5 . R u n t u h

351 77 7
                                    

From : Mii-chan

Subject : -

Kita kalah. Ini pertandingan penting, mereka pasti kecewa sekali.



Sebuah pesan yang kau tunggu-tunggu nyatanya tak membawakan berita bagus seperti yang diwantikan. SMA Aoba Johsai; sebagai sekolah kuat yang selalu menembus babak semifinal pertandingan penyisihan nasional, siapa yang menyangka akan kalah dari sekolah pinggiran yang bahkan kau sendiri tak pernah mendengar namanya.

Kau tidak punya alasan untuk tetap berada di sekolah hingga begitu sore, itulah mengapa kau punya sebuah sebab untuk gelisah di apartemen sekarang.

Sejujurnya, kekalahan Tooru akan merubah segala yang kau ekspektasikan. Ingat percakapan kemarin, ketika untuk yang kedua kalinya Tooru mencoba memenangkan hatimu.

"Lakukan sesukamu." Secara tidak langsung kau memberikan kesempatan untuknya, kau tidak tahan. Kesempatan kedua ini jelas adalah tiket penebusan sesal yang telah kau rasakan selama ini.

Dan Tooru berkata akan melakukannya setelah turnamen volinya.

Retak sudah.

Dia tidak mungkin menepati kalimatnya sendiri setelah kekalahan hari ini.

"Aku pulang." Bersamaan dengan daun pintu yang telah terbuka, Oikawa Tooru muncul dari sisi lain. Suaranya datar, sama sekali tak menunjukan rasa depresi walau kau lihat punggungnya agak membungkuk. Terlihat seperti sesuatu yang berat terjejal di atas pundaknya.

"Selamat datang," sahutmu ragu dari ujung lorong.

Tooru menatapmu jengah, menghentikan niatnya untuk masuk lebih dalam dan berdiri gamang di balik pintu yang telah tertutup. Mengusap belakang lehernya yang terasa dingin.

"Anno ...." Kau mencoba menyambung interaksi.

"Kami kalah."

Hening. Tentu saja kau kehilangan nyali untuk sekedar melontarkan basa-basi setelah Tooru langsung menjatuhkan momok tepat di antara kalian. Kau telah mengetahuinya, baiklah sekarang bagaimana cara berkata? Menghiburnya? Mengisi keheningan ini dengan kalimat yang sahih.

"Ya, aku sudah dengar," katamu pelan. "Pasti berat untukmu, Oikawa-san"

"...."

Kau mulai memainkan jemarimu, melumasi kerongkongan dengan saliva ketika kecanggungan mulai mencekik. "Kau ... kau telah berjuang dengan baik. Jadi---"

"Hentikan saja. Tidak ada gunanya menghiburku sekarang," katanya serak, kau tak bisa menatapnya lantaran pria itu menyembunyikan cermin jiwanya di balik poni sementara ia menunduk. "Kenyataannya, kami kalah."

Membisu, sia-sia bersilah. Hatimu remuk, bukan karena kalimat dingin yang baru saja Tooru lontarkan. Kau bahkan tidak berhak menyalahkan situasi, pria itu lebih tahu rasa sakit yang mengulitinya secara perlahan daripada orang lain. Namun ketidakmampuanmu untuk sekedar membuat Tooru menatapmu, cukup untuk membuatmu frustasi.

"Baiklah, panggil aku jika kau butuh sesuatu." Kau memilih mundur. Apa lagi yang bisa kau lakukan? Memaksakan diri untuk tetap menyandingi Tooru juga bukanlah hal bagus.

Kembali ke kamarmu adalah opsi terbaik untuk saat ini.

.

.

= And I wonder why, wonder what for =

.

7 Days » Haikyu!!Where stories live. Discover now