ALLIANCE

[BAB 3]

Ini akan canggung.
Itulah pikiran pertama Lilac ketika membuka mata dan dirinya berada dalam pelukan penolongnya. Dean jelas bukan penolong yang buruk, meski identitasnya tidak kalah misterius tapi sikapnya cukup ramah. Dean benar-benar membantu Lilac agar sembuh.

Selama ini, secara diam-diam Lilac mencari tahu identitas penolongnya. Tapi sejauh melakukan pengamatan, tidak ada foto-foto keluarga, tidak ada piagam atau pajangan yang bernilai memorial. Barang elektronik di rumah ini cukup lengkap kecuali televisi dan alat komunikasi, Dean mengaku tidak menggunakan ponsel, tidak pula berminat memasang telepon rumah. Yang lebih parah, Dean bilang tidak memiliki keluarga, hanya ada Woofer bersamanya. Saat Lilac berusaha memancing informasi lebih jauh, Dean pasti memasang wajah keberatan dan beranjak pergi.

Menghabiskan satu minggu bersama, satu-satunya hal yang Lilac yakini benar hanya Dean juga peranakan campuran. Tubuhnya tinggi, setidaknya 185cm, bahunya lebar dengan tangan dan kaki yang kuat, dibentuk dari otot-otot hasil rutinitas alami bersama Woofer. Wajah Dean lebih sering menampilkan ekspresi sinis, masam atau curiga tapi saat santai dan tertawa bermain bersama Woofer, wajahnya benar-benar menarik. Wajah pria dewasa yang kadang membuat perhatian Lilac sulit teralihkan. Kedua mata gelapnya, alis tebal, hidung mancung dan bibir yang setiap kali menyeringai, memunculkan raut jahil. Lilac suka berdebat dengan Dean di setiap sesi pengetahuan mereka. Pria itu jelas tidak mengasingkan diri karena aneh atau idiot. Dean bisa dibilang sama cerdasnya dengan Lilac, komentar sarkasnya juga selalu mengena. Selera humornya kadang sedikit vulgar tapi masih dalam batas yang bisa perempuan maklumi. Meski Dean mengakui bahwa Lilac cantik, punya tubuh yang bagus dan pikiran yang cerdas, tapi lelaki itu tidak pernah sekalipun bersikap tidak sopan. Dean lebih sering menjaga jarak dan hanya mendekat saat Lilac membutuhkan bantuan, seringnya untuk berpindah tempat karena sebelah kakinya yang pincang. Keberadaan Dean dalam kondisi memeluk Lilac di tempat tidur saat ini jelas sesuatu yang tidak biasa.

Lilac menarik sebelah alisnya karena tubuhnya direngkuh semakin dekat, pipinya menempel di dada Dean. Kaki lelaki itu juga bergerak membelit pinggang Lilac. Kedua mata Lilac otomatis melebar saat merasakan apa yang tanpa sadar Dean lakukan.

"D ... Dean ...," panggil Lilac merasakan sebelah tangan masuk ke bajunya, meraba punggungnya.

"Ng ...," Dean tidak terdengar cukup sadar.

Lilac langsung mencoba melepaskan diri saat tangan yang semula meraba mulai melepaskan kaitan bra. "Dean ... Dean!" panggil Lilac panik.

Lengan Dean menahannya ketika Lilac memberontak dari belitan kuat itu.

Woofer melompat ke atas tempat tidur dan menyalak, seketika membuat pemiliknya kaget. Memandang sekitarnya dengan bingung, seperti mencari orientasi dan saat menyadari apa yang terjadi langsung bangun. Lilac terdorong sedikit ke samping karena gerakan cepat Dean. Kaus Lilac juga tersingkap hingga ke bagian dada karena Dean menarik tangannya dari situ.

"Apa yang ...," Dean menyipit pada jendela yang memunculkan cahaya matahari. Dean langsung salah tingkah, menyadari tangannya tadi berada di mana, apalagi saat menatap Lilac. Meski telah memalingkan wajah tetap saja rona merah itu tertangkap matanya.

"K ... keluarlah dulu," pinta Lilac.

"Aku tidak bermaksud melakukan apa pun," kata Dean, suaranya gugup sekaligus bingung. "Aku pasti salah paham karena— maksudku, aku tidak sadar."

Lilac mengangguk, masih memalingkan wajahnya. Menyadari bahwa gadis itu masih butuh waktu, Dean melangkah keluar kamar. Woofer yang biasanya tenang berada di dekat Lilac, kali ini memilih membuntuti majikannya.

Sedetik kemudian, Lilac merapikan diri dengan napas yang sedikit sesak. "Dean salah paham? Apa yang telah tanpa sadar kulakukan? Oh, God!" keluh Lilac semakin frustasi.