6

87 18 0
                                    

Sebulan sudah Farhan menghilang, sementara Kak Rayyan semakin sering menanyakan beragam aktivitas dan mengingatkan banya hal melalui chat-chat­ singkat setelah ku meminta tambahan waktu untuk menjawab lamarannya waktu itu. Seiring berjalannya waktu dan keadaan yang berimbang dengan itu, membuatku semakin mantap melangkah ke arah selanjutnya melalui jalan yang telah dihamparkan Kak Rayyan di hadapanku.

"Tapi Kak... kenapa mendadak?" tanyaku suatu hari mengenai kehadirannya yang tiba-tiba dan dengan pernyataan yang tiba-tiba pula. Ia hanya menjawabnya dengan senyum kecil, "Suatu hari kamu akan tau Nia" jawabnya singkat yang kemudian menambah rasa penasaranku.

Terkadang sesekali aku merenungi hal-hal yang terjadi dalam waktu dekat ini. Entah bagaimana, banyak sekali hal-hal besar yang datang tiba-tiba dan menuntut untuk dilakukan dengan cepat.

Di sisi lain, diri seakan hanya ingin menyibukkan diri dengan hal-hal penting saja. Bahkan, dalam 3 hari terakhir ini aku telah menyelesaikan beberapa tugas kuliah yang mestinya masih dikumpul minggu depan, menyelesaikan beberapa sisa terjemahan yang datelinenya masih seminggu lagi, menyusun sekaligus memisahkan dokumen-dokumen dan berkas-berkas penting, dan mencoba menulis beberapa artikel lagi walau belum sempat di post ke blog seperti dulu.

Langit tampak memerah ketika aku tiba di Midan Hussein 3 jam kemudian dari janji seharusnya. Aku melangkah terburu mencari keberadaan Kak Rayyan. Dari kejauhan, tampak jelas sosoknya yang membelakangi tempatku berdiri. Sebentar, aku terdiam seraya mengambil napas panjang. Pikiranku kembali ke 3 jam yang lalu, sesaat sebelum menyetop taksi, sesuatu yang tak pernah kuduga terjadi. Hpku bergetar beberapa kali, dan terpampang nama Kak Rayyan di sana.

"Nia" belum sempat aku menekan tombol terima, seseorang yang baru saja turun dari taksi memanggilku kemudian berjalan mendekat menghampiri. "Kamu punya waktu Nia?" tanyanya kemudian.

"Leeh?"

"Tolong koreksi artikelku sebentar" ucapnya dengan mata penuh permohonan. Bak disihir oleh pesona matanya, aku mengangguk mengiyakan.

"Fein?" tanyaku kemudian. "Di café depan ini saja" tunjuknya dengan isyarat matanya. Aku mengangguk dan mengikuti saja langkah kakinya yang mengajakku ke café itu. Café yang penuh kenangan di dalamnya. Yah bagaimana tidak, hampir di setiap merayakan suasana hati aku selalu ke sini, baik sendiri maupun bersama sahabat-sahabatku.

Diozora Elliko. Nama yang aneh menurutku. Pemuda keturunan Indo-Afrika yang merupakan salah satu mahasiswa Al-Azhar semester akhir asal Indonesia. Pembawaannya yang lembut dan bijaksana ini berkebalikan sekali dengan perwakannya yang tinggi, hitam dan berotot –benar-benar menuruni gen sang ayah-. Entah sejak kapan ia terbiasa memintaku mengoreksi karya-karya tulisnya sebelum diposkannya ke blog, padahal ia adalah salah satu sainganku sebagai masisir yang rajin menulis blog.

"Kalau saran aku, di paragraf pertama ini kamu kurang kuat penggambaran kondisinya jadi coba tambahkan 1 kalimat lagi yang bisa menguatkan itu. Terus di akhir paragraf ketiga ini sebaiknya kamu tambahkan contohnya. Itu saran aku sih, supaya lebih menarik" ucapku sambil menenggak beberapa teguk es susu. Ia mengangguk-angguk memahami. Begini selalu setiap ia meminta saran, di waktu, tempat dan minuman yang sama setiap bulannya. Dan bisa jadi, sebenarnya ia adalah salah satu kenangan itu.

"Selesai S1 ini kamu pulang atau lanjut di sini?" tanyanya di sela-sela diskusi mengenai artikelnya yang baru diperbaharuinya lagi menurut saranku tadi.

"Engg.. mungkin mau nik..." belum selesai aku menjawab pertanyaannya, mendadak aku mengingat sesuatu. "OMG Dioz! Aku punya janji! Tagihannya biar aku yang bayar kali ini! Maaf aku pergi" ucapku cepat, kemudian berlari pergi sebelum sempat ia menjawab. Jam menunjukkan pukul 05.50 siang. Artinya aku molor 2 jam 50 menit dari waktu yang sudah kusepakati dengan Kak Rayyan untuk bertemu. Sialnya, aku lupa kalau di tanggal dan jam ini aku biasanya selalu punya janji temu dengan Dioz seperti halnya tadi.

Aku menyetop taksi yang berjalan ke arahku, dan memintanya mengantarku ke Middan Hussein yang paling cepat memakan waktu 5-6 menit dari tempat ini. Pikiranku berkecamuk. Hp yang kupegang dan ku coba menghubungi Kak Rayyan tak juga berani ku tekan tombol call. terlalu takut dengan respon apa yang akan diberikannya.

"Maaf Kak" ujarku pelan ketika mendapatinya tengah duduk di bangku panjang itu. Hebatnya, ia masih bisa tersenyum ketika melihatku menghampirinya.

"Duduklah dulu, kamu pasti lelah kan?" tanyanya lembut. Aku menatapnya tak percaya. "Minumlah dulu" lanjutnya seraya menyodorkan sebotol teh kepadaku. Sikapnya yang seperti ini sungguhan membuatku semakin merasa bersalah.

Aku duduk di sebelahnya dengan jarak kurang lebih 5 cm dai tempatnya duduk dan beberapa kali menenggak teh yang diberikannya tadi. Kecemasan ini benar-benar membuatku kehilangan separuh energiku dan sedikit membuatku sempoyongan ketika tadi baru saja turun dari taksi.

"Kak maaf, tadi aku..." ucapanku dihentikannya dengan isyarat jari telunjuknya beberapa centi di depan bibirku.

"Sudahlah, kau sudah shalat?" tanyanya kemudian. Aku menepuk keningku sekali, "Ya Allah, aku lupa Kak!" ucapku spontan.

"Pergilah ke toko itu, dan menumpang shalat di sana. Yang menunggu toko itu ibu-ibu tua yang Inshaallah baik hati" jelasnya. Aku mengangguk, "Syukron Kak!" ujarku terburu dan melangkah cepat ke toko yang ditunjuknya tadi.

***

Aku menyelesaikan shalat dan kembali lagi ke hadapan Kak Rayyan 10 menit kemudian. Seperti tadi, ia kembali mempersilahkan duduk di sebelahnya, karena satu-satunya tempat duduk yang ada di dekatnya.

"Seringkah kamu lupa shalat seperti ini?" tanyanya memulai obrolan. Aku hanya menjawabnya dengan cengiran. "Kalau gini, besok-besok saya telpon kamu setiap waktu shalat! Mau?" tawarnya tegas dengan ekspresi marah dibuat-buat. Aku menggeleng kuat-kuat, dengan sekuat tenaga menahan senyum. Siapa sih yang nggak mau diperhatikan sedemikian rupa dengan orang yang dicintainya? tapi masalahnya, itu terlalu berlebihan hei!

"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanyanya kemudian. Aku menyunggingkan senyum tertahan. "Ah, bagaimana menyampaikannya?" batinku.

"Saya harap kamu bukan mau menolak saya hari ini. Soalnya saya sudah mengorbankan waktu 3 jam untuk menunggumu datang dengan telpon diabaikan, dan mendiamkan saya ketika kamu sudah ada di depan saya" sindirnya. Aku menggembungkan mulut menahan tawa mendengarnya.

"Nah terus, aku mesti jawab apa?" aku melipat kedua tanganku ke dada, mencoba bergaya menantang.

"Hmmm" gumamnya berpura-pura berpikir dengan tangan kanan yang menumpu kepalanya dan pandangan matanya tertuju padaku. Salah tingkah aku dibuatnya.

"Jadi kapan Kakak mau ke rumah?" ucapku kemudian. Mendengarnya, ia tersenyum indah sekali. Mungkin senyum terindah yang dimilikinya.

"Secepatnya Nia! Tapi saya tergantung di kamunya lagi. Kapan kamu bisa pulang? Nentuin tanggal, dan..." ucapannya dengan cepat kupotong, "Loh kak? Kan belum bilang ke ayah dan ibu? Siapa tau mereka..."

kini gantian ia yang memotong ucapanku, "Eh maaf, aku lupa kalau kamu belum tau" cengirnya. "Loh kok aku yang belum tau kak?" tanyaku heran.

"Pokoknya, suatu hari nanti kamu akan tau semuanya tanpa terkecuali" lagi-lagi aku mengerutkan kening pertanda kesal. Semuanya berasa rahasia.

"Intinya, kapan kamu pulang Nia?"

"Aku ngikut kakak saja. Tak masalah jika menurut kakak lebih cepat lebih baik. Tapi kalau kakak ingin aku menyelesaikan S1 dulu, berarti tahun depan" cengirku. Ia mengangguk-angguk tanda paham. "Lagipula aku sudah menyiapkan uang untuk tiket pulang dalam waktu dekat ini" lanjutku.

"Baik kalau begitu, sebelum bulan depan kita sudah kembali ke Indonesia. Siapkanlah dokumen-dokumen penting untuk mengurus perizinan" ucapnya tegas. Entah kenapa, aku terharu mendengarnya, "Ibu... anakmu sudah besar bu" gumamku pelan.

"Mari pulang. Hari sudah semakin sore, dan kamu terlihat lelah" ajaknya, dan aku mengikuti langkahnya pelan-pelan sebelum kembali sempoyongan.

Ket: Leeh: Kenapa

     

Dear Sang Pemilik Hati -Sebuah Catatan Tentang Arti Merindukanmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang