"Jadi apa jawabanmu?"
Aku menceritakan segalanya kepada Ino dan Hinata. Aku tidak tahan untuk tidak bercerita dengan mereka berdua tentang kejadian kemarin malam dan tentang hal yang membuatku takut."Aku..."
"Sakura, jadilah milikku? Jadilah pacarku? Apa kau mau?"
Ketakutan itu menjadi kenyataan. Aku takut, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menolaknya. Tapi, itu hanya akan membuatku terlihat sangat jahat. Cih apa yang kupikirkan, aku memang jahat. Haruskah aku menerimanya? Hal itu juga nantinya akan membuat dia tersakiti karena kami menjalin hubungan dimana aku tidak mencintainya seperti dia mencintai diriku."Aku..."
"Aku tahu mungkin ini terdengar terburu-buru, jadi pikirkanlah dulu."
Gaara-senpai kembali berbicara untuk meyakinkan diriku. Tetapi, aku tidak ingin semua ini menjadi larut jadi saat aku dan Gaara-senpai keluar dari tempat photo box aku sudah memutuskan pilihan yang aku ambil. Walaupun pasti ini akan menyakiti perasaannya aku akan mengatakannya karena aku tidak ingin semakin membuatnya terluka dan aku tidak ingin selalu menjadi orang jahat dengan memanfaatkannya."Aku ambil dua kau sisanya bagaimana setuju?"
Ia mengambil foto kami tadi, foto itu ada enam lembar dia bilang akan mengambil dua dari enam foto, lalu sisanya untuk aku yang artinya empat foto dari enam foto itu akan menjadi milikku. Aku melihat Gaara-senpai tersenyum saat melihat foto kami berdua. Tuhan sanggupkah aku melihat kesedihan dimatanya saat aku mengatakan jawabanku nanti. Sekali lagi aku merasa seperti seseorang yang sangat jahat. Setelah membagi foto, kami segera melanjutkan perjalanan berniat untuk pulang. Gaara-senpai kembali menggenggam tanganku."Gaara-senpai."
Dia menoleh kebelakang dan berhenti berjalan lalu melepaskan genggaman tangannya dengan tanganku. Dia melihatku dengan pandangan bertanya. Tanganku yang telah terlepas dari genggaman . Gaara-senpai. saling bertaut dan saling meremas untuk melampiaskan rasa gugup dan takutku yang saat ini telah membuncah, bagai gunung merapi yang siap meledak."Maaf soal pertanyaan Gaara-senpai tadi. Aku..."
Lidahku kelu tidak bisa berkata apa-apa. Aku harus mengatakannya agar Gaara-senpai tidak tersakiti, ya aku harus. Jadi, aku menutup mataku dan menambah remasan kedua tanganku yang saling bertaut. Ini utang terbaik."Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjadi milikmu. Aku tidak bisa menjadi pacarmu. Maaf."
Mataku tetap terpejam menanti jawabannya. Apakah dia marah? Mungkin sebentar lagi dia akan memukulku. Kenapa sangat hening? Apakah aku ditinggal sendirian disini? Namun, aku merasakan telapak tangan seseorang menyentuh kepalaku. Segera aku membuka mataku, dan melihat Gaara-senpai sedang tersenyum kepadaku. Aku tahu itu bukanlah senyum bahagia. Itu lebih ke arah senyuman sakit, kecewa dan sedih. Tapi, tidak ada kemarahan didalam senyuman itu, bahkan pada saat-saat seperti inipun dia tetap tidak marah kepadaku."Aku tahu. Kau akan menjawab seperti itu."
Tangannya dengan perlahan turun dari kepalaku lalu masuk kedalam saku celananya."Tapi, kau harus tahu bahwa aku akan selalu berada disisimu sekalipun nanti kau dan aku akan memiliki pasangan masing-masing. Walaupun nanti kau menjadikan aku hanya sebagai pelarianmu, walaupun nanti aku akan menjadi tempat berkeluh kesahmu tentang laki-laki yang kau cintai, walaupun nanti pundakkulah yang akan kau gunakan ketika menangisi laki-laki yang kau cintai, walaupun pada akhirnya kau tidak bisa menjadi milikku, dan walaupun nantinya aku akan sakit dan kecewa. Itu tidak masalah, lagipula aku bisa apa karena laki-laki yang kau cintai itu bukan aku. Aku tidak mungkin memaksamu untuk mencintaiku. Jadi aku hanya bisa membuat diriku berguna dengan berada disampingmu."
Air mataku tumpah mendengar kata-katanya. Betapa jahatnya diriku ini. Hiks Tuhan hukumlah aku karena menyakiti laki-laki sebaik dirinya. Hiks aku sungguh tidak berguna dan tidak tahu diri. Gaara-senpai segera menarikku ketempat yang lebih sepi. Dan ditempat itu tangisanku semakin bertambah kencang.
"Maaf, hiks maaf. Aku memang perempuan tidak tahu diri."
Dia memelukku dengan erat sesaat setelah aku mengatakan hal itu."Jangan berkata seperti itu. Ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Ini juga salahku. Aku secara jelas mengetahui bahwa hatimu telah dimiliki orang lain tetapi aku masih mencoba untuk memilikimu."
Aku meremas kemeja hitam yang dipakainya dan air mata itu kembali bebas meluncur dari mataku. Membuat kemeja yang dipakai Gaara-senpai basah. Kemudian, dia melepaskan pelukannya dengan perlahan lalu menghapus air mataku yang masih tetap turun tiada hentinya."Sudah, sudah jangan menangis lagi aku tidak mau kau nanti mengingatku sebagai seorang lelaki yang membuatmu menangis."
"Hiks, tentu saja tidak. Aku akan mengingatmu sebagai lelaki yang akan selalu berada disampingku dan mencintaiku."
"Ya ingatlah itu seumur hidupmu. Ingatlah bahwa aku akan tetap mencintamu dan akan selalu berada disampingmu. Sekarang hapus air matamu lalu kita pulang, ini sudah hampir larut malam."
Aku kembali melihat kedalam matanya. Bisa kurasakan bagaimana sedihnya dia saat ini. Dan aku juga bisa merasakan bagaimana dalamnya luka yang kubuat."Hm ayo kita pulang."
Aku mencoba tersenyum. Tapi, senyum itu luntur saat Gaara-senpai ingin menggenggam kembali tanganku. Namun, diurungkannya lalu dia hanya mengacak rambutku setelah itu berjalan menjauh. Aku tahu saat ini dia pasti sangat kecewa dengan diriku, dan yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengerti dan berjalan mengikuti langkahnya dari belakang."Kau bodoh. Sangat bodoh"
Hinata mengatakan hal itu sambil melirik sinis kepadaku."Aku tahu."
"Kau tahu lalu kenapa kau menyakiti Gaara-senpai. Kenapa kau tidak menjadi pacarnya saja, lalu kau juga akan mencintainya."
"Itu tidak semudah yang kau pikirkan Hinata."
"Itu mudah kalau saja kau bisa membuka pikiranmu dengan lebih luas dan berhenti memikirkan Sasuke-senpai yang bahkan tidak pernah melirikmu!"
Aku tertohok mendengar Hinata mengucapkan hal itu. Hinata benar seharusnya aku berhenti memikirkan Sasuke-senpai."Aku tidak mencintainya!"
"Kau belum mencintainya, bukan tidak mencintainya Sakura!"
BRAK
"Bisa hentikan, jangan bertengkar okay. Kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin."
Ino segera menghentikan aku dan Hinata yang hampir bertengkar hebat."Kau saja yang masukkan kepalamu ke dalam kulkas biar dingin karena aku tidak akan pernah bisa berbicara dengan kepala dingin jika berbicara dengan Hinata."
Aku melihat Hinata mendengus mendengar aku berkata seperti itu. Dengan kasar aku berdiri dari kursi yang aku dudukki. Aku ingin keluar untuk menjernihkan kepalaku yang terasa ingin pecah sekarang. Namun, sebelum aku keluar aku mendengar Hinata berucap dengan sangat sinis."Kenapa kau mengejar seorang lelaki yang selalu membuatmu menangis. Dibandingkan dengan lelaki yang bisa selalu membuatmu bahagia?"
Aku tertegun mendengar penuturannya itu. Lalu dengan sangat lirih aku menjawab."Karena aku mencintai lelaki itu."
Aku segera berlari menuju toilet siswa dan menangis didalam toilet itu bersama dengan keheningan.