11

67 16 0
                                    

Kau percaya jika masih ada laki-laki setia di duia ini walau dengan jarak dan tanpa kabar? Hari ini aku percaya itu semua setelah Om Firdaus, ayahnya Kak Rayyan meyampaikan maksud kedatangan mereka sekeluarga besar untuk dikhitbah secara resmi.

Sedikitpun, tak kudapatkan keraguan dari Kak Rayyan  tentang kelanjutan rencana ini, tidak, bahkan hingga acara resmi berakhir sempurna. Hari ini pula aku belajar untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara, bahkan ketika pertanyaan mengenai mahar yang diinginkan. Semuanya ku serahkan pada ayah.

Bang Ronal dan Kak Tika, istrinya yang baru tiba dari Samarinda tadi pagipun sekarang sudah sibuk di dapur membantu Kak Neti menyiapkan hidangan istimewa, katanya.

"Kania..." seseorang mengibaskan tangannya ke depan mataku. Aku menggeleng-gelengkan kepala, menyadarkan diri dari lamunan singkat. "I..iya yah?" jawabku kemudian setelah menyadari bahwa ayah telah memanggilku sedari tadi.

"Kamu kenapa nak? Sakitkah?" Tanya tante Elida, Bundanya Kak Rayyan seraya berjalan ke arahku. Aku menggeleng pelan, "Ngg.. nggak tante".

"Ah biasalah, ini anak sukanya ngelamun mulu" ucap ayah mengusap kepalaku pelan. Aku hanya menjawabnya dengan cengiran kecil.

"Ya sudah, Nia temenin bunda ke kamar kamu ya?" tawar Tante Elida yang mau tak mau membuatku mengiyakan ajakannya, setelah sebelumnya berpamitan sebentar ke ayah, Om Firdaus dan Kak Rayyan, sementara ibu sudah pamit sedari tadi untuk membantu Kak Tika dan Kak Neti.

"Nah nak Rayyan, jadi ini tugas beratmu. Jaga Nia baik-baik ya? Jangan biarkan dia sendirian" samar-samar kudengar suara ayah melanjutkan percakapannya yang langsung dijawab cepat oleh Kak Rayyan, "Pasti yah..". Tapi hei, tunggu! Dia memanggil apa? Ayah? Hei, itu panggilanku! Batinku kesal.

Kesan pertama yang diucapkan tante Elida –eh, bunda maksudku- ketika masuk ke kamarku adalah "Oh hei, kamu benar-benar pecinta biru tua ya?" ucapnya. Aku menjawabnya dengan cengiran kecil. Tiba di depan meja belajar, ia menarik kursi dan memintaku duduk di sana sementara ia berdiri menghadapku. Inilah kali pertama aku sedekat ini dengan bunda.

"Nia..." ucapnya lembut. Aku menatapnya lamat-lamat. "Kenapa Bunda?" jawabku lirih.

"Terimakasih telah menerima Rayyan. Kamu tau nak? Dia sudah lama mencarimu, bahkan rela melewatkan mimpinya sejak kecil" ucap bunda kemudian. Aku mendengarkan setiap kalimat yang diucapkannya dengan seksama. Takut sekali ketinggalan satu katapun. "Bunda minta tolong sama kamu, tolong jangan pernah menghilang lagi ya?" ia menghela napas panjang, "Kalau ada apa-apa segera hubungi bunda ya?" lanjutnya kemudian. Aku masih menatapnya, bahkan ketika aku mengangguk pelan memberi jawaban atas permintaannya.

"Kalau boleh tau, apa mimpi Kak Rayyan bunda?" tanyaku pelan, takut-takut salah bicara. Ia tersenyum kepadaku. "Ke Turki dan sekolah di sana. Itulah yang menjadi penyebab dia lanjut masuk pondok lagi".

Aku menggigit bibir, "Maaf bunda" ucapku lirih. Ia kembali tersenyum. "Tak ada yang perlu dimaafkan Nia, selama ia bahagia" ucap bunda kemudian.

"Boleh bunda mengenal orang-orang terdekatmu? Sahabat-sahabatmu? Dan laki-laki yang pernah kau cintai sebelum ini?" pintanya. Aku mengangguk, "Tentu Nda"

"Maka dari itu, mulailah bercerita dan bunda akan mendengarkannya" ucapnya, kemudian duduk di kursi sebelahku.



Dear Sang Pemilik Hati -Sebuah Catatan Tentang Arti Merindukanmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang