12

75 15 0
                                    

"Nia, saya rindu kamu" ungkapnya di sebaris pesan yang ia kirimkan sebelum tidur. Sejak setelah lamaran beberapa hari yang lalu, Kak Rayyan entah kenapa jadi begitu sering mengirimkan kata-kata manis yang tak pernah ku balas. Terlalu takut dengan segala kemungkinan yang ada.

Sekali lagi, ku hubungi Farhan yang masih menghilang bahkan hingga saat ini. Kartu undangan yang telah tercetak manis mulai ku kirimkan ke sahabat-sahabat yang ada di hampir setiap belahan bumi nusantara ini. Segala hal tentang persiapan resepsi, hingga tanggal kembali lagi ke Kairo pun telah disusun sedemikian rupa.

Hanya saja, satu hal yang masih terus mengganggu kesiapan ini semua adalah Tania. Masih ingat sekali aku waktu itu, waktu sebuah janji terikrar di hati kami di masa kanak-kanak, janji untuk sehidup semati, janji untuk selalu bersama, dan janji akan saling memberi kabar sejauh apapun jarak memisahkan. Dialah sahabat terbaik yang pernah ku temui, si pembela, dan si pengertian yang luar biasa ku rindukan saat ini.

"Tahun depan aku tidak pulang Kan, tahun depannya lagi mungkin kamu udah di Kairo dan mungkin sampai 4 tahun. Dan aku baru akan nyusul di tahun itu. Jadi, setidaknya ada waktu 4 tahun, 48 bulan, atau 1460 hari kita akan berpisah. Setidaknya di tahun keenam kita bisa ketemu, aku akan menyusulmu ke Kairo!" ujarnya saat itu, pelan sekali.

"Nia.. belum tidur nak?" aku terkejut mendengar pertanyaan ibu. Nyatanya, aku termenung sedari tadi. "Apa yang kamu pikirkan? Menyesalkah dengan pilihanmu?" lanjutnya sambil membelai kepalaku yang kurebahkan di kasur. Aku menatapnya yang duduk tepat di sampingku membaringkan tubuh dengan penuh kasih, lalu menggeleng kuat "Mana mungkin bu, dia adalah lelaki terbaik yang pernah ku kenal" jawabku yakin.

Ibu membalas tatapanku. Ah, sungguh betapa rindunya aku dengan semua ini. Sementara di sisi lain waktu terus berputar dan aku mau tak mau harus kembali ke Kairo dalam waktu dekat, kalau tak ingin waktu lulusku semakin diperpanjang.

"Dia memang lelaki yang baik nak. Selagi ia mengajakmu kepada kebaikan, patuhilah ia. Surgamu ada padanya nanti. Ibu harap, kamu tetap jadi anak kebanggaan ibu ya" ucapnya pelan, mataku berkaca-kaca mendengarnya. Sontak, aku memeluknya erat dengan air mata yang tak mau diajak kompromi lagi.

"Kamu tau Nia? Nak Rayyan itu telah menemui ibu sejak 4 tahun yang lalu, waktu kamu sudah di sana. Saat itu, sore-sore setengah kuyup ia mengetuk rumah. Untungnya kami semua sedang ada di sini, termaksuk abangmu. Akhirnya ia menginap di sini malam itu. Ia bercerita banyak hal Nia" ibu menghentikan ucapannya, sementara aku yang mendengarnya terkejut luar biasa. "Sudah selama itu bu?" tanyaku kemudian. Ibu mengangguk dan tersenyum. "Dia datang sendirian hanya dengan bermodal gambaran alamat dari Lyandra dan nama ayahmu" jawab ibu kemudian.

"Lalu bu?" tanyaku tak sabaran ingin mendengar lanjutan ceritanya.

"Ia bercerita tentang perjuangannya meminta izin untuk mendaftar ke kepolisian yang berakhir dengan kuliahnya dia di LIPIA karena Ustad Salim tak merestui, kamu tau cerita yang itu kan?" aku mengangguk mengiyakan.

"Lalu, ia bercerita bahwa ia kehilangan semua kontak kamu dan menyesal tak sempat menyampaikan sepatah dua patah yang telah dipendamnya sejak lama. Terakhir, ia menyampaikan bahwa ia ingin memperjuangkanmu Nia, padahal saat itu ibu sudah menjelaskan tentang penyakitmu dan tentang Farhan"

"Apakah dia tidak goyah bu, mendengar penjelasan dari ibu?" tanyaku, khawatir jika ketakutanku akan penyakit ini dapat menggoyahkan tekadnya. Ia menggeleng yakin, "Dia tidak goyah sedikitpun nak, bahkan ia berjanji untuk segera menyusulmu ke sana supaya bisa menjagamu". Sekali lagi, mataku berkaca-kaca karenanya, "Semoga Tuhan merestui untuk itu" Harapku.

"Kamu sudah mengirimkan semua undangan?" Tanya ibu mencoba mengalihkanku dari suasana haru. Aku mengangguk. "Tania bagaimana? Sudahkah kau temukan alamatnya?" lanjutnya. Kali ini aku menggeleng, "Itulah yang menjadi pikiranku saat ini bu. Belum lagi Farhan tak dapat dihubungi"

Ibu tersenyum, "Semoga Allah melindungi Tania dan keluarganya di manapun mereka berada ya nak" aku mengangguk. "Dan semoga, pilihanmu meninggalkan Farhan dan memilih Rayyan adalah yang terbaik" lanjutnya.

"Tapi bu..." sanggahku. "Tak ada tapi-tapian! Kamu harus yakin. Kamu tau Nia? Ujian terberat ada di saat-saat menjelang akad seperti ini. Entah itu dari orang yang pernah kamu sukai, atau dari calon kamu itu sendiri. Maka berhati-hatilah" pesan ibu yang ku jawab dengan anggukan pasrah. Lagipula, jika Farhan memang yang terbaik, seharusnya ia tak menghilang begitu saja setelah mengucapkan janjinya.

"Makasih Bu, cukup ridhamu saja yang kuharapkan" ucapku kemudian.

Dear Sang Pemilik Hati -Sebuah Catatan Tentang Arti Merindukanmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang