Adam termenung di ruang tamu dengan tatapan kosong. Dia sama sekali tak menyadari kalau sejak tadi Dinda mengamati.
"Memikirkan dia lagi?" Dinda berkata sinis dengan tatapan tidak suka. "Mau sampai kapan kau memikirkan perempuan jalang itu?" Melihat Adam tak meresponnya, Dinda mulai naik pitam. "Seharusnya yang kau pikirkan adalah aku dan calon anak kita! Bukan wanita murahan itu!"
"DIAM!"
Dahi laki-laki itu berkedut. Rahangnya mengeras. Tangannya pun terkepal. Dadanya bergemuruh saat mendengar cacian demi cacian dilontarkan Dinda untuk Nisa. Untuk sesaat Dinda menanti laki-laki di hadapannya ini untuk bicaa. Akan tetapi tak satu patah kata pun keluar dari bibir laki-laki itu. Satu-satunya hal yang dia lakukan adalah beranjak dari sofa dan berjalan keluar rumah. Dinda mengikutinya dengan perasaan kesal. Sesaat tadi Adam sempat melihat cemas ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 19.30.
"Halo, perusahaan JK Air land?"
"Ya, JK air land. Ada yang bisa kami bantu Tuan?"
"Tolong batalkan semua pesawat yang malam ini akan terbang ke Amerika."
"A-apa?!" Terdengar jelas kalau sang penerima telepon di sebrang sana sangat terkejut setelah mendengar permintaan gila Adam barusan.
Dinda yang mendengar hal tersebut juga ikut kaget.
"Apa perlu kuulangi? Batalkan pesawat yang akan terbang ke Amerika malam ini," balas Adam mengulangi kalimatnya lagi dengan bosan.
"Ma-maaf sekali, tapi kami tidak bisa melakukannya. Semua tiket yang dipesan sudah dibayar tunai dan kami tak ingin mengalami kerugian ataupun kehilangan keper-"
"Aku akan membayar semua kerugian tersebut sekaligus bonus," potong Adam dengan cepat.
"A-apa!?"
"Apa kau tuli? Aku akan mengganti semua kerugiannya. Tinggal kirim orang dari perusahaan kalian untuk datang ke perusahaan ku."
"A-ah, jadi anda ? Ba-baiklah saya mengerti. Akan saya lakukan." Tampaknya orang di sebrang mulai mengerti dengan siapa ia bicara.
'Maaf kalau aku terpaksa melakukan semua ini.'
Adam menggenggam erat ponsel miliknya sambil mendesah pelan. Jujur, sebenarnya ia kurang menyukai cara picik dengan menggunakan kekuasaan serta kekayaan keluarganya yang sudah tersohor. Tapi dia tak punya pilhan. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan wanitanya pergi.
"Apa-apaan kau ini!" Dinda berterak kesal. Ia menyambar ponsel yang masih dipegang Adam dengan gemas. "Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan, hah!?"
"Itu bukan urusanmu!" Balas Adam dengan ketus. Ia kembali mengambil paksa ponsel miliknya dan berjalan ke dalam rumah.
"Bukan urusanku katamu? Bukan urusanku!? Tapi aku adalah istrimu!" Dinda berjalan mendahului Adam dan berdiri di hadapannya sambil menegaskan statusnya.
"Hahaha..., istriku?" Adam terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dengarkan aku baik-baik, Kita akan berpisah_ aku sudah tidak mencitaimu, sejak awal kaulah yang memberi peluang untuku bermain api"
"Hentikan Adam!"
Aksa tiba-tiba menengahi pertengkaran sengit di antara Adam dan Dinda, mencegah Adam agar tidak bicara banyak dan menyakiti adiknya.
"Apa lebihnya jalang itu...?" Tanya Dinda. Sepasang manik itu memicing. Menatap dengan rasa penasaran.
"Dia_sangat bernilai untuk ku, dia memiliki sesuatu yang bahkan tidak kau miliki" Adam berbicara dengan sengit, "Dia mencintai ku dengan tulus, bahkan dia menangung banyak luka, hanya karena bersamaku. Bahkan ketika aku masih mencintai mu, dia tetap bersama ku. __Kau tahu sekarang apa yang terjadi dengan kami, kami kehilangan bayi kami!"