1. Ad Hominem

5.5K 389 64
                                    

Disclaimer: Naruto and all the character are Masashi Kishimoto's, the idea of this story is mine.

"What the heck are you doing here?"

Naruto mendobrak pintu kamarnya sendiri, mendapati perempuan yang kata Sasuke cantiknya nggak masuk akal itu duduk di ranjang. Ia melangkah tergesa, merebut sesuatu yang dipegang Hinata. Tumpukan baju selesai cuci berserak memenuhi space di tempat tidur.

"Aku bantuin mama Kushina ngelipatin bajunya kakak." Hinata nyengir, merasa bangga alih-alih berdosa. "G string kakak gede. Apakah isinya juga?"

Wajah Naruto merah padam, api kemarahan bersiap menyebur jika Hinata lancang membuka mulut. Kefrontalannya memalukan dan tak mengenal batas. Kadang Naruto merasa dilecehkan oleh bocah yang bahkan lima tahun lebih muda darinya itu.

"Hyuuga! Leave it there, crazy girl." Maki Naruto.

Hinata tidak bodoh, dia cukup memahami lidah English Naruto yang sangat native. Kefasihan berbahasa inggrisnya itu memang tembus sampai ke ubun-ubun. Menambah nilai plus di mata Hinata. Maklum, keluarga Uzumaki mengawali perkembangbiakannya di Kanada, salah satu Negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas secara intelektual.

"Apaan sih, kak. Krezi krezi... Hinata kan lagi berbakti sama camer, sama calon suami juga."

Naruto memaksa Hinata berdiri. Kening yang ditumbuhi rambut halus ditoyor sampai mundur beberapa langkah. Naruto memang tak mengenal gender dalam berbuat kasar. Terlebih ia muak pada Hyuuga Hinata. Kepalanya mau pecah saking emosi tiap kali mereka berinteraksi. Calon suami? Cih, halusinasinya tidak termaafkan. Kalau di dunia ini tersisa Hinata dan batu pun ia memilih menikahi batu.

"Oke kamu nggak gila." Naruto menatap wajah Hinata dengan ekspresi mual. "But you're undoubtedly idiot. Cuma manusia nggak berotak aja yang mau jadi suami kamu." Pikiran gadis itu memang tak ternalar, ia sudah mengaku-ngaku jadi istrinya bahkan sebelum menstruasi.

Naruto menyeret Hinata keluar kamar. Sebelum menutup pintu ia memastikan kalimatnya yang super menyakitkan didengar. "Kalau kamu manusia yang berpikir, seharusnya sadar bahwa aku nggak pernah menganggapmu ada. Apapun yang kamu lakukan, Hyuuga, sama sekali nggak memiliki arti bagiku."

Wajah Hinata pias menerima bentakan Naruto. Sebegitunya? Ia tak meminta apapun selain perhatian, tetapi kenapa sulit sekali? Bertahun-tahun lelaki itu menyikapinya bagai parasit. Menghindar, menghina, memperlakukan seolah Hinata tak memiliki hati yang bisa merasa betapa kejam cinta bertepuk sebelah tangan ini. Ia bukan tak tahu, Naruto berusaha sekeras mungkin membuatnya pergi. Perasaan Hinata adalah sampah yang ingin disingkirkannya sejauh mungkin.

Sayangnya Hinata sudah tak bisa lepas lagi. Keinginan memiliki Naruto serupa narkoba baginya. Ia sakau jika tidak bertemu sehari saja. Adiksinya adalah perasaan tak terbalas itu, tiap kali Naruto menolak nilainya justru meninggi di mata Hinata. Sama halnya benda mahal dan eksklusif yang tak dimiliki semua orang. Ia terbiasa dengan lelaki yang menatap takjub seakan dirinya manusia tercantik di bumi. Sementara Naruto, meluangkan sedikit perhatian saja tak mau.

"Hinata, kemari nak. Bantu mama bikin makan malam, Hinata makan di sini juga ya?"

Suara lembut Kushina menyejukkan Hinata. Salah satu yang membuatnya tak bisa lepas dari Naruto adalah keluarga ini. Uzumaki memperlakukannya seperti anak impian mereka. Minato dan Kushina mengganggap Hinata bagian keluarga, restu sudah pasti dikantongi. Ia bahkan memanggil pasangan suami-istri tersebut mama dan papa.

Hanya Naruto yang tak terjangkau oleh pesona Hinata. Lelaki itu melindungi hati dengan cara yang perempuan manapun akan kabur.

.

OBSESI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang