16

62 14 2
                                    


"Nia... say...bangun yuk? Setengah jam lagi subuh, biasanya kau tahajjud kan?" seseorang mengelus lembut puncak kepalaku, menyentakkanku sedikit sebelum tersadar. Menatapnya sebentar, kemudian mengangguk mengiyakan ketika tersadar bahwa ini adalah pagi pertama dibangunkan oleh suami tercinta.

"Mas sudah shalat?" tanyaku seraya berjalan perlahan ke kamar mandi. "Belum, soalnya katamu mau jamaah?" tanyanya balik. Aku tersenyum kecil mendengarnya kemudian gegas mengambil air wudhu yang disusul Kak Rayyan setelahnya.

"Pagi ini dua rakaat saja ya?" ucapnya sebelum memulai shalat. Aku mengangguk saja mengiyakan apa yang ia katakan, maklumlah masih setegah sadar.

'Eh, sebentar! Dua rakaat? Memangnya mau berapa rakaat biasanya brooo...???' mendadak batinku melutup menyadarinya kemudian sadar bahwa Kak Rayyan telah membaca al-Fatihah. Kemudian ia membaca sepuluh ayat pertama surat ali-Imran di rakaat pertama dan sepuluh ayat ketiga di surat an-Nisa'. Sementara aku mendengarkan seluruhnya dengan seksama, tentu jauh lebih hikmat dibanding shalat sunnah malam tadi yang telah dibebani lelah karena acara siangnya.

"Apa yang biasa kamu lakukan seraya menunggu subuh?" tanyanya setelah kami menyelesaikan shalat dua rakaat tadi. Aku mengerutkan kening, berpikir sebentar sebelum menjawab, "Kalau nggak tilawah ya paling baca-baca bahan untuk kuliah paginya" Kak Rayyan hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya, "Hari ini rencana silaturrahim ke mana?" tanyanya lagi.

"Ke pondok mungkin?" jawabku ragu-ragu. "Hmm, atau bareng bunda aja ya?" timbangnya mendengar jawabanku.

"Bunda dan ayah pulang hari ini?" tanyaku sedikit terkejut, ia mengangguk "Ayah nggak ngambil cuti soalnya" jawabnya yang bersamaan dengan alunan azan yang mendadak memecah kesunyian.

"Saya ke masjid ya?" pamitnya, aku mengangguk setelah memaksanya senyum lebar sebelum pergi. "Jadi Mas, peraturan terbaru adalah kamu harus senyum selebar mungkin sebelum pamit pergi" ucapku serambi memutar arah dudukku mengikuti pergerakan langkah kakinya yang sudah berada di depan pintu saat ini. Ia mengerutkan keningnya sedikit dan memonyongkan bibirnya sebelum kemudian mengangguk "Ada yang lebih berat dari itu? Selagi saya mampu akan saya lakukan!" ucapnya kemudian yang membuatku tergelak.

"Ah, sudahlah! Pergilah Mas! Nanti shaf depannya terisi penuh" Ia mengangguk kemudian melambaikan tangan, "Tunggu saya ya?" ucapnya sebelum benar-benar menutup pintu. Aku tersenyum, bahagia sekali.

Segera setelah kalimat "Laa Ilaaha Illallah...", ku lafazkan takbir tanda memulai shalat. Shalat subuh pertama entah setelah berapa tidak shalat dengan rasa penuh syukur seperti ini. Melantunkan ayat demi ayat dengan perlahan hingga diakhiri salam dan doa. Kemudian dilanjutkan dengan murajaah beberapa surat di juz 29.

"Itu huruf Lam atau Wau?" tiba-tiba Kak Rayyan telah duduk di hadapanku dengan komentarnya. Aku mengecek bacaanku ke al-Qur'an yang ada di tangan, "Bener loh kak, huruf Lam" bantahku. Ia tersenyum jahil ke arahku, "Tapi tadi ragukan waktu disangah sedikit?" ujarnya, "Kok aku nggak sadar kamu masuk sih Mas?" tanyaku ketika menyadari kehadirannya yang tiba-tiba ini.

"Sini disimakkan supaya nggak ragu lagi" lanjutnya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya seraya mengambil qur'an di tanganku.

"Loh kok maksa?" protesku, ia tergelak mendengarnya kemudian memaksaku untuk lanjut membaca lanjutan ayat dari surah al-Insaan yang tadi ku baca, sehingga mau tak mau aku menuruti juga kehendaknya.

"Mas, ini udah setengah enam! Aku bantu ibu dulu" ujarku tergesa setelah menyadari waktu yang semakin beranjak siang. Bukannya mempercepat langkahku, ia malah menarik tanganku hingga kembali terduduk di hadapannya. "Pesan ibu sepulang shalat tadi kamu pagi ini di kamar aja. Sisa yang kemarin masih banyak jadi tinggal dihangatkan. Lagipula kamu terlalu capek kemarin kata ibu" ucapnya kemudian.

"Beneran Mas?" tanyaku memastikan, "Kamu meragukan saya?" godanya. Aku menggeleng, "Kalau aku meragukanmu Mas, tak mungkin ku terima lamaranmu saat itu" jawabku cepat, tak ingin ada kesalahpahaman sedikitpun. Lagi-lagi ia tergelak.

"Ah, aku menginginkanmu pagi ini" pintanya. Aku memutar bola mata berpura-pura berpikir, "Apapun untukmu Mas" 

Dear Sang Pemilik Hati -Sebuah Catatan Tentang Arti Merindukanmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang