ini.

"Apa yang harus kulakukan lagi ketika dadaku sakit ketika melihatnya? Aku menyukai (Name) dan tak ada yang bisa kulakukan lagi selain terus bersama dengannya." Tooru membalas kakakmu tak kalah tegas dalam intonasinya. Pernyataan yang membuat lututmu melemas. Kau takut akan longsor sekarang.

"Aku tidak bisa mempercayaimu, Oikawa!"

"Kenapa begitu? Karena aku populer?"

Oh astaga—

Terdengar suara Tooru memekik, kau membayangan bahwa kakakmu baru saja memukul kepala Tooru.

"Ya! Karena kau brengsek yang benyak menangiskan gadis di luar sana! Mana bisa aku percayakan (Name) padamu. Kau akan terus menyakitinya."

Kau tertegun. Mencoba mencerna semua luapan emosi yang datang dari berbagai arah. Lalu jeda semakin memanjang, Tooru terlambat membalas perkataan kakakmu.

"Memang benar. Mungkin (Name) adalah orang yang paling menderita karena hubungan kami. Aku tidak memperhatikannya,"

" .... " Kini bahumu terasa melorot, angin dingin baru saja bertiup ke arahmu. Ini jelas firasat buruk.

Suara desah berat tehembus, milik kakakmu. Tampak mereka telah sampai di ujung konversasi. "Kuharap kau tau apa yang kau katakan tadi, Oikawa."

Kau mendengar langkah mendekati pintu. Seseorang akan keluar dari sana, segera kau menyeret diri enyah dari depan kamar Tooru dan kembali ke kamarmu. Napasmu terengah semakin berat tiap tarikannya membuatmu semakin yakin dan yakin bahwa kakakmu mencoba meruntuhkan menara yang bahkan belum kau bangun bersama Tooru. "Tidak mungkin ..."

Tok tok ...

"(Name)? Aku masuk, ya?" Itu suara kakakmu dari luar kamarmu, sedetik kemudian daun pintu terbuka dan membawa tubuh jakung itu masuk.

"Nii-chan, a-ada apa?" Kau memaksa suaramu keluar, mencoba menyamarkan kegetiranmu.

"Katakan padaku, apa yang kau pikirkan tentang Oikawa?"

"N-nii-chan—"

"Jawab aku, (Name)."

Kau semakin kehilangan nyali. Kakakmu menatapmu begitu tajam, tatapan yang sama ketika dulu ia menanyaimu soal mainan miliknya yang kau rusakkan. Dulu, kau tidak mungkin berani mengintip tatapannya itu, namun sekarang ketika kau lebih besar, kau memang berhasil membalas tatapannya namun rasa teror itu masih mendekapmu.

"Aku ...."

"Sudah cukup." Kakakmu kembali malangkah menuju pintu.

"Eh?"

"Kemasi barang-barangmu. Kita akan pergi hari ini."

Detik itu kau tahu. Selama ini kau begitu merisaukan hasratmu pada Tooru hanya karena ego dan harga dirimu seorang. Apa kau terlalu terbang ke angkasa? Hingga tak memperhitungkan beberapa panah yang siap menghancurkan hubungan kalian?

Bukan harga dirimu atau tabiat Tooru, bukan juga fan-fan Tooru yang menjamur di sekolah, tapi kakakmu. Siapa yang mengira hal ini akan terjadi, mungkin Tooru telah memperkirakannya—mengingat ia punya hubungan dan respek yang unik pada kakakmu— tapi tidak untukmu.

Seperti helai dandelion yang tertiup angin musim panas. Meninggalkan rumah dan tersesat di udara. Kisah kalian berakhir begitu saja.

***FIN***

A/N:
YASS!!! Ini adalah chapter terakhir! Terimakasih untuk kalian yang setia mengikuti kisah Kusokawa sama Rea-chan yak 😢💞 aku sayang kalian /ditendang

Tapi ... untuk informasi; karena cerita ini diawali dengan prolog maka akan diakhiri pula sama epilog. Oke satu chapter terakhir >.<

See ya and keep stay tune! -Odil 🌱

See ya and keep stay tune! -Odil 🌱

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
7 Days » Haikyu!!Where stories live. Discover now