15

70 17 2
                                    

"Mas, Isyanya di kamar aja ya? Jadi imam aku malem ini" pujukku pada Kak Rayyan yang baru saja meyelesaikan wudunya. Kami baru saja tiba di kamar setelah keluar mejelang maghrib tadi. Ia tersenyum lebar sekali, "Shalat sunnahnya aja ya? Saya Isya dulu ke masjid sebentar saja" jawabnya lembut. "Sesekali boleh lah Mas..." pujukku masih gigih dengan permintaan semula.

"Kamu mau punya saya selamanya atau cuma di dunia ini saja?" pertanyaannya sontak membuatku terdiam "Hmmh, ya udah pergilah" jawabku sedikit ketus. Ia meredahkan tubuhya hingga wajah kami saling berhadapan, "Jangan marah ya? Tolong tunggu saya" bisiknya lirih dengan tatapan memohon, 'Oh baiklah aku mengalah' batinku yang hanya ku sampaikan melalui anggukan cepat. Ia pergi setelah memberikan senyum terbaiknya, sedikit membuatku merasa terhibur.

Menit demi menit berlalu ketika akhirnya aku menyelesaikan shalatku dan mengakhirinya dengan do'a amat panjang: do'a yang sama dengan doa yang ku setorkan waktu ujian praktek akidah akhlak sewaktu MA bertahun-tahun silam, kemudian bergegas membersihkan kamar sekaligus menyusun pakaian Mas Rayyan yang masih di koper ke lemari, padahal waktu keberangkatan untuk kembali ke Cairo kurang dari seminggu lagi.

Entah kenapa pula, di sela keletihan yang luar biasa dan kebahagian yang tak dapat digambarkan jika hanya lewat mata dan telinga, perasaanpun tak kalah ingin memperkenalkan diri pada suasana yang serba baru dan belum terkendali ini. Semenit senang luar biasa, semenit sensitif, semenit bingung dan untungnya semenitnya lagi tidak gila. Ah baiklah, sudah cukup segini saja beres-beresnya sebelum akhirnya ku sadari bahwa Mas Rayyan tak kunjung pulang.

Aku keluar kamar dengan mengendap-endap dan masker penutup debu yang masih terpasang. Kesibukan memang mulai berkurang seiring dengan tetangga-tetangga yang tadi kembali datang setelah maghrib guna membantu membereskan sisa acara. Memang sangat singkat acara yang digelar mengingat kondisiku yang tak dapat terlalu lelah dan juga situasi yang mengharuskan kami kembali ke Cairo dalam waktu dekat. Mengingat ini adalah acaraku, akhirnya mau tak mau aku ikut membantu ibu menyalami tamu-tamu yang berpamitan sambil sesekali membantu Kak Neti membungkus gulai. Hingga akhirnya rumah benar-benar menyisakanku, ibu, bunda dan Kak Neti. Sedang Bang Ronal dan Kak Tika malam ini izin menginap di rumah ibunya Kak Tika.

"Kamu sehat-sehat saja kan Nia?" tanya ibu ketika menyadari wajahku yang masih tertutup masker. Aku mengangguk yakin. "Apakah aku terlihat seperti orang sakit bu?" tanyaku kemudian. Ibu memegang pundakku, "Kamu baik-baik dengan Rayyan ya?" ucapnya. Aku mengangguk pelan mendengar permintaannya, kemudian pamit ke kamar mandi sebelum air mata berjatuhan karena terlalu lama menatap ibu.

Suara ayah, Mas Rayyan, dan ayahnya terdengar oleh telingaku bermenit-menit kemudian dan dilanjutkan dengan ketukan pintu kamar yang gegas ku sambut ketukan itu.

"Maaf lama, tadi dapet wejangan dulu dari senior" ucanya tepat setelah mata kami bertemu. "Itu... dari dua ayah.." tunjuknya pada ayahku dan ayahnya yang masih melanjutkan obrolan mereka di ruang tamu ketika melihatku mengerutkan kening mendengar ucapannya.

Aku tersenyum mendengar ucapannya, "Ya udah, ini mau masuk nggak nih?" tanyaku setelah beberapa saat kami hanya berdiri di depan pintu. Ia mengangguk cepat, "Kamu nggak mungkin nyuruh saya tidur di luar kan?" jawabnya balas nanya. Aku nyengir kuda mendengarnya.

"Ya udah, ayo masuk" ajakku kemudian. "Ayo" ucapnya menanggapi jawabanku sementara tak ada yang berubah posisi di antara kami berdua, kemudian tergelak menyadari ke"ngosongan" kami. Kemudian barulah benar-benar melangkah masuk.

"Kau sudah mengantuk?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng seraya mendudukkan diri di kursi meja belajar.

"Katanya mau saya imamin shalatnya? Shalat dulu yuk?" ajaknya, aku menatapnya sebentar. "Tapi janji setelah itu ceritakan kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. ya?" pintaku.

"Ahahah, kau mau cerita dari Nabi Adam hingga Musa pun saya sanggup selama saya tau" tawanya. "Ya sudah, wudhulah. Saya tunggu" lanjutnya. Aku beranjak dari tempat duduk ke kamar mandi dengan persaan tak jelas: senang, takut, cemas, dan penuh harap entah pada apa.

***

Kak Rayyan menyelesaikan shalatnya dengan salam ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri yang diikuti olehku. Kemudian dilanjutkan do'a dan salaman yang diakhiri dengan kecupan lama di keningku.

"Nia, terimakasih telah bersedia menjadi milikku sepenuhnya. Sekali lagi, terimakasih banyak Nia" ucapnya kemudian mengelus puncak kepalaku. Aku tersenyum menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Katamu mau diceritakan kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A lipatlah dulu mukenahmu" pintanya mencoba mengalihkan dari suasana haru yang menyeruak, aku mengangguk mengiyakan. "Bahkan ini untuk yang kesekian kalinya kau berterimakasih padaku Mas" ucapku lirih yang hanya dijawabnya dengan tatapan lembut dan senyuman kecil.

"Apa yang belum kau ketahui tentangnya?" tanya Kak Rayyan ketika kami sudah duduk berhadapan.

"Hmm,,, apa saja! Ceritkan apa saja tentangnya dan aku akan mendengarkannya Mas" ucapku kemudian.

"Dan saya seperti sedang bercerita dengan murid saya di mushallah setiap sudah asar jika seperti ini" ucapnya kemudian. "Maksudmu Mas?" tanyaku bingung. Ia beranjak mendekat kemudian mengangkatku tiba-tiba dan membawaku ke kasur, meletakkanku pelan-pelan dengan kepalaku di atas pahanya. Aku yang terkejut dengan kerjaannya bahkan belum sempat berteriak menyadarinya.

"Nah, kalau seperti ini barulah seperti bercerita dengan istri" ucapnya seraya menjawil pipiku. "Mas...." Pelototku kemudian segera mendudukkan diri. "Mana sanggup aku kelamaan seperti itu Mas" batinku tak karuan. Ia terbahak menatapku, "Lalu kamu mau saya bercerita seperti saya bercerita dengan murid-murid saya?" godanya. Aku mendengus kemudian menunduk, "Sudahlah, sini. Kamu juga sudah mengantukkan?" ucapnya maish menggodaku.

"Hihh,, Masssss" pekikku ketika ia menarikku lagi kembali ke posisi tadi dan menahanku dengan tangannya. Sehingga mau tak mau aku menuruti permintaanya, dan mulai bercerita.

"Kau tau Nia? Ia adalah satu-satunya orang yang menemani hidup Nabi Muhammad SAW. Dari lahir hingga meninggal, dan ia adalah orang yang akan dibangkitkan bersama nabi di yaumil qiyamah kelak" aku mendengarkan setiap kalimatnya dengan seksama.

"Dia adalah satu-satunya orang yang paling tepat penafsirannya tentang ayat-ayat qur'an, satu-satunya orang yang selalu mempercayai kata-kata nabi bahkan dalam hal yang hanya dapat dipercaya dengan iman sekalipun"

"Peristiwa Isra' Mi'raj itu?" potongku. Ia mengangguk. "Seandainya saya yang berada di posisi itu mungkin saya juga tidak percaya itu dulu, tapi nyatanya sekarang sudah ada bukti ilmiahnya bukan?" lanjutnya.

"Yups, penelitian tentang kilat yang punya kecepatan luar biasa. Ah, Maha Suci Allah dengan segala firmanNya" ucapku, kemudian ia melanjutkan ceritanya.

"Ah, sepertinya kau sudah terlalu mengantuk. Kita lanjutkan besok ya?" samar-samar ku dengar suaranya menyelinap masuk ke telingaku yang ku jawab dengan anggukan kecil. Ia meletakkan kepalaku pelan-pelan ke kasur dan meletakkan bantal di tangan, seperti kebiasaanku.

"Bagaimana bisa kau tau kebiasaanku Mas?" tanyaku lirih. Ia mengelus kepalaku pelan, kemudian mengecupnya sebentar "Tidurlah" ucapnya kemudian.

Dear Sang Pemilik Hati -Sebuah Catatan Tentang Arti Merindukanmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang