EXTRA CHAPTER

4.6K 371 68
                                    


Disclaimer: Naruto and all the character belong to Masashi Kishimoto.




Naruto membaca notifikasi banking di handphonenya dengan kening berkerut. Tagihan kartu kredit milik Hinata kembali over limit. Beberapa bulan belakangan, ini memusingkannya. Bagaimana tidak, penghasilan Naruto hampir ditarik separuh untuk kebutuhan rumah tangga, belum menggaji pelatih taekwondo dan masih banyak lainnya.

"Permisi. Paket."

Bel dan suara kurir juga menjadi familiar. Naruto menghela nafas, baru menghitung sampai lima belas supaya emosi surut, pemicu lainnya malah datang.

"Waa.. paketku datang yaa." Hinata membongkar bungkusan dengan ceria. Sebuah—oh no, selusin baju hamil cantik di gelarnya di mana-mana.

Baby bump yang dilapisi daster lucu, sesungguhnya lumayan menghibur Naruto. Meredakan sel-sel otaknya yang tegang memikirkan uang. Senyum terbentuk, mungkin cantik merupakan kebutuhan, dan Hinata yang bidadari ini, perlu dirawat dengan mewah. Baiklah, sekali ini akan Naruto lepas.

Hinata yang masih sibuk membolak-balik baju, dipeluknya dari belakang. Sesak, dua janin membuat perut istrinya lebih besar dari kehamilan normal.

"Suka?" Pertanyaan Naruto hanya dijawab dengan anggukan. Namun ia tahu Hinatanya tersenyum. "Anything for you, wifey." Pernyataan itu dibalas kecupan di pipi.

Boros barangkali bukanlah kata yang tepat untuk Hinata. Naruto yakin istrinya terbawa kebiasaan lama sebagai orang yang bisa membeli segala. Apa boleh buat, kasih sayang bagi Hiashi adalah uang. Mau tak mau, sebagai suami Naruto yang harus mendidik.

"Tapi jangan boros-boros ya, sayang. Kartu kreditmu kan sudah kuberi limit, jangan sampe over."

Senyum Hinata luntur, berganti ekspresi mencebik. "Ah, Ino dan Sakura-nee saja lebih boros. Kalau misal kurang ya nanti pakai uangku sendiri."

Ini yang Naruto tak suka. Sikap tak acuh Hinata yang melukai wibawanya selaku suami. Bukan Naruto pelit, ia cuma ingin sang istri tahu batas. Kalau Ino dan Sakura, suami mereka punya posisi di atas awan. Belanja seperti tak kenal hari esok pun takkan buat miskin. Sementara Naruto, bisnisnya masih merangkak tertatih, kadang jatuh merugi, wajar bila ia meminta Hinata prihatin.

Bagaimanapun, jiwa patriarki Naruto tersinggung bila Hinata membawa-bawa uang pribadi. Sejak akad nikah, perempuan itu tanggung jawabnya. Apa kata paduka Hiashi bila tahu putrinya diajak susah.

.

.

Beberapa bulan lalu, Naruto resign dari kantor. Gajinya memang tinggi, tapi hidup terasa dihabiskan untuk kerja. Tak terbayang bila setelah putra-putrinya lahir, Naruto hanya menikmati 4 jam dalam sehari bersama mereka. Ngeri bila tahu-tahu, mereka jadi remaja yang bersiap meninggalkannya. Ia tak berencana tua di kantor, menua tanpa memori akan keluarga. Untuk apa memiliki uang, jika tak memiliki waktu?

Lantas, Naruto membuka agrobisnis dengan budidaya jamur shiitake. Harga jual jamur itu cukup tinggi, setidaknya menutup biaya produksi dan penambahan modal. Sementara untuk pemasukan lain, Naruto mengandalkan sanggar taekwondo. Rencananya sanggar itu akan dibuka untuk pelatihan atlit beberapa tahun ke depan. Sedangkan untuk sampingan, ia menjadi konsultan keuangan dan asuransi lepas.

Awalnya Naruto tak masalah kerja gila-gilaan. Sebelum status berubah menjadi ayah, Naruto ingin budidaya jamurnya menjadi penyuplai utama di Oshima. Namun belakangan, hasil usahanya itu meruap entah ke mana. Sampai untuk biaya produksi pun, Naruto terpaksa merogoh tabungan pribadi.

OBSESI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang